Liputan6.com, Jakarta - Ada berbagai pewarna alami dalam industri makanan dan kosmetik. Lazimnya, pewarna ini berasal dari tumbuhan maupun hewan.
Salah satunya adalah karmin, yang dihasilkan dari tubuh betina serangga Cochineal yang telah dikeringkan dan dihancurkan.
Baca Juga
Advertisement
Mengutip kanal Hot Liputan6.com, pewarna ini mengandung senyawa yang disebut asam karminat, yang memberikan warna merah cerah yang umumnya digunakan untuk memberi warna pada berbagai jenis makanan dan minuman, seperti permen, minuman ringan, yogurt, es krim, dan produk-produk lainnya.
Karakter warna merah atau merah muda yang dihasilkan oleh karmin, membuat salah satu pewarna alami ini sering juga digunakan sebagai pewarna kosmetik, terutama lipstik. Karmin adalah salah satu dari beberapa pewarna alami yang diizinkan dalam banyak regulasi makanan internasional, termasuk oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).
Sebagai umat Islam, selain berkiblat pada kelayakan sebuah produk, maka yang perlu diperhatikan adalah kehalalan produk tersebut. Pertanyaannya, bagaimana hukum penggunaan karmin sebagai pewarna alami dalam Islam?
Berikut ini adalah hukum Islam tentang penggunaan karmin sebagai pewarna alami menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahlatul Ulama (NU) Jatim.
Simak Video Pilihan Ini:
Hukum Pewarna Karmin Menurut Fatwa MUI
Mengingat karmin digunakan sebagai pewarna makanan dan kosmetik, tentu penting bagi umat Islam untuk memahami hukum penggunaan pewarna alami ini. Ada perbedaan pendapat mengenai hukum penggunaan karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik.
Menurut Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia), penggunaan pewarna karmin yang berasal dari serangga Cochineal adalah halal. Pada tahun 2011 MUI melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 dikeluarkan pertimbangan bahwa Cochineal adalah serangga yang hidup di atas kaktus, mengkonsumsi kelembaban dan nutrisi dari tanaman, dan darahnya tidak mengalir. Fatwa tersebut didasarkan pada beberapa dalil, salah satunya hadis berikut:
“Dari Abdullah ibnu Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: dihalalkan bagi orang muslim dua bangkai dan dua darah; sedang dua bangkai ialah ikan dan belalang, sedang dua darah ialah hati dan limpa.” (HR. Ahmad)
Oleh karena itu, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal, asalkan pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.
Namun, dalam penggunaan pewarna karmin, perlu diperhatikan bahwa seringkali diperlukan bahan tambahan seperti bahan pelarut, bahan pelapis, dan bahan pengemulsi agar warna tetap cerah, tidak mudah pudar, dan stabil. Beberapa dari bahan tambahan ini dapat berasal dari hewan, seperti gelatin yang digunakan sebagai bahan pelapis. Oleh karena itu, MUI juga menekankan bahwa bahan tambahan ini harus berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal.
Dengan demikian, keseluruhan produk pewarna karmin yang digunakan dalam makanan dan minuman harus memenuhi persyaratan kehalalan, termasuk bahan tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan pewarna tersebut. Ini penting untuk memastikan bahwa produk akhir tetap sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.
Advertisement
Hukum Pewarna Karmin Menurut Fatwa Bahtsul Masail PWNU Jatim
Menurut Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) Jatim, zat pewarna karmin yang berasal dari serangga dianggap haram dan najis untuk dikonsumsi. Keputusan ini diambil setelah pertimbangan berdasarkan aspek keagamaan dan hukum Islam.
Pewarna karmin sering kali diidentifikasi dalam makanan atau produk make-up dengan kode E-120, dan untuk itu, disarankan agar masyarakat menghindari produk-produk yang mengandung kode ini.
Pada bahtsul masail tersebut, disebutkan bahwa penggunaan karmin diharamkan menurut Imam Syafi'i, dan Bahtsul Masail NU Jatim adalah penganut Madzhab Syafi'iyah. Keputusan ini mengacu pada pandangan dalam Madzhab Syafi'i yang memandang bahwa bangkai serangga (hasyarat) dianggap najis dan menjijikkan. Oleh karena itu, konsumsi produk yang mengandung pewarna karmin dari serangga dilarang dalam pandangan Madzhab Syafi'i yang dianut oleh NU Jatim.
Namun, perlu diingat bahwa dalam konteks fikih Islam, terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab fikih. Sebagian mazhab, seperti Madzhab Maliki, memiliki pandangan yang berbeda tentang konsumsi bangkai serangga.
Bahtsul Masail NU Jatim menegaskan bahwa dalam pandangan mereka, karmin dari serangga adalah haram dan najis berdasarkan Madzhab Syafi'i.
Tim Rembulan