Liputan6.com, Jakarta - Saham emiten properti dibayangi sentimen bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) yang akan kembali mengerek suku bunga. Lantas, bagaimana prospek saham emiten properti?
Research Analyst Henan Putihrai Sekuritas Jono Syafei mengatakan, untuk prospek dari pendapatan dan laba bersih yang akan tumbuh pada 2023 dan 2024, karena serah terima properti yang terjual 2021-2022.
Advertisement
Selain itu, pendapatan berulang yang meningkat terutama dari mall dan hotel seiring dengan mobilitas masyarakat dan kunjungan turis yang terus meningkat termasuk juga event-event yang banyak diselenggarakan.
“Di sisi lain potensi kenaikan suku bunga memang bisa menjadi sentimen negatif yang bisa mempengaruhi daya beli terhadap properti terutama pada segmen menengah bawah,” ujar dia kepada Liputan6.com, Jumat (29/9/2023).
Bagi para investor, Jono merekomendasikan saham SMRA dengan target harga Rp 820 per saham dan CTRA dengan target harga Rp 1.350 per saham.
Pengamat Pasar Modal Desmond Wira menilai saham properti pada kuartal IV masih kurang menarik. Sebab, masih berpotensi tertekan karena sentimen the Fed yang akan kembali menaikkan suku bunga dan pelemahan Rupiah.
"Sentimen positif dari perbaikan kinerja keuangan emiten, tapi ini hanya berlaku bagi beberapa emiten saja,” kata Desmond.
Bagi para investor yang berminat membeli saham properti, ia merekomendasikan saham BSDE dan SMRA untuk dapat dipertimbangkan.
"Jika berminat investor bisa beli saham properti yang valuasinya sudah murah. Tapi ini untuk simpan sampai beberapa tahun mendatang. Untuk investasi jangka panjang,” ujar dia.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
The Fed Berpotensi Kerek Suku Bunga
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada periode 18-22 September 2023. IHSG naik 0,4 persen ke posisi 7.017 dan investor melakukan aksi beli saham USD 90 juta.
Dikutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Sabtu (23/9/2023), IHSG menguat selama sepekan didorong sektor konsumen nonsiklikal dan infrastruktur. Kontribusi dua sektor itu masing-masing 1,4 persen dan 1,35 persen. Pekan ini, IHSG ditutup di atas 7.000 untuk pertama kali pada 2023.
Pekan ini, pelaku pasar hadapi keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) dan langkah ke depan. The Fed pertahankan suku bunga acuan tidak menjadi kejutan bagi pasar karena tren disinflasi baru-baru ini di AS beserta sejumlah tanda yang menunjukkan melambatnya pasar kerja sehingga memungkinkan the Fed tahan suku bunga untuk saat ini.
“Sementara itu, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen dan prediksi inflasi 3 persen pada akhir 2023,”
Proyeksi The Fed
Nada The Fed tetap konsisten dan berkomitmen ke target inflasi 2 persen. “Namun, yang mengejutkan pasar adalah proyek yang lebih hawkish oleh the Fed, khususnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tingkat pengangguran lebih rendah, dan inflasi lebih tinggi pada 2023-2025,” demikian dikutip dari riset Ashmore.
Proyeksi jangka panjang tetap sama, tetapi proyeksi suku bunga pada 2024 dan 2025 direvisi lebih tinggi. “The Fed menyadari inflasi masih terlalu tinggi dari targetnya dan mengindikasikan penurunan suku bunga akan lebih sedikit pada 2024,”
Namun, the Fed telah melakukan banyak hal selama perjalanan pengetatan suku bunga. "Mereka terus melangkah hati-hati agar tidak mengencangkan perekonomian secara berlebihan. AS dapat soft landing semakin kecil kemungkinannya untuk terjadi,”
Advertisement
Dibayangi Inflasi
Sementara itu, pasar global masih dibebani inflasi yang tinggi yang disumbang gejolak harga komoditas, salah satunya harga minyak. Hal ini karena berkurangnya pasokan oleh OPEC+ dan gas alam dari Australia karena pemogokan pekerja baru-baru ini.
“Oleh karena itu, kami percaya suku bunga akan tetap tinggi selama bank sentral di negara maju terus berjuang hadapi inflasi,”
Ashmore Asset Management tetap optimistis untuk pasar saham Indonesia dibandingkan obligasi. “Meski demikian obligasi tetap menarik untuk investasi jangka panjang dengan tingkat imbal hasil saat ini,”