Liputan6.com, Jakarta - 14 peserta Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia (Australia-Indonesia Muslim Exchange Program/AIMEP) tahun 2023 berkunjung ke Indonesia selama 2 pekan.
AIMEP menitikberatkan pada interaksi dan komunikasi antarwarga, dengan tujuan untuk menghilangkan stereotipe, memperdalam pemahaman tentang masyarakat dan komunitas masing-masing, serta mendorong kerja sama dan hubungan yang berkelanjutan.
Advertisement
"Hubungan antar masyarakat yang terjalin melalui AIMEP membangun pemahaman yang lebih besar antara Indonesia dan Australia dan memperkaya kedua komunitas kita. Ini adalah kesempatan bagi para pemimpin muda untuk merasakan secara langsung kehidupan masyarakat multikultural di Indonesia dan Australia," ujar Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia, Steve Scott.
Delegasi Australia melakukan kunjungan ke organisasi dan lembaga penting, termasuk Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Masjid Istiqlal. Pada hari Rabu (22/9/2023), para peserta AIMEP melakukan kunjungan ke Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) di Jakarta Pusat.
MDMC memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Peserta AIMEP mendapatkan kesempatan unik untuk memahami proses persiapan dan respons dalam situasi bencana, termasuk langkah-langkah kritis yang diambil untuk membantu para korban.
Kunjungan ini meliputi serangkaian sesi diskusi yang dipandu oleh para ahli di MDMC. Para peserta AIMEP aktif terlibat dalam diskusi seputar strategi penanggulangan bencana, koordinasi antarlembaga, dan pelajaran berharga dari bencana-bencana masa lalu.
Kunjungan para Delegasi Australia ke MDMC merupakan tonggak penting dalam perjalanan peserta AIMEP tahun 2023. Dengan memperdalam pemahaman mereka tentang penanggulangan bencana, mereka tidak hanya membantu membangun solidaritas antarumat beragama, tetapi juga menjadi agen perubahan yang berpotensi menginspirasi banyak orang di komunitas mereka.
Mendorong Pendidikan Inklusif dan Harapan Bersama dari Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia
Program pertukaran ini telah menjadi wadah yang penting untuk mempererat hubungan antara komunitas Muslim Australia-Indonesia. Dengan peserta yang berasal dari berbagai latar belakang dan pengalaman, program ini mendorong dialog yang produktif dan menginspirasi kolaborasi positif dari berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan.
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, tanpa terkecuali. Inilah pandangan yang dianut dengan teguh oleh Latifa Hamdan, seorang guru pendidikan inklusif yang turut berpartisipasi dalam Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia.
Melalui wawancaranya dengan Liputan6.com, Latifa Hamdan memperlihatkan tekadnya untuk memastikan bahwa setiap anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas.
“Saya rasa penting untuk memberi kesempatan kepada semua siswa, termasuk yang memiliki kecacatan atau berkebutuhan khusus, untuk bisa sekolah di sekolah umum, termasuk sekolah negeri atau sekolah lainnya,” ujarnya.
Latifa juga menyatakan bahwa pendidikan inklusif telah menjadi fokus Australia sejak lama, “Australia benar-benar memprioritaskan hal itu, dan mereka telah memperhatikannya sejak dulu. Tapi kami masih belum menerapkan kebijakan pendidikan yang melibatkan semua orang.”
Latifa turut berharap agar pendidikan inklusif di Indonesia dapat memperoleh perhatian yang lebih dari berbagai pihak.
“Saya berharap Indonesia juga akan melangkah ke arah yang sama, karena saya yakin setiap anak harus mendapat kesempatan yang sama khususnya dalam memperoleh pendidikan yang layak,” tambahnya.
Menurut Latifa, untuk memberikan dukungan terbaik bagi anak-anak, keahlian khusus dalam pendidikan tidak terlalu diperlukan, “Yang paling utama adalah menerapkan pendekatan yang fokus pada kekuatan dan praktik yang melibatkan keluarga,” pungkasnya.
Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia telah memungkinkan kerja sama dan pembelajaran lintas batas, memberikan keuntungan yang konkret bagi anak-anak dari berbagai latar belakang. Melalui semangat seperti yang dimiliki Latifa, harapan untuk masa depan pendidikan yang lebih inklusif dan adil terus membara di antara para pendidik dan pembuat kebijakan di kedua negara.
Advertisement