Liputan6.com, Jakarta Pengamat ekonomi Dendi Ramdani menyatakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) merupakan rangkaian reformasi struktural guna mendorong Indonesia menuju negara berpendapatan tinggi.
"Dengan langkah-langkah ini, Indonesia bertekad untuk menjadi negara yang makmur dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya," kata Dendi Ramdani dikutip dari Antara, Selasa (26/9/2023).
UU Cipta Kerja, menurut dia, juga sebagai langkah penting dalam menghindari jebakan middle income trap yang dapat menghambat perkembangan negara-negara berkembang.
Advertisement
Penerbitan UU Cipta Kerja, katanya lagi, adalah bagian dari reformasi struktural ekonomi Indonesia untuk menghindari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income-trap) di masa depan.
"Langkah ini adalah kunci untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi, mendorong inovasi, memperkuat kepastian berusaha, dan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif melalui perbaikan kualitas peraturan dan regulasi di bawahnya," ujarnya.
Transformasi Struktural
Dendi menegaskan, transformasi struktural yang dilakukan melalui UU Cipta Kerja adalah langkah strategis, karena banyak negara yang gagal atau terlambat dalam menjalankan transformasi struktural dan akhirnya terjebak dalam middle income trap.
Dia menambahkan, pengalaman dari beberapa negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa jika sebuah negara gagal melaksanakan transformasi struktural dengan baik, maka negara tersebut tidak akan mencapai status berpendapatan tinggi.
Sebaliknya, menurut dia, negara tersebut akan terjerumus dalam middle income trap, yang berarti pertumbuhan ekonomi melambat, produktivitas menurun, dan pendapatan per kapita mengalami penurunan.
Contoh Brazil dan Afrika Selatan
Beberapa negara, seperti Brasil dan Afrika Selatan, menjadi contoh negara yang gagal melakukan transformasi struktural dan mengalami penurunan pendapatan per kapita setelah mencapai puncak tertentu.
"Kehadiran UU Cipta Kerja merupakan upaya penting untuk melakukan reformasi struktural di sektor ekonomi," katanya pula.
Indonesia saat ini berada dalam perlombaan melawan waktu untuk mencapai target menjadi negara berpendapatan tinggi, ujar dia, dan hanya memiliki sekitar 17 tahun untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
"Periode saat ini hingga tahun 2040 adalah momen berharga bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dengan memanfaatkan bonus demografi yang sedang kita nikmati," kata dia.
Advertisement
Awas, Ancaman Mengerikan Ini Incar Negara Maju
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan negara-negara maju yang menuju proses Sustainable Development (SGDs) 2030 mengalami risiko deindustrialisasi mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Ia menilai justru hal itu malah melemahkan komitmen yang dibuat negara-negara tersebut mengenai emisi nol bersih.
"Beberapa contoh pemerintah dan negara yang kini telah menempuh jalan yang sangat ekstrem dan sampai batas tertentu justru berbalik arah dalam komitmennya untuk net zero dan pengembangan energi terbarukan," ujar Mahendra dalam acara Save The Planet: The Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and Electric Vehicles Development, Jakarta, Senin (25/9).
Mahendra menjelaskan kebutuhan energi dalam perekonomian yang sedang dalam transisi harus terpenuhi, sehingga tidak realistis mengharapkan energi terbarukan dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek.
Hal itu dikarenakan, kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan, sehingga teknologi seringkali memerlukan modal tingkat tinggi dengan produktivitas rendah dan tidak adanya pendanaan.
Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga batu baru dibuka kembali di Eropa. Menurut Mahendra terdapat kekurangan pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan yang tidak menghasilkan keuntungan.
Ekonomi Hijau
Oleh karena itu, agar Indonesia dapat terus memajukan ekonomi hijau, kata dia, Indnesia perlu meneliti lebih cermat kesimbangan yang dibutuhkan dan waktu yang dibutuhkan dalam proses transisi.
"Dan kita perlu fokus pada penelitian berbasis bukti. Misalnya industri mobil listrik bergantung pada penambangan mineral penting dan titik pengisian mobil sebagian besar bergantung pada listrik dari bahan bakar fosil. Karena sebagian besra alternatif berbiaya tinggi akan mengahambat pengembagan mobil listrik secara signifikan. Dalam hal ini pembiayaan yang ditargetkan harus mencakup proses hulu dan hilir," terang dia.
Pemerintah perlu memastikan bahwa perekonomian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada investasi yang bankable. Serta harus bijaksana dalam memilih energi terbarukan.
"Misalnya, terdapat kekhawatiran yang berkembang bahwa energi angin mungkin bukan sumber yang layak. Investasi tinggi, produktivitas rendah memerlukan subsidi besar. Hal ini mungkin masih bisa dilakukan di wilayah tertentu di Indonesia, namun hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut," tuturnya.
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Advertisement