Liputan6.com, Beijing - Pakar kesehatan di Republik Rakyat China (RRC) meminta agar masyarakat kembali ikut aksinasi COVID-19 pada Oktober 2024 ini. Saran para dokter dan pakar medis itu diberikan karena ada tantangan dari COVID-19 pada musim gugur.
Selain vaksin COVID-19, publik juga diminta untuk vaksin influenza.
Advertisement
Berdasarkan laporan media pemerintah China, Global Times, Senin (25/9/2023), saran itu berasal dari studi yang dilakuan pakar penyakit menular Zhang Wenhong. Studi itu menyebut kekebalan terhadap varian Omicron telah melemah karena virusnya terus berkembang.
Omicron merupakan varian yang dikhawatirkan (variant of concern) di sebagian besar negara-negara dunia, menurut studi yang terbit jurnal Emerging Microbes dan Infections pada 5 September lalu.
Varian Omicron terus bermutasi menjadi berbagai sub-varian, seperti BA.1, BA.2, BA.4, BA.5, dan BF.7, serta XBB.1.5. Studi tersebut juga mencatat perkembangan Omicron menyebabkan banyak kematian dan memberikan dampak ekonomi yang besar.
Varian BQ.1.1, CH.1.1, XBB.1.5 disebut lebih sulit ditangkal meski sudah pernah mendapat dua dosis vaksin COVID-19.
Maka dari itu, studi tersebut menjelaskan bahwa penting untuk terus mengevaluasi strategi vaksinasi melawan sub-varian terbaru Omicron.
Pakar COVID-19 Zhuang Shilihe lantas merekomendasi kepada publik untuk vaksinasi untuk melawan varian XBB yang dominan.
Pemerintah China pada Juni lalu telah memberikan izin darurat bagi vaksin untuk melawan turunan XBB. Vaksin itu dikembangkan oleh WestVacBioharma dan West China Medical Center.
Zhuang memprediksi akan ada lebih banyak update vaksin terbaru dalam beberapa bulan ke depan. Ia pun menegaskan bahwa lebih baik untuk mendapatkan vaksin COVID-19 dan flu pada akhir Oktober 2023.
Selain XBB, China juga mengalami kenaikkan kasus subvarian EG.5. Akan tetapi, pakar kesehatan Peng Jie dari Southern Medical Universities menyebut kasus EG.5 tergolong ringan karena bisa dikalahkan antibodi infeksi COVID-19 sebelumnya.
Bukan Cuma Cegah Kena COVID-19, Kondisi Ini Mesti Pakai Masker
Sebelumnya dilaporkan, masker dapat menjadi alat untuk mencegah COVID-19. Namun, masker juga mencegah penyakit lain yang menyebar ketika seseorang di dekat Anda batuk atau bersin, yang mengeluarkan percikan menular ke udara.
Pada Desember 2022, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mendorong orang untuk memakai masker demi membantu memperlambat penyebaran penyakit pernapasan lain seperti flu dan Respiratory Syncytial Virus (RSV).
RSV adalah virus pernapasan umum yang menginfeksi paru-paru maupun saluran pernapasan. Virus ini biasanya menyebabkan pembengkakan dan peradangan pada tabung pernapasan atau bronchioles, yang disebut bronchiolitis.
Pakai Masker Jika Rentan Terkena Flu
Yale Medicine emergency medicine specialist, Karen Jubanyik, MD, mendesak orang dewasa untuk mempertimbangkan memakai masker selama musim flu jika mereka berisiko atau berinteraksi dengan orang-orang yang rentan terhadap komplikasi flu.
"Karena flu menyerang Anda secara tiba-tiba, Anda mungkin merasa baik-baik saja meskipun berpotensi menular, lalu tiba-tiba Anda mengalami demam," kata Karen, dikutip dari Yale Medicine.
“Orang-orang yang berisiko terkena komplikasi flu adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas, orang-orang dengan kondisi medis kronis tertentu, orang hamil, dan anak-anak.”
Advertisement
Kapan Masker Diperlukan?
UC San Diego Health memperbarui protokol kesehatan penggunaan masker. Mereka mewajibkan penggunaan masker untuk situasi sebagai berikut:
- Mereka yang baru saja didiagnosis dengan penyakit infeksi pernapasan sehingga membutuhkan masker.
- Mereka yang mengalami gejala pernapasan, misalnya, batuk, pilek, dan/atau sakit tenggorokan yang konsisten dengan penyakit menular.
- Mereka yang telah disarankan oleh tim medis pasien untuk mengenakan masker, terutama yang mengalami gangguan kekebalan atau sedang melakukan tindakan pencegahan karena kekebalannya berkurang.
- Mereka yang telah diminta oleh pasien untuk mengenakan masker demi mencegah virus menyebar. Terutama menggunakan masker jika Anda berisiko tinggi mengalami komplikasi penyakit pernapasan
Kurangi Penularan Virus Pernapasan Lain
Jauh sebelum pandemi COVID-19, para peneliti telah mempelajari efektivitas masker dalam mengurangi penularan virus pernapasan lainnya. Meta-analisis penyebaran virus selama epidemi SARS asli pada tahun 2002-2003 menunjukkan, satu infeksi dapat dicegah untuk setiap enam orang yang mengenakan masker, dan untuk setiap tiga orang yang mengenakan masker N95.
Pemakaian masker oleh petugas kesehatan telah lama dianggap sebagai strategi utama untuk melindungi bayi muda yang berisiko dari infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang ditularkan di rumah sakit. Evaluasi ilmiah terhadap efektivitas masker secara historis telah dikaburkan oleh fakta bahwa penggunaan masker sering digunakan bersama dengan strategi lain, seperti mencuci tangan.
Melansir Scientific American, ada pula salah satu studi acak terbesar sebelum COVID-19 tentang pemakaian masker, yang dilakukan dengan lebih dari 1.000 mahasiswa asrama University of Michigan pada tahun 2006 hingga 2007, menemukan bahwa penyakit pernapasan bergejala berkurang di antara para pemakai masker. Hal ini terutama terjadi ketika masker dikombinasikan dengan kebersihan tangan.
Baru-baru ini, para peneliti mengukur jumlah virus yang ada dalam napas yang diembuskan dari orang-orang dengan gejala pernapasan. Tujuannya, mempelajari seberapa baik masker menghalangi pelepasan partikel virus.
Mereka yang dipilih secara acak untuk memakai masker memiliki tingkat pelepasan pernapasan yang lebih rendah untuk influenza, rhinovirus- yang menyebabkan flu biasa- dan virus corona non-SARS, dibandingkan mereka yang tidak memakai masker.
Advertisement