Liputan6.com, Jakarta Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memastikan bahwa tidak akan ada kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun 2024 mendatang.
Dengan demikian; PPN yang akan berlaku tahun depan tetap di angka 11 persen seperti yang telah berlaku sejak April 2022.
Advertisement
"Di 2024 kita masih 11 persen,” kata Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo dalam diskusi Bedah RAPBN 2024 yang disiarkan pada Rabu (20/9/2023).
Sebagai informasi, kenaikan PPN tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang naik menjadi 11 persen di tahap awal.
Kemudian di tahap kedua, PPN akan naik menjadi 12 persen dengan batas waktu paling lambat 1 Januari 2025.
Sebelumnya, pada Mei 2023, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa belum ada rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2024.
"Untuk Undang-undang terutama tarif telah ditetapkan di dalam UU HPP, jadi untuk UU APBN (2024) kita akan menggunakan tarif yang sama (PPN 11 persen)," kata Sri Mulyani kepada wartawan usai Rapat Paripurna di DPR RI, pada 19 Mei 2023, dikutip Rabu (20/9/2023).
"Kita melihat pertumbuhan ekonomi kita membaik, pengenaan pajak kita juga cukup kuat, maka, itu menjadi satu yang akan memberikan fondasi bagi kita untuk terus menjaga momentum pemulihan ekonomi ini," jelasnya saat itu.
RAPBN 2024
Dalam kesempatan itu, Wahyu juga menyoroti Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2024, yang menargetkan Pendapatan Negara sebesar 2,781,3 triliun dan Belanja Negara Rp. 3,304,1 triliun.
Adapun defisit dan pembiayaan anggaran yang masing-masing ditargetkan atau Rp. 522,8 triliun.
“APBN itu merupakan instrumen untuk menstimulasi ekonomi, menjawab berbagai tantangan - tantangan demografi, perubahan iklim, tantangan untuk mendorong produktivitas, daya saing, juga untuk mengawal agenda pembangunan agar tetap optimal dalam framework pengelolaan fiskal yang sehat,” ucap Wahyu.
Pungutan Pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik PMSE Sentuh Rp 14,57 Triliun
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat sampai dengan 31 Agustus 2023, pemerintah telah mengumpulkan penerimaan dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp 14,57 triliun.
Jumlah tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp 3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp 5,51 triliun setoran tahun 2022, dan Rp 4,43 triliun setoran tahun 2023.
Sementara itu, pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk menjadi pemungut PPN berjumlah 158 pelaku usaha atau sama dengan jumlah pemungut pada bulan lalu.
“Jumlah pemungut PPN PMSE tidak bertambah dari bulan lalu karena selama bulan Agustus 2023 pemerintah belum melakukan penunjukan PMSE baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, Selasa (12/9/2023).
Selama bulan Agustus 2023, pemerintah hanya melakukan pembetulan elemen data dalam surat keputusan penunjukan dari Degreed, Inc. dan TradingView, inc.
Adapun guna meningkatkan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) antara pelaku usaha digital dan konvensional, pemerintah telah mengatur penunjukan pelaku usaha PMSE untuk memungut PPN sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022.
Advertisement
Tarif Pajak 11%
Menurut peraturan tersebut, pelaku usaha yang telah ditunjuk menjadi pemungut wajib memungut PPN dengan tarif 11 persen atas produk digital luar negeri yang dijualnya di Indonesia.
Selain itu, pemungut juga wajib membuat bukti pungut PPN yang dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis lainnya yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.
Kata Dwi ke depan, untuk terus menciptakan keadilan tersebut, pemerintah masih akan menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.
Kriteria pelaku usaha yang dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE yakni, nilai transaksi dengan pembeli Indonesia telah melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan; dan/atau jumlah traffic di Indonesia telah melebihi 12 ribu setahun atau seribu dalam sebulan.