Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menaikkan target penerimaan cukai menjadi Rp246,1 triliun di 2024. Meskipun belum disampaikan secara spesifik, namun seperti yang sudah-sudah, dapat diprediksi bahwa target penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) akan ikut meningkat.
Terlebih, kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2024 juga sudah ditentukan sebesar rata-rata 10 persen, besaran yang sama dengan tahun ini.
Advertisement
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi menyoroti imbas kenaikan cukai yang terlalu tinggi terhadap fenomena rokok ilegal.
"Maraknya rokok ilegal ini sudah terjadi cukup lama. Salah satu pemicu terjadinya hal ini adalah kenaikan cukai yang terlalu tinggi dalam beberapa tahun terakhir," ucap Benny di Jakarta, (Senin (25/9/2023).
Menurutnya, persentase kenaikan tarif cukai rokok telah melampaui angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan tersebut juga sudah jauh melebihi daya tahan industri rokok nasional.
Tarif Cukai Naik Drastis
Benny menyebut, tarif CHT dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan yang terlalu drastis.
Dia mencontohkan, kenaikan cukai rokok pada 2020 yang rata-rata sebesar 23 persen lalu diikuti kenaikan rata-rata sebesar 12,5 persen dan 12 persen pada tahun 2021 dan 2022.
Akhirnya, konsumen memilih untuk mencari rokok yang lebih murah dan bahkan membeli rokok ilegal. "Sebagai solusi, kami sudah berulang kali menyampaikan kepada pemerintah agar kenaikan cukai hendaknya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," katanya.
Reporter: Siti Nur Azurra
Sumber: Merdeka.com
Kebijakan Multilayer
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan keputusan pemerintah memberlakukan kebijakan multiyear patut diapresiasi sebagai bentuk kepastian bagi pelaku usaha. Namun, menurutnya pemerintah tetap perlu memperhatikan kondisi industri yang merasakan tekanan dari kebijakan kenaikan cukai yang eksesif.
"Situasi sekarang sudah membuktikan bahwa kenaikan yang cukup eksesif ini berakibat pada produksi industri hasil tembakau yang menurun. Nah, dan hal ini juga sudah terlihat melalui data dari semester awal ini. Jadi, dengan diberlakukannya tarif cukai yang tinggi ini, industri hasil tembakau merasakan tekanan," katanya.
Tekanan terhadap industri hasil tembakau yang Andry sebut dapat dilihat pada data produksi rokok secara kumulatif pada periode Januari-Agustus 2023. Tercatat, dalam kurun waktu tersebut produksi rokok di Indonesia sebesar 197,5 miliar batang atau turun 2,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Andry melihat pergeseran pola konsumsi di masyarakat ini adalah dampak lain kenaikan cukai eksesif terhadap konsumen. Dia menyampaikan, konsekuensi dari kenaikan tarif dan kenaikan harga rokok adalah konsumen mencari alternatif yang lebih murah.
"Konsumen yang biasanya mengonsumsi di layer pertama akan turun ke layer kedua. Kalau tidak ada yang sampai di bawahnya, maka pindah ke tingwe atau TIS maupun rokok ilegal."
Advertisement
Cukai Rokok Rp 126 Triliun Sudah Masuk Kantong Negara, Diramal Turun di Akhir 2023
Kementerian Keuangan telah mengantongi sekitar Rp 126,8 triliun dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok per Agustus 2023. Namun, angka penerimaan dari cukai rokok ini diprediksi akan menurun hingga penghujung tahun 2023 ini.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa, Diretorat Jenderal Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, angka penerimaan cukai HT tadi sudah sekitar 50 persen dari target yang ditetapkan untuk 2023.
Diketahui, target APBN 2023 untuk total cukai Rp 245,5 triliun, hasil tembakau Rp 232,5 triliun. Berdasarkan outlook laporan semester untuk cukai HT sebesar Rp 218,1 triliun atau 93,8 persen dari target APBN.
"Capaian penerimaan cukai HT sampai dengan agustus sebesar Rp 126,8 T atau 54,53 persen," kata dia disela-sela Press Tour Kemenkeu, di Sidoarjo, Jawa Timur, ditulis Kamis (14/9/2023).
Birwala mencatat, ada potensi target yang ditetapkan untuk cukai rokok di tahun 2023 ini tidak tercapai. Faktornya, karena adanya penurunan dari penerimaan berdasarkan golongan cukai hasil tembakau. Artinya, ada peralihan pola konsumsi dari rokok golongan I ke golongan II yang lebih murah.
"Potensi tidak tercapainya target penerimaan, disebabkan oleh 3 hal yaitu adanya downtrading ke golongan 2, shifting konsumsi ke rokok elektrik, dan peredaraan rokok ilegal," jelasnya.
Penurunan Penerimaan dari Cukai RokokSenada, Kepala Kanwil Bea dan Cukai Jawa Timur I Untung Basuki menjelaskan penurunan penerimaan dari cukai rokok golongan I akan berpengaruh kepada realisasi penerimaan cukai kedepan. Namun, pihaknya pun dilematis antara harus menaikkan tarif cukai atau tetap pada tarif saat ini.
Pasalnya, Untung khawatir akan mendorong makin banyak beredarnya rokok ilegal jika tarif cukai dinaikkan. Pada sisi yang lain, kenaikan tarif cukai bisa mengungkit penerimaan dari cukai hasil tembakau. "Ini kan tentu menjadi perhatian kita adalah apakah struktur tarif itu sudah dalam posisi yang sudah dioptimalisasi. Artinya ketika dinaikin lagi malah justru akan menimbulkan ilegal," ujarnya.
Menghambat Setoran Cukai
Lebih lanjut, Untung menyebut dengan fenomena ini akan menghambat penerimaan dari sektor cukai HT. Menurutnya, ini sudah menjadi tanangan di Bea Cukai sejak lama.
"Iya, itu dari dulu sebetulnya tetap menjadi tantangan. Produsen rokok itu kan sebetulnya Jawa Tengah sebagian, Jawa Timur ada Smatera utara sama Sulawesi," ungkapnya.
Jika dilihat, upaya pemungutan cukai dari produk hasil tembakau merupakan upaya untuk mengendalikan konsumsi dari sisi pengenaan fiskal. Tapi, juga dihadapkan dengan tantangan maraknya rokok ilegal yang beredar tanpa cukai.
"Ya bagaimana kita mengupayakan rokok ilegal itu kita minimalisirkan. Itu tugas kita yang rokok ilegal itu kan," pungkasnya.
Advertisement