Liputan6.com, Jakarta - Fenomena hoaks, misinformasi, isu identitas, sentimen terhadap SARA, juga ujaran kebencian yang kerap muncul di media sosial menjelang pemilu 2024 semakin menjadi perhatian serius.
ICT Watch, sebuah lembaga yang fokus pada edukasi literasi digital mengakui Gen Z yang sebagian besarnya adalah pemilih pemula atau first-time voters saat Pemilu 2024, memiliki peran yang signifikan dalam menyebarkan maupun membantah hoaks. Kecenderungan yang kuat di media sosial membuat mereka lebih rentan terhadap informasi palsu.
Advertisement
"Jangan sampai mereka yang harusnya berpartisipasi malah jadi ikut terprovokasi juga oleh berita-berita palsu atau misinformasi di media sosial," ujar Defira, Program Manager ICT Watch dalam Virtual Class bertajuk “Antisipasi Hoaks Pemilu, Apa Peran Krusial Gen Z?” Liputan6.com, Jumat (29/9/2023).
Di era digital ini, Generasi Z memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam menciptakan pemilu 2024 yang bersih dari hoaks. Dengan kesadaran dan pengetahuan teknologi mereka, Gen Z bisa membantu meminimalkan dampak negatif hoaks dan memastikan informasi yang mereka terima dan bagikan adalah informasi yang akurat dan bermanfaat dalam pemilu.
Agar tidak mudah terpengaruh dengan hoaks, Defira juga menjelaskan masyarakat, khususnya Generasi Z harus memiliki kemampuan berpikir kritis atas informasi apapun yang diterima di internet.
"Nomor satu yang paling penting adalah bagaimana caranya kita tetap berpikir kritis, tidak mudah terpancing, tersulut emosi, dan jangan mudah juga percaya dengan setiap informasi yang diterima di internet," ujarnya menambahkan.
Selain itu, ia juga menjelaskan metode A-B-C yang bisa digunakan saat mendapatkan informasi yang terindikasi hoaks di internet.
A untuk Amati. Saat menerima informasi di internet, masyarakat perlu mengamati isinya karena jika tidak diamati dengan teliti, masyarakat mungkin tidak akan menemukan kejanggalan dan langsung saja membagikan informasi tersebut tanpa tahu bahwa informasi tersebut adalah sebuah hoaks.
"Jadi, amati dulu isinya karena mungkin foto-foto dalam informasi tersebut adalah foto lama yang digunakan kembali untuk membuat konten lain yang menjerumuskan ke hal-hal negatif."
Selanjutnya adalah B untuk Baca. Saat menerima informasi, masyarakat harus membacanya hingga akhir. Salah satu ciri hoaks adalah kesalahan penulisan. Dengan membaca hingga akhir, masyarakat dapat menemukan kesalahan-kesalahan penulisan pada informasi tersebut.
"Baca sampai habis, jangan hanya baca judul. Karena banyak sekali hoaks yang disebarkan punya typo yang tinggi. Berbeda sekali dengan tulisan jurnalis, yang memang ada proses panjang hingga tulisan tersebut disebarluaskan. Jadi, typonya juga sedikit. Sedangkan, hoaks, jika kita baca sampai akhir, banyak typo dan isinya tidak nyambung."
Yang terakhir adalah C untuk Cermati dan Cek Sumbernya. Jika mendapatkan informasi mencurigakan, masyarakat tidak boleh langsung percaya.
Lakukan pemeriksaan sumber. Jika sumbernya tidak valid, lakukan verifikasi ke halaman web atau media sosial lembaga yang namanya dicatut dalam informasi tersebut.
"Cek juga sumbernya. Jangan sampai kita mudah percaya tanpa verifikasi atau cari informasi apakah lembaga tersebut valid atau tidak," kata Defira.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement