Liputan6.com, Kendari - Penjabat Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi Revianto mengingatkan pengusaha tambang agar lebih peka terhadap tuntutan masyarakat. Hal ini, sehubungan dengan banyaknya penolakan perusahaan tambang di wilayah Indonesia.
Dia meminta pengusaha banyak belajar dari masalah sebelumnya. Sehingga, respons warga lebih mengapresiasi kehadiran perusahaan, bukan malah sebaliknya.
Baca Juga
Advertisement
"Pengusaha kami harap bisa lebih akomodatif, memperhatikan lingkungan, ekonomi, sosial budaya maupun peraturan perundangan-undangan yang ada,” ujar Andap di Kantor Gubernur Sultra, Jumat (22/09/23)..
Menurut Andap, masyarakat tidak akan langsung menolak kehadiran perusahaan tambang jika dapat meningkatkan perekonomian. Tetapi, jika berdampak sebaliknya, maka akan mengakibatkan konflik destruktif.
“Aktivitas peningkatan ekonomi pertambangan mesti melihat sisi kesejahteraan, keadilan dan menjunjung tinggi adat istiadat setempat,” kata mantan Kapolda Sulawesi Tenggara ini.
Jenderal polisi bintang tiga ini menganggap, penolakan terhadap perusahaan tambang tidak bakal rusuh bila koordinasi seluruh stakeholder terlibat. Apalagi, perusahaan dan pemerintah daerah, lebih memihak warga.
“Pengusaha tambang di Sulawesi Tenggara harus peka terhadap tuntutan masyarakat,” kata Andap.
Kepada aparat di Pemprov, Andap Budhi Revianto meminta agar tidak lari dari tanggungjawab saat ada masyarakat menyampaikan aspirasi terkait isu pertambangan. Kata dia, birokrasi yang baik ketika melayani keluhan warga dengan baik, santun, kepala dingin dan kedepankan dialog terbuka
Diketahui, Di Sultra, banyak perusahaan tambang beroperasi di Sulawesi Tenggara. Komoditas beragam mulai dari emas, aspal dan nikel. Ketiganya memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan nasional.
Terkait hal ini, Andap mengingatkan, pertambangan beresiko besar terhadap persoalan lingkungan, sosial dan budaya. Sehngga, timbulnya konflik berkisar pada persoalan ganti rugi lahan, upaya pelestarian atau perbaikan lingkungan serta dampak sosial budaya seperti tanah adat atau lainnya.
"Meminimaliasi resiko ini, seluruh persahaan tambang harus patuh pada semua peraturan yang ada," ujarnya.
Dia mengingatkan, saat penyerahan SK Biru TORA untuk Sultra di Jakarta (Senin 18/09/23), Presiden Jokowi tegas terkait tambang. Salah satunya terkait perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara mesti memiliki pusat persemaian tanaman. Hal ini, kata dia, perlu pengawasan jajaran Forkompinda.
Simak Video Pilihan Ini:
Kasus Penolakan Tambang di Sulawesi Tenggara
Kasus penolakan tambang di wilayah Sulawesi Tenggara hingga hari ini masih terjadi di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan. Sebelumnya, penolakan juga pernah terjadi di Kabupaten Konawe Selatan namun saat ini aksi warga mulai mereda.
Di Konawe Selatan, aparat bahkan pernah sampai menembak warga setempat akibat aksi perlawanan menolak tambang. Saat itu, 14 Januari 2018, nelayan mengadang kapal milik perusahaan PT GMS yang hendak masuk di wilayah lahan kebun yang sudah dikuasai warga selama puluhan tahun.
Kasus penolakan di Kabupaten Konawe Kepulauan, terkait kehadiran PT Gema Kreasi Perdana. Sejak 2018, gelombang penolakan warga, beberapa kali terjadi aksi bentrok hingga menyebabkan korban luka-luka dari pihak warga dan kepolisian.
Penyebab utamanya, perusahaan disebut sepihak menyerobot lahan pertanian warga. Akibatnya, masyarakat kehilangan mata pencarian sebagai petani dan sebagian beralih profesi menjadi pekerja tambang.
Kasus terbaru, perusahaan menyerobot lahan kebun cengkih warga pada Agustus 2023. Saat itu, perusahaan menumbangkan sekitar 40 pohon cengkih hampir panen. Alasannya, kebun warga masuk dalam izin pinjam pakai kawasan hutan warga.
Akibatnya, warga diperkirakan merugi hingga puluhan juta rupiah. Namun, tidak ada ganti rugi perusahaan. Alasannya sudah membayar harga lahan kebun kepada pemiliknya.
Ternyata, menurut warga, pemilik lahan tidak pernah menerima pembayaran ganti rugi. Perusahaan membayar kepada saudara salah seorang pemilik lahan.
"Hal-hal seperti ini, perusahaan kami anggap meremehkan, padahal dampaknya bagi warga secara perorangan sangat besar," ujar Mahmud, salah seorang warga Wawonii, Konawe Kepulauan.
Diketahui, terkait aktivitas PT GKP di Konawe Kepulauan, sudah belasan kali terjadi demonstrasi sejak 2018 hingga 2023. Warga menuntut, perusahaan tidak mengabaikan hak warga yang sudah puluhan tahun menempati lahan kebun mereka.
Meskipun demikian, perusahaan berdalih apa yang dilakukan sudah sesuai aturan. Selain itu, mereka mengklaim ikut menciptakan lapangan kerja bagi warga lokal dan meningkatkan pendapatan nasional.
Advertisement