Curhat Peserta JKN, Terima Obat Cuma buat 7 Hari padahal Dokter Resepkan 30 Hari

Obat yang diterima peserta JKN hanya untuk 7 hari, sedangkan resep dokter buat 30 hari.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 29 Sep 2023, 15:00 WIB
Ilustrasi obat yang diterima peserta JKN hanya untuk 7 hari, sedangkan resep dokter buat 30 hari. Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta BPJS Watch menerima laporan dari peserta JKN terkait obat yang diterimanya ternyata tidak sesuai jangka waktu sebagaimana yang diresepkan dokter. Peserta JKN, yang seorang ibu ini hanya menerima obat untuk 7 hari, sedangkan resep dokter tertulis buat 30 hari.

"Seorang Ibu peserta Program JKN menghubungi saya, berkeluh kesah tentang obat yang diterimanya dari sebuah rumah sakit yang hanya didapat untuk 7 hari, padahal dokter meresepkannya untuk 30 hari," tutur Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Health Liputan6.com, ditulis Jumat (29/9/2023).

"Ibu ini berobat jalan dengan jaminan JKN, mempertanyakan perihal pihak apotek yang memberikan jumlah obat tidak sesuai dengan resep dokter tersebut."

Bentuk Kecurangan Oknum Rumah Sakit

Kejadian yang dialami ibu di atas adalah masalah klasik di Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang terus terulang sejak program JKN dimulai di 1 Januari 2014.

Menurut Timboel, hal itu adalah bentuk kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum rumah sakit yang sangat merugikan pasien peserta JKN.

"Pasien disuruh beli sendiri atas kekurangan obat yang diberikan oleh apotek rumah sakit," ucapnya.

"Namun, klaim INA-CBGs yang dilakukan rumah sakit adalah utuh, sehingga pemberian jumlah obat yang kurang tersebut adalah bentuk korupsi yang dilakukan oknum rumah sakit."


Harus Lapor Dulu, Baru Dikasih Kekurangan Obat

BPJS Watch kerap kali menerima laporan soal ketidaksesuaian jangka waktu pemberian resep obat dari peserta JKN.

"ketika kami laporkan ke BPJS Kesehatan, pihak apotek rumah sakit segera memberikannya (kekurangan obat). Pihak rumah sakit sepertinya takut ke BPJS Kesehatan, dan tidak mau bermasalah dengan BPJS Kesehatan," Timboel Siregar menerangkan.

"Tapi apakah harus dilaporkan dulu, baru kekurangan obat diberikan kepada pasien JKN?"

Namun, kejadian seperti ini terus terjadi, tidak bisa diselesaikan secara sistemik. Kasus seperti ini lebih banyak dialami oleh pasien lansia yang memang sudah harus mengonsumsi obat secara rutin.


Manfaatkan untuk Meraih Keuntungan

Ilustrasi tidak semua obat masuk ke dalam Formularium Nasional (fornas), sehingga ada obat yang diresepkan dokter, tetapi tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Credit: pexels.com/Mart

Lebih lanjut, Timboel Siregar mengakui memang tidak semua peserta JKN memiliki pengetahuan tentang hak atas obat seperti yang diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UU SJSN. Demikian juga, ada pasien JKN yang tidak berani melapor karena takut dipersoalkan pada saat berobat ke RS tersebut.

"Paling tidak, dua alasan ini yang dimanfaatkan oknum apotek rumah sakit untuk meraih keuntungan dengan mengorbankan pasien JKN," lanjutnya.

Kenaikan paket biaya INA-CBGs dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2023, kata Timboel, masih belum menyadarkan oknum rumah sakit untuk tidak berbuat curang kepada pasien JKN. Rumah sakit menikmati kenaikan paket biaya tersebut namun tetap mengambil “untung” dari obat.

Ada Obat yang Tidak Dijamin BPJS

Persoalan lain yang dihadapi peserta JKN terkait obat adalah tidak semua obat masuk ke dalam Formularium Nasional (fornas), sehingga ada obat yang diresepkan dokter, tetapi tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.

"Seharusnya, daftar obat di Fornas tidak boleh menghambat akses peserta JKN atas obat," imbuh Timboel.

Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menjanjikan enam pilar transformasi layanan kesehatan kepada rakyat Indonesia, yaitu layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, SDM Kesehatan, Pendanaan Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan, diharapkan akan mampu memperbaiki layanan Kesehatan termasuk layanan obat kepada peserta JKN.


Perbaikan Layanan Kesehatan

Masyarakat mengharapkan adanya perbaikan layanan kesehatan, bahkan layanan yang lebih lagi dengan memanfaatkan kemajuan digitalisasi teknologi informasi dan teknologi kesehatan di era UU Kesehatan.

"Masyarakat rentan seperti lansia dan disabilitas diharapkan bisa mengakses pelayanan kesehatan dan obat di rumah. Pemeriksaan bisa via link zoom dan obat dikirim via ojol," Timboel Siregar menjelaskan.

Dipulangkan dalam Kondisi Belum Layak Pulang

Persoalan layanan obat adalah salah satu masalah layanan kesehatan di antara persoalan lainnya. Akses ke ruang rawat inap juga masih ada kendala, yang akan berpotensi lebih bermasalah lagi dengan pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) ke depan.

"Peserta JKN yang harus dipulangkan RS dalam kondisi belum layak pulang pun masih kerap terjadi," tutur Timboel.

Dari seluruh persoalan layanan kesehatan tersebut, kehadiran UU Kesehatan harus memberikan dampak perbaikan signifikan bagi layanan kesehatan di Indonesia.

UU Kesehatan harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini dialami pasien JKN dan pasien umum lainnya secara sistemik dengan pengawasan dan penegakkan hukum yang jelas dan tegas.

Sejumlah Cerita Klasik Kecurangan Pelaksanaan PPDB. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya