Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia memangkas perkiraan pertumbuhan kawasan Asia pada 2023 menjadi 4,7 persen. Hal ini karena sektor properti China yang lemah dan kondisi suku bunga yang masih tinggi.
Dikutip dari CNBC, Rabu (20/9/2023), pertumbuhan kawasan Asia menjadi 4,7 persen itu menunjukkan revisi dari proyeksi ADB sebelumnya 4,8 persen.
Advertisement
“Pasar properti China menimbulkan risiko penurunan dan dapat hambat pertumbuhan regional. Sektor properti China telah melemah sejak Evergrande gagal bayar pada 2021,” tulis ADB dalam laporannya.
ADB juga menurunkan perkiraan pertumbuhan China dari 5 persen menjadi 4,9 persen. Laporan itu mencatat perlambatan permintaan global menyebabkan penurunan ekspor dari ekonomi kawasan pada semester I 2023.
“Melambatnya permintaan eksternal mulai membebani manufaktur dan sejumlah perekonomian di kawasan ini, termasuk China dan Asia Tenggara,” ujar ekonom ADB Albert Park kepada CNBC.
Park menambahkan, kenaikan harga pangan akibat El Nino juga menjadi faktor penyebab penurunan peringkat tersebut. Selain itu, harga beras yang merupakan makanan pokok di wilayah ini melonjak ke level tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
“Meskipun inflasi menurun, harga-harga masih sedikit meningkat dan kita melihat tingginya suku bunga, sikap hati-hati dari beberapa investor di berbagai wilayah di kawasan ini,” ujar dia.
Dalam laporan itu, ADB juga mengaitkan revisi tersebut dengan melambatnya ekspansi di Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara. India juga mengalami revisi ke bawah dalam perkiraan pertumbuhannya menjadi 6,3 persen dari 6,4 persen.
Namun, laporan itu mencatat ekspansi di Asia Selatan akan tetap kuat. "Asia Selatan akan tetap menjadi subkawasan dengan pertumbuhan tercepat, dipimpin oleh India dan didorong investasi dan konsumsi yang kuat,” demikian ditulis dari laporan itu.
ADB menyoroti investasi publik di India tetap kuat dan akan terus mendorong pertumbuhan di sana.
Titik Terang Lainnya
Meski demikian, ADB melihat adanya hambatan di beberapa negara. Wilayah Kaukasus dan Asia Tengah mengalami revisi naik dari 4,4 persen menjadi 4,6 persen, didukung oleh rezeki nomplok yang besar dari invasi Rusia ke Ukraina.
Pertumbuhan di Uzbekistan lebih kuat dari perkiraan, didorong oleh meningkatnya ekspor makanan dan tekstil ke Rusia, selain investasi. “Banyak uang dan warga terus mengalir ke Rusia, ke beberapa negara tetangga. Manfaat tak terduga dari perang di Ukraina akan terus berlanjut. Wilayah ini berhubungan erat dengan Rusia melalui perdagangan,”
Demikian pula, pemberi pinjaman juga telah menaikkan perkiraan pertumbuhan kawasan Pasifik dari 3,3 persen menjadi 3,5 persen didorong oleh prospek pariwisata yang membaik.
“Ini adalah kisah pemulihan pariwisata, dan implementasi beberapa proyek infrastruktur besar yang membantu mendorong pertumbuhan,”
ADB prediksi inflasi di negara-negara berkembang di Asia akan turun menjadi 3,6 persen pada 2023, turun dari 4,4 persen tahun lalu.
Advertisement
ADB Bongkar Peran Penting Sektor Keuangan Cegah Perubahan Iklim di Indonesia
Sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) kembali mengingatkan sektor keuangan di Indonesia untuk terus berkontribusi dalam mendukung upaya mencegah perubahan iklim.
Senior Financial Sector Specialist di ADB, Benita Ainabe menegaskan, dampak perubahan iklim bukan hal yang dapat diabaikan, terutama di sektor keuangan.
"Oleh karena itu, di masa depan, diperlukan lebih banyak dukungan finansial langsung serta kebijakan dan program yang berkelanjutan meski sudah ada kebijakan yang mendorong penjagaan lingkungan," kata Benita dalam webinar diskusi ADB. Selasa (29/8/2023).
Benita menyampaikan, tindakan bersama sangat penting untuk mendukung keuangan ramah lingkungan, termasuk inovasi yang menghubungkan upaya inklusi keuangan dengan penyediaan layanan energi ramah lingkungan bagi masyarakat di pedesaan, dan mereka yang masih belum terjangkau jaringan listrik di Indonesia, atau kurang terlayani kebutuhan energinya.
"Keuangan daerah, dan khususnya obligasi daerah. Mengapa ini penting? karena pada dasarnya hal itu mengarah ke infrastruktur," ujarnya.
Infrastruktur yang tidak memadai, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya investasi di masa lalu di Indonesia, merupakan hambatan utama bagi pertumbuhan inklusif di dalam negeri.
"Pemerintah menyadari hal ini dan oleh karena itu memulai agenda pembangunan infrastruktur yang ambisius, yang mencakup peningkatan belanja sektor publik secara signifikan, serta reformasi kebijakan dan kelembagaan yang menciptakan lingkungan yang mendukung kemitraan pemerintah dan swasta, dan investasi sektor swasta secara umum," lanjutnya.
Pendanaan Infrastruktur
Meskipun pendanaan infrastruktur pemerintah pusat dan daerah meningkat, Benita menyebut, pengeluaran tahunan masih jauh dari perkiraan kebutuhan investasi.
"Angkanya telah meningkat dari tahun ke tahun, namun sektor swasta harus memainkan peran yang berarti dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia," imbuhnya.
"Oleh karena itu, ADB dan mitra pembangunan lainnya telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, termasuk di daerah, untuk melakukan percontohan skema penerbitan obligasi daerah, untuk membangun kapasitas, memperkenalkan peraturan yang relevan, dan pada dasarnya membuat mereka siap menghadapi pasar modal," ungkap Benita.
ADB memperkirakan, Indonesia kemungkinan akan memilih obligasi obligasi umum (general bond) pada tahap pertama, dan obligasi ramah lingkungan (green bond).
Advertisement