Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki ketahanan dalam menghadapi laju harga minyak dunia.
Advertisement
“Pemerintah selalu melakukan exercise. Awal tahun lalu, di bulan Januari kami sudah lakukan stress testing untuk melihat apakah APBN akan terdampak signifikan dari pergerakan harga minyak,” kata Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Abdurrohman, dalam Media Gathering Kementerian Keuangan 2023 di Bogor, Jawa Barat pada Senin (25/9/2023).
Abdurrohman menyoroti gejolak harga minyak dunia dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di 2022 lalu.
“Memang kita liat history di 2022 kemarin harga minyak sempat menyentuh USD 120 (per barel),” katanya.
Namun, Abdurrohman yakin, harga minyak yang tinggi tidak akan bertahan untuk waktu yang lama.
“Karena demand akan menurun dan kemudian membalikkan (harga minyak) ke titik lebih rendah,” imbuhnya.
Maka dari itu, Abdurrohman memprediksi harga minyak dunia tidak akan mencapai USD 100 per barel di 2024 mendatang.
Kenaikan Harga Minyak
Di sisi lain, Abdurohman menyebut, kenaikan harga minyak dunia juga bisa memberikan dampak positif pada penerimaan negara.
Hal itu didorong oleh kenaikan harga komoditas lain yang mengikuti harga minyak, di manaIndonesia merupakan eksportir.
“Karena harga komoditas lain juga (akan) mengikuti. Jadi, dari sisi revenue kita masih mendapat net gain dari kenaikan tersebut,” jelasnya.
Tetapi Abdurohman menekankan, pemerintah tetap melakukan antisipasi kebijakan untuk menjaga ketahanan APBN dari timbulnya risiko gejolak harga minyak dunia. “Di 2023 dan awal tahun akan kita lihat lagi. Kalau ada pergerakannya signifikan, kemungkinan diminta langsung exercise,” beber Abdurrohman.
Dahsyatnya Dampak Belanja Caleg Rp 1 Miliar di Pemilu 2024 ke Ekonomi Indonesia
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan, musim Pemilihan Umum (Pemilu) atau Tahun Politik 2024 diproyeksi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Kemenkeu, Abdurohman mengatakan bahwa belanja calon legislatif akan menjadi salah satu aktivitas yang menjadi penyumbang yang cukup besar.
Sebagai informasi, belanja calon legislatif termasuk dalam kategori konsumsi lembaga non profit (LNPRT).
“(Salah satu) efek dari Pemilu adalah belanja yang dilakukan caleg," kata Abdurohman, dalam kegiatan Media Gathering Kementerian Keuangan di Bogor, Senin (25/9/2023).Menjelang musim Pemilu 2024, belanja caleg dapat mendongkrak konsumsi LNPRT hingga 4,72 persen di 2023, papar Abdurohman.
Estimasi tersebut berdasarkan hitungan pada jumlah potensi caleg dan pengeluarannya.
“Jadi dampak langsungnya akan nambah ke pertumbuhan konsumsi (hingga) 6,57 persen di 2024,” lanjutnya.
Adapun asumsi rata-rata pengeluaran caleg yang memperebutkan kursi legislatif tingkat provinsi, sebesar Rp 1 miliar.
Abdurohman mencatat, pada Pemilu tahun 2019 saja ada sebanyak 8.037 caleg yang bersaing untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 258.631 caleg untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat 1 dan tingkat 2.
Berpotensi Mendongkrak Konsumsi Masyarakat Rumah Tangga
Tak hanya LNPRT, belanja caleg di Pemilu 2024 juga dapat mendongkrak konsumsi masyarakat, di mana dana yang mereka gelontorkan akan mengalir ke pengusaha domestik.
Abdurohman menyebutkan, belanja caleg diprediksi mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga 0,2 persen di tahun 2023 ini dan 0,27 persen untuk tahun 2024 mendatang. "Itu dapat menjadi kompensasi dari downside risk pelemahan global," pungkasnya.
Advertisement
Investor Domestik Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi di Tahun Pemilu 2024
Ketua Ekonom PermataBank, Josua Pardede mengungkapkan bahwa tahun pemilu cenderung menurunkan laju investasi.
Josua mengutip data dari Badan Statistik Indonesia (BPS) dan PermataBank Economic Research pada musim pemilu 2004 hingga 2019, yang menunjukkanbahwa selama dan menjelang tahun pemilu pertumbuhan investasi cenderung melambat.
“Pada tahun berikutnya, pertumbuhan investasi biasanya melonjak dan mulai normal,” papar Josua dalam Media Gathering Kementerian Keuangan pada Senin (25/9/2023).
“Tahun pemilu 2019 merupakan sebuah anomali karena pandemi mulai terjadi pada tahun 2020,” Josua mencatat.
Sementara itu, pertumbuhan konsumsi pada pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 menguat pada saat dan menjelang tahun pemilu, namun pada tahun 2014 dan 2019, penguatan tersebut sudah tidak terlihat lagi.
Menurutnya, dalam hal investasi asing, tahun politik merupakan tantangan daripada peluang. Hal itu dikarenakan investor cenderung menunggu dan melihat kestabilan situasi politik di tahun pemilu.
Yakinkan Pelaku Usaha
Maka dari itu, penting untuk pemerintah meyakinkan pelaku usaha dan investor, khususnya investor domestik untuk terus optimistis ke depannya.
UU Cipta Kerja
Josua merujuk, upaya itu salah satunya dari yang sudah dilakukan pemerintah dengan kebijakan reformasi struktural melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Ke depan adalah bagaimana kita meyakinkan pelaku usaha (dan investor) domestik bahwa APBN disusun dengan sangat strategis dan memiliki dampak nyata terhadap perekonomian, tidak hanya pelaku usaha tetapi juga masyarakat,” jelasnya.
Josua mengungkapkan, investor domestik bisa diandalkan dalam menbantu mendorong perekomonian ketika laju investasi asing surut.
Ekonom di PertamaBank itu membeberkan contoh ketika pandemi mendorong penurunan pada investasi asing, namun investasi domestik ikut membantu menjaga kinerja di tengah krisis.
Advertisement