Awas, Ancaman Mengerikan Ini Incar Negara Maju

Negara-negara maju yang menuju proses Sustainable Development (SGDs) 2030 mengalami risiko deindustrialisasi mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Sep 2023, 13:10 WIB
Negara-negara maju yang menuju proses Sustainable Development (SGDs) 2030 mengalami risiko deindustrialisasi mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan negara-negara maju yang menuju proses Sustainable Development (SGDs) 2030 mengalami risiko deindustrialisasi mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Ia menilai justru hal itu malah melemahkan komitmen yang dibuat negara-negara tersebut mengenai emisi nol bersih.

 

"Beberapa contoh pemerintah dan negara yang kini telah menempuh jalan yang sangat ekstrem dan sampai batas tertentu justru berbalik arah dalam komitmennya untuk net zero dan pengembangan energi terbarukan," ujar Mahendra dalam acara Save The Planet: The Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and Electric Vehicles Development, Jakarta, Senin (25/9).

Mahendra menjelaskan kebutuhan energi dalam perekonomian yang sedang dalam transisi harus terpenuhi, sehingga tidak realistis mengharapkan energi terbarukan dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek.

Hal itu dikarenakan, kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan, sehingga teknologi seringkali memerlukan modal tingkat tinggi dengan produktivitas rendah dan tidak adanya pendanaan.

Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga batu baru dibuka kembali di Eropa. Menurut Mahendra terdapat kekurangan pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan yang tidak menghasilkan keuntungan.

Ekonomi Hijau

Oleh karena itu, agar Indonesia dapat terus memajukan ekonomi hijau, kata dia, Indnesia perlu meneliti lebih cermat kesimbangan yang dibutuhkan dan waktu yang dibutuhkan dalam proses transisi.

"Dan kita perlu fokus pada penelitian berbasis bukti. Misalnya industri mobil listrik bergantung pada penambangan mineral penting dan titik pengisian mobil sebagian besar bergantung pada listrik dari bahan bakar fosil. Karena sebagian besra alternatif berbiaya tinggi akan mengahambat pengembagan mobil listrik secara signifikan. Dalam hal ini pembiayaan yang ditargetkan harus mencakup proses hulu dan hilir," terang dia.

Pemerintah perlu memastikan bahwa perekonomian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada investasi yang bankable. Serta harus bijaksana dalam memilih energi terbarukan.

"Misalnya, terdapat kekhawatiran yang berkembang bahwa energi angin mungkin bukan sumber yang layak. Investasi tinggi, produktivitas rendah memerlukan subsidi besar. Hal ini mungkin masih bisa dilakukan di wilayah tertentu di Indonesia, namun hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut," tuturnya.

 

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com


Tak Benar Indonesia Deindustrialisasi, Kontribusi Manufaktur ke Ekonomi Paling Besar

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita. Ia mengatakan bahwa kontribusi manufaktur ke pertumbuhan ekonomi masih tinggi. (Dok Kemenperin)

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, industri manufaktur masih menjadi pendorong utama perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari konsistensi industri pengolahan nonmigas yang memberikan kontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dengan capaian 16,30 persen pada kuartal II 2023.

“Kontribusi sektor manufaktur masih yang tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya," jelas dia dalam keterangan tertulis, Selasa (8/8/2023). 

"Artinya, industri kita masih bergeliat di tengah melambatnya ekonomi global. Kinerja positif ini juga sejalan dengan capaian PMI Manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri yang masih berada di level ekspansi,” tambah dia.

Industri pengolahan nonmigas tumbuh sebesar 4,56 persen pada triwulan II tahun 2023, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun lalu sekitar 4,33 persen.

“Di kuartal kedua ini, pertumbuhan ekonomi kita sebesar 5,17 persen, dengan sektor manufaktur yang secara konsisten menjadi kontributor terbesar pertumbuhan, didukung oleh permintaan yang juga terus menguat,” tuturnya.

Agus menyebutkan, pertumbuhan terbesar dari performa sektor manufaktur nasional pada triwulan II-2023, yakni industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik yang tumbuh sebesar 17,32 persen. Disusul industri logam dasar (11,49 persen), industri alat angkutan (9,66 persen), industri makanan dan minuman (4,62 persen), serta industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman (4,50 persen).

“Capaian tersebut menunjukkan tingkat optimisme dari pelaku industri kita masih cukup tinggi, terutama dalam menghadapi tantangan global saat ini. Ini yang juga menjadi peluang dalam pengembangan sektor manufaktur di masa mendatang,” paparnya.

Hal ini sejalan dengan hasil survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Juli 2023. Secara umum, kepercayaan industri masih sangat baik karena beberapa subsektor yang besar seperti industri makanan, industri kendaraan bermotor, industri minuman, dan industri peralatan listrik mengalami kenaikan ekspansi. Seluruh indeks variabel pembentuk IKI mengalami ekspansi pada Juli 2023, baik variabel Pesanan Baru, Produksi, maupun Persediaan Produk.

 


Deindustrialisasi

Suasana produksi komponen otomotif di pabrik PT Dharma Polimetal, kawasan Delta Silicon, Cikarang, Jawa Barat. Perusahaan manufaktur Triputra Group menargetkan penjualan hingga 38.81 % atau senilai Rp 3,08 triliun pada 2021 khususnya segmen kendaraan roda empat (4W). (Liputan6.com/HO/Dharma)

Peneliti senior LPEM FEB UI yang juga merupakan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico menyampaikan, tidak tepat apabila Indonesia disebut sedang mengalami deindustrialisasi.

“Sebab, inflasi Indonesia rendah, nilai tukar rupiah masih stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen, lebih tinggi daripada inflasinya. Jadi, ekonomi kita masih resilience,” ungkapnya.

Industri manufaktur juga merupakan sektor terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja. “Sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of global economic growth. Sehingga, dunia melihat Indonesia sebagai sumber pertumbuhan,” paparnya.

Percepatan pertumbuhan perlu dikejar sebelum terjadi penurunan deviden demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2037.

“Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen, Indonesia perlu menguatkan struktur melalui manufaktur sehingga kontribusinya dapat kembali pada kisaran 28-30 persen. Pertumbuhan sektor manufaktur diharapkan mencapai 9-10 persen,” jelas Kiki.

Langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur adalah dengan melakukan transformasi struktural, antara lain melalui peningkatkan kualitas SDM manufaktur, dan pengembangan ekonomi inklusif manufaktur penerapan teknologi digital. Selain itu, dengan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi manufaktur dunia, termasuk pada produk-produk green industry.

Kiki menambahkan, Indonesia juga memiliki potensi untuk mengembangkan aftersales service (jasa purnajual) untuk produk-produk industri. Kegiatan R&D dan inovasi sangat diharapkan berkembang di Indonesia.

 


Industri Makanan dan Minuman

Persiapan keberangkatan kapal besar (Direct Call) pembawa kontainer yang membawa ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Umum Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Adhi S Lukman mengemukakan, kinerja industri makanan dan minuman di Indonesia tahun ini sudah membaik jika dibandingkan dengan tahun 2022.

Ini jelas terlihat dari peringkat realisasi investasi pada Januari-Juni 2023. Di periode ini, industri makanan-minuman berada pada peringkat ke-4 dengan nilai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp26,72 triliun dengan total 5.416 proyek.

“Sedangkan, dari sisi Penanaman Modal Asing (PMA) industri mamin telah mencatatkan investasi sebesar USD1,117 miliar dengan 2.226 proyek,” sebutnya.

Apabila dilihat dari kontribusi terhadap PDB industri pengolahan nonmigas, pada triwulan I tahun 2023 industri makanan dan minuman merupakan yang paling tinggi di antara industri yang lainnya, yaitu sebesar 38,61 persen.

Pertumbuhan industri mamin, lanjut Adhi, tidak terlepas peran dari dukungan Kemenperin yang terus menerapkan peta jalan Making Indonesia 4.0 melalui penerapan lighthouse.

“Status lighthouse ini adalah perusahaan-perusahaan yang ditunjuk oleh Kemenperin sehingga mempunyai tanggung jawab untuk aktif membagikan pengalamannya kepada industri di sektor masing-masing, sehingga dapat sama-sama memperoleh keuntungan lewat transformasi digital,” paparnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya