Liputan6.com, Jakarta Rencana aksi bisnis PTPN Group membentuk sub holding Palmco khusus menggarap komoditas sawit dinilai dapat menghidupkan kembali para pekerja, petani kecil dan masyarakat di sekitar lahan perkebunan dan rantai pasok (supply chain).
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengatakan pembentukan PalmCo diharapkan semakin memperkokoh keberadaan petani sawit rakyat sebagai mitra bisnis utama.
Advertisement
Sementara itu, pekerja dan masyarakat di sekitar kebun dapat dilibatkan dalam rantai pasok melalui koperasi. Sehingga, terjalin kemitraan yang saling menguntungkan antara petani, koperasi dan perusahaan dari hulu hingga ke hilir.
Dia menilai kinerja PalmCo hasil klasifikasi entitas bisnis perusahaan berdasarkan komoditas menjadi PalmCo akan lebih efisien. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, pada saat anak usaha PTPN Group dikelompokkan menurut daerah operasi.
“Justru kami berharap pembentukan sub holding PalmCo ini bisa semakin mempermudah kemitraan yang terjalin dengan petani sawit agar menjadi lebih terpadu dan efisien,” jelasnya, dikutip Minggu (24/9/2023).
Puteri Komarudin mencontohkan PTPN V saat ini memiliki kebun plasma sekitar 56,3 ribu hektare dengan melibatkan ribuan petani sawit. Dengan bergabung ke dalam PalmCo, dia berharap petani sawit semakin diperhatikan dan diberdayakan.
Demikian juga dengan unit bisnis dari anak usaha lain yang akan dilebur ke Sub Holding PalmCo. Seperti diketahui, selain PTPN V, anak usaha PTPN yang akan dilebur ke dalam PalmCo adalah PTPN VI, XIII dan PTPN IV.
“Kehadiran PalmCo ini harus memberikan manfaat bagi kesejahteraan petani sawit. Misalnya, PalmCo bisa terus mendukung percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bagi petani yang menjadi mitra,” jelas lulusan Universitas Melbourne, Australia ini.
Kebun Sawit Rakyat
PalmCo, jelasnya, juga mendukung upaya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengakselerasi program PSR. Tujuannya agar kebun sawit rakyat bisa semakin produktif, sehingga di sisi lain bisa juga menopang kebutuhan pasokan bahan baku bagi PalmCo untuk pengembangan CPO beserta produk turunannya hingga program biodiesel.
“Dengan begitu, harapannya juga akan mendorong penyerapan produksi petani, perbaikan harga Tandan Buah Segar (TBS), hingga mengangkat kesejahteraan petani sawit rakyat,” ujar Puteri Komarudin.
Transformasi BUMN
Sementara itu, merespon soal transformasi BUMN perkebunan saat ini, terutama PTPN Group, legislator dari Dapil Jawa Barat VII ini berpesan agar PTPN Group bisa menjalankan bisnis usaha secara profesional, sehat, inovatif, berkelanjutan dan good governance.
Perusahaan, jelasnya, perlu memperbaiki kinerja manajemen, terutama dari segi transparansi dan tata kelola perusahaan, sehingga bisa menghasilkan profit, bersaing dengan entitas perusahaan swasta, serta terhindar dari risiko moral hazards.
Dari sisi produksi, Puteri berharap PalmCo dapat meningkatkan penyediaan pasokan minyak goreng untuk kepentingan pasar domestik guna mengantisipasi kelangkaan maupun lonjakan harga yang membebani masyarakat.
Advertisement
Industri Makin Terpuruk, Pemerintah Diminta Benahi Regulasi Sawit
Pengamat Kehutanan Sadino menyarankan pemerintah perlu menyiapkan regulasi dan produk hukum yang baik agar komoditas unggulan seperti minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) tidak semakin terpuruk.
Harus diakui bahwa berbagai produk regulasi dan produk hukum yang dibuat pemerintah dalam dua tahun terakhir, telah menimbulkan banyak persoalan di sektor hulu hingga hilir yang membuat industri sawit semakin tidak kompetitif, bahkan di dalam negeri.
Hanya, sebelumnya negara harus sepakat bahwa sektor sawit merupakan industri strategis yang punya peran besar dan harus dilindungi untuk mensejahterakan masyarakat. Sebagai sektor strategis, negara harus memahami bahwa swasta merupakan pengelola terbesar di sektor tersebut. Itu sebabnya, kebijakan antara swasta dan pemerintah pastinya memiliki azas berbeda dan tidak dapat disetarakan secara hukum, misalnya dalam kasus dugaan korupsi minyak goreng.
“Swasta mencari keuntungan dalam berbisnis, sementara negara harus melayani masyakarat misalnya memberi subsidi Bantuan Langsung Tunai agar kepentingan publik terjaga,” kata Sadino di Jakarta, Selasa (19/9).
Sadino menilai, tidak tepat bagi negara menjatuhkan sanksi kepada swasta terkait korporasi sebagai pemicu kerugian negara senilai Rp 6,47 triliun.
“Untung-rugi swasta harus dinilai sendiri melalui audit akuntan. kalau mereka perusahan publik, maka audit dilakukan dengan akuntan publik. Jadi tidak tepat menjatuhkan sanksi kerugian negara kepada swasta karena azas penilaiannya berbeda,” kata dia.
Kerugian Negara
Sadino juga mempertanyakan jika memang ada kerugian negara yang begitu besar, mengapa hingga saat ini negara belum membayar utang rafaksi minyak goreng kepada pengusaha ritel sebesar Rp 344 miliar.
Pasalnya, hal itu dapat memicu persoalan serius karena perusahaan ritel berencana mengurangi pembelian minyak goreng mereka dari distributor apabila rafaksi minyak goreng tidak kunjung dibayar dalam waktu dekat.
“Ini jadi persoalan lain yang bisa menyebabkan kelangkaan minyak goreng di tengah masyarakat, karena peritel tidak punya kepastian sama sekali kapan hak mereka akan dibayarkan," ujar dia.
Advertisement