Liputan6.com, Bandung - Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) merupakan salah satu sejarah pilu bagi warga Indonesia. Peristiwa tersebut masih menyimpan misteri yang belum terungkap terutama terkait siapa dalang di balik peristiwa tersebut.
Adapun ada yang meyakini jika Presiden ke-2 RI Soeharto disebut-sebut mempunyai peran dalam peristiwa tersebut. Bahkan ia disebut sebagai orang yang berada dibalik peristiwa keji tersebut.
Advertisement
Pasalnya dugaan tersebut muncul karena Soeharto adalah salah satu jendral TNI yang saat itu tidak diculik dan dibunuh oleh PKI. Sehingga banyak asumsi menyebut jika Soeharto mempunyai andil dalam peristiwa tersebut.
Lantas Mengapa Soeharto Tidak Diculik?
Mengutip buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto milik John Roosa. Salah satu pelaku yaitu Kolonel Abdul Latief memberikan kesaksian dalam sidangnya.
Ia bersaksi bahwa dirinya memberitahu Soeharto terkait rencana penculikan sejumlah jenderal tersebut. Latief juga pernah membahas mengenai isu adanya ‘Dewan Jenderal’ di rumah Soeharto.
“Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Soeharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau,” ujarnya.
Lanjut Abdul Latief menceritakan jika ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Soeharto satu hari sebelumnya. Pembicaraan tersebut dilakukan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim.
Ia juga bersaksi bahwa pada pertemuan tersebut ia melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Menurutnya Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya bernama Subagiyo.
“Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan,” ujar Latief.
Advertisement
Dianggap Loyalis Bung Karno
Kolonel Abdul Latief juga menyampaikan dalam kesaksiannya di Mahkamah Militer terkait alasannya tidak menambahkan nama Soeharto dalam target penculikan. Hal tersebut dikarenakan Soeharto dianggap sebagai loyalis Bung Karno.
“karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran,” ujarnya.
Selain itu Latief juga turut melapor kepada Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat namun tidak mendapat tanggapan. Ia kemudian melapor ke Mayjen Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.
Latief mengaku bahwa dirinya sudah beberapa kali memperingati adanya kudeta oleh Dewan Jenderal. Namun menurutnya Soeharto hanya bergeming mendengar informasi tersebut bahkan pada malam 30 September 1965 Soeharto dinilai mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.
Soeharto sendiri saat itu mengakui jika ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa tersebut. Namun Soeharto saat itu diketahui memberikan kesaksian yang berganti-ganti.
Jawaban Versi Soeharto
Melansir dari wawancara Soeharto dengan media Jerman Der Spiegel pada 19 Juni 1970 Soeharto mengaku jika ia bertemu Latief saat di RSPAD Gatot Subroto pada malam G30S. Saat itu ia tengah menjaga anak bungsunya Hutomo Mandala Putra atau Tommy.
Anak bungsunya tersebut dirawat karena mengalami luka bakar setelah ketumpahan sup panas. Adapun Soeharto menyampaikan jika Latief tidak memberikan informasi apa-apa dan justru akan membunuhnya saat itu juga.
“Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu,” ujarnya.
Adapun melalui otobiografinya yang berjudul ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1998)’. Soeharto justru mengaku bahwa dirinya hanya melihat Latief dari kejauhan dan tidak sempat berinteraksi dengannya.
Advertisement