Liputan6.com, Jakarta - Publikasi Amerika Serikat (AS), USA Today, merilis daftar 100 lokasi tourist trap di dunia untuk menghindari pelancong "menghabiskan waktu atau uang untuk pengalaman yang mengecewakan." Di dalam list, terdapat tiga destinasi wisata di Bali.
Melansir situs webnya, Jumat (29/9/2023), pihaknya mengaku menganalisis 23,2 juta ulasan Google tentang 500 tempat wisata terpopuler di dunia, yang mencakup 65 negara di enam benua. "Untuk setiap objek wisata, kami mengajukan pertanyaan sederhana: 'Seberapa sering ulasan menyebutkan istilah 'tourist trap,' 'overrated,' atau 'mahal?'" katanya.
Advertisement
"Kami membandingkan atraksi satu sama lain dengan mengukur frekuensi relatif penyebutan tersebut, membagi jumlah sebutan dalam setiap kasus dengan jumlah total ulasan untuk objek wisata tersebut," imbuhnya. "Kami menguraikan temuan kami, sehingga Anda dipersenjatai dengan informasi yang Anda perlukan sebelum berencana mengunjungi tujuan wisata populer."
Juga, pihaknya mengklaim menawarkan tip bepergian dengan cara yang sesuai untuk "nafsu berkelana dan dompet Anda." Merujuk penilaian tersebut, outlet itu menempatkan Tegallalang Rice Terrace di peringkat ke-12 dengan total 38.199 ulasan, 198 kali penyebutan tourist trap, dan frekuensi 0,52 persen.
Kemudian, ada juga Sacred Monkey Forest Sanctuary di peringkat ke-82 dengan 38.867 ulasan, 37 penyebutan tourist trap, dan frekuensi 0,10 persen atas perhitungan tersebut. Terakhir, dengan 82.499 ulasan, 68 penyebutan tourist trap, dan frekuensi 0,08 persen, ada Tanah Lot di posisi ke-89.
Tegallalang Rice Terrace di Bali juga masuk dalam daftar "Atraksi Paling Overrated di Seluruh Dunia," menempati posisi ke-13 dengan 38.199 ulasan, 62 kali penyebutan overrated, dan frekuensi 0,16 persen.
Atraksi Wisata Termahal di Dunia
Namun demikian, Indonesia tidak ada dalam daftar atraksi wisata termahal di dunia. Di list ini, tiga besarnya adalah Islandia, Kanada, dan Amerika Serikat, yang masing-masing menempati posisi pertama, kedua, ketiga. Yang paling mahal adalah Blue Lagoon di Grindavik, dengan harga mulai dari 67 dolar AS (sekitar Rp1 juta-an) per orang, dan dibanderol hampir dua kali lipat selama "jam sibuk."
Diikuti Jembatan Gantung Capilano di Vancouver dengan harga tiket 69,95 dolar AS (sekitar Rp1 juta-an) per orang bila pengunjung membelinya di loket tiket. California Academy of Sciences di San Francisco berada di urutan ketiga dengan biaya masuk yang membuat konsumen mengeluh karena membanderol 49,75 dolar AS (sekitar Rp771 irbu) untuk tiket dewasa selama musim liburan.
Sebelum ini, The World's 50 Best Hotels telah mengumumkan daftar tahunan mereka lewat seremoni yang terselenggara di Inggris, 19 September 2023, waktu setempat. Di antaranya, ada dua hotel Indonesia yang berhasil masuk daftar bergengsi tersebut. Keduanya adalah Nihi Sumba yang berada di peringkat ke-18 dan di posisi 40 ada Desa Potato Head, Seminyak, Bali.
Advertisement
Nihi Sumba
Mengutip situs webnya, 21 September 2023, Nihi Sumba ditulis sebagai akomodasi yang terletak di wilayah seluas 567 hektare, yang "sebagian besar belum tersentuh di pesisir barat Pulau Sumba yang terpencil di Indonesia bagian timur."
Diterangkan pula bahwa akomodasi itu "dekat dengan Taman Nasional Komodo dan satu jam penerbangan dari Bali." "Desain resor dengan 27 vila ini terinspirasi struktur jerami tradisional Sumba dengan atap runcing yang jadi ciri khasnya, terletak di perbukitan terjal di atas pantai pribadi, rumah bagi salah satu tempat selancar paling terkenal di dunia, Occy’s Left."
Dijelaskan bahwa Nihi Sumba memulai eksistensi sebagai pondok selancar dan mempertahankan semangat akomodasi sederhana, jalur batu kasar, penekanan pada aktivitas luar ruangan, mulai dari selancar, memancing, snorkeling, menunggang kuda, bersepeda gunung, sampai hiking.
Akomodasi itu juga disebut meningkatkan kemewahan hingga tingkat yang mengesankan, terutama mengingat lokasinya yang terpencil dan penekanan praktik keberlanjutan mereka. "Semua vila memiliki kolam renang tanpa batas pribadi, kamar mandi dalam dan luar ruangan, finishing kayu jati dan marmer, serta 'tuan rumah' yang berdedikasi," sebutnya.
Desa Potato Head
Sementara itu, Desa Potato Head berada di jantung desa kreatif Seminyak dan menawarkan layanan lebih dari sekedar hotel butik. Kontras dengan kemewahan klasik resor pantai bersejarah di seluruh pulau, di sini, sketsa yang terus berkembang memperlihatkan ruangan-ruangan modern di samping instalasi seni, klub pantai yang ramai, perpustakaan, dan toko konsep unik.
"Ini adalah pemandangan holistik yang menarik orang-orang kreatif, hedonis, dan penduduk lokal yang suka berjemur," tulis pihaknya. Arsitekturnya menampilkan momen kelahiran melalui "The Womb," sebuah struktur bambu tempat pemberkatan air Bali dimulai dengan suara gong.
Fasadnya dilapisi lebih dari 1,5 juta batu bata candi Bali yang dipres dengan tangan dan mengalir mulus ke kolam yang dilapisi ubin Batu Sakabumi buatan tangan. Di dalam kamar tidur, dindingnya terbuka, material alami melimpah, dan furnitur abad pertengahan menghadirkan kesan modernisme tropis.
Keberlanjutan jadi fondasi Desa Potato Head. Sebagai seorang placemaker dan pelaku bisnis perhotelan, pendirinya, Ronald Akili, menganut prinsip inovasi radikal, dengan moto "Good Times Do Good" sebagai inti dari setiap keputusan kreatif. Sebagai merek perhotelan Asia pertama yang netral karbon, etos zero-waste tercermin dalam segala hal mulai dari desain, masakan, hingga pengalaman yang ditawarkan.
Advertisement