Liputan6.com, Jakarta - Berita mengenai kebakaran yang terjadi di beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) muncul di berbagai daerah di Indonesia, seperti di TPA Sarimukti di Bandung Barat, TPA Putri Cempo di Solo, hingga TPA Jatibarang di Semarang. Kejadian ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama kebakaran di TPA adalah sistem pengelolaan sampah berjenis "open dumping". Dalam sistem ini, TPA menerima segala jenis sampah tanpa pemilahan sebelumnya.
Advertisement
Akumulasi berbagai jenis sampah ini, terutama sampah organik, menghasilkan gas metana, yang dikenal mudah terbakar. Ditambah dengan kondisi musim kering dan sinar matahari yang panas, potensi kebakaran menjadi sangat tinggi.
"Ketika TPA open dumping berarti semua jenis sampah masuk ke situ, tidak ada pengurangan, tidak ada pemilahan, anorganik dan organik bercampur menghasilkan gas metana yang ketika panas matahari seperti sekarang ini berpotensi untuk menimbulkan kebakaran," ujar Rosa saat dijumpai di Jakarta Pusat pada Kamis, 21 September 2023.
Selain itu, dia juga menyarankan bahwa idealnya, yang dibuang ke TPA hanyalah residu atau sampah yang benar-benar tidak bisa dikelola atau didaur ulang. Upaya ini akan mengurangi volume sampah di TPA dan potensi bahayanya.
"Diharapkan yang dibawa ke TPA itu hanyalah residu saja, sehingga TPA-nya menjadi lebih panjang umurnya," katanya.
Peran Kepala Daerah Menjaga TPA
Faktanya, sekitar 50 persen dari total sampah di TPA adalah sampah organik, termasuk sampah makanan. Sampah organik adalah salah satu penyebab utama produksi gas metana. Langkah mengelola sampah organik dengan baik akan membuat setidaknya 50 persen dari total volume sampah di TPA dapat dikurangi, sekaligus mengurangi potensi kebakaran akibat gas metana.
Selain menyoroti bahaya kebakaran di TPA, Rosa tegas memperingatkan bahwa kota-kota yang memiliki TPA yang terbakar tidak akan berkesempatan memenangkan penghargaan Adipura. Ini adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada kota-kota terbersih di Indonesia.
"Kalau mereka tidak bisa menjaga TPA-nya, berarti TPA-nya itu kan open dumping. Kalau terjadi kebakaran, masa mau dinilai sih? Publik nanti bisa mengatakan bahwa kota yang mendapat Adipura itu TPA-nya pernah terbakar," ungkap Rosa.
Rosa menekankan betapa krusialnya peran serta dan komitmen dari kepala daerah. Kepemimpinan yang kuat dari kepala daerah dapat memicu inisiatif-inisiatif pengurangan sampah di tingkat lokal. Sebagai contoh positif, Rosa memuji kota Banyumas yang telah berhasil mengurangi sampah yang dibuang ke TPA hingga hanya 5 persen.
"Kabupaten Banyumas ini nanti yang bisa menjadi entitas yang bisa memperdayakan karbon dan mendapatkan keuntungan, dan saya harap juga daerah-daerah lain juga bisa melaksanakan hal tersebut," ujarnya.
Advertisement
Cara Mencegah TPA Kebakaran
Mencegah kebakaran di TPA memerlukan pendekatan teknis dan manajerial. Menurut Rosa, TPA idealnya hanya menerima residu, sisa-sisa sampah yang benar-benar tidak bisa didaur ulang atau dikelola. Gas metana yang dihasilkan dari sampah organik di TPA harus dikelola dengan teknologi yang tepat untuk mencegah risiko kebakaran.
Rosa menekankan bahwa pendekatan lama yang mengedepankan pola pikir "sudah bayar, maka bawa saja semua sampah ke TPA" kini sudah tidak relevan lagi. Kondisi saat ini membutuhkan tindakan yang lebih bijaksana dalam pengelolaan sampah.
"Meskipun lahan TPA di beberapa kabupaten masih luas, namun tanpa pengelolaan yang tepat, masa pakai lahan tersebut bisa cepat berkurang," ucapnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa ketika sebuah TPA dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), seharusnya sudah dilengkapi dengan teknologi untuk mengelola air lindi dan menangkap gas metana. Namun, dalam praktiknya, banyak TPA yang setelah dibangun hanya beroperasi sebagai open dumping, tanpa penerapan teknologi yang sudah seharusnya ada.
Beberapa daerah berdalih tidak memiliki anggaran untuk pengelolaan TPA yang memadai. Namun, Rosa menegaskan bahwa KLHK telah memberikan fleksibilitas dalam hal ini. Sebagai alternatif dari sanitari landfill, KLHK merekomendasikan penggunaan kontrol landfill.
"Tidak usah sanitari landfill 100 persen tapi pakai kontrol landfill, yang ditutup seminggu sekali itu, dan kemudian mengelola gas metananya," jelasnya.
Gas Metana di TPA Sarimukti
Sementara itu, berdasarkan laporan kanal Regional Liputan6.com pada 20 September 2023, tim ahli Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi menyatakan beberapa lokasi dengan kandungan gas metana yang tinggi (>100 persen LEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dengan masih tingginya kandungan gas metana TPA Sarimukti yang terbakar sejak Sabtu, 19 Agustus 2023, memberikan peluang terjadinya kebakaran apabila dipicu oleh adanya api.
Menurut Kepala PVMBG Badan Geologi, Hendra Gunawan, otoritasnya telah mengirimkan tim ahli berikut peralatan yang dapat membantu proses pemadaman sebagai tindakan tanggap darurat penanganan kebakaran pada Rabu, 13 September 2023.
"Tim Badan Geologi melakukan pemotretan dengan kamera thermal melalui drone untuk menangkap gambar dengan memanfaatkan suhu panas. Selain itu, dilakukan pemeriksaan gas metana yang terdapat dalam lokasi TPA karena dikhawatirkan terjadi tumpukan gas berbahaya yang bisa mengakibatkan ledakan yang tidak diinginkan atau kebakaran yang lebih besar dari sebelumnya," ujar Hendra dalam keterangan tertulisnya, Bandung, Senin, 18 September 2023.
Hendra mengatakan kesimpulan dari hasil lain pemeriksaan gas metana tersebut, di beberapa titik lokasi yang dekat dengan titik asap, terutama di Zona II, III, dan Zona IV kandungan metana terukur masih tinggi dan dapat terbakar apabila dipicu oleh adanya api. Sumber gas metanaa diduga berasal dari bagian bawah dari timbunan sampah dengan kedalaman yang belum diketahui.
Advertisement