Liputan6.com, Hong Kong - Peristiwa tragis yang cukup kontras terjadi pada hari yang sama yakni antara perayaan peringatan 70 tahun berdirinya pemerintahan komunis Republik Rakyat Tiongkok, dan bentrokan jalanan antara polisi dengan pengunjuk rasa di Hong Kong. 1 Oktober 2019.
Dalam kerusuhan tersebut, seorang demonstran berusia 18 tahun ditembak oleh polisi dari jarak dekat di bagian dada, mengakibatkan kondisinya kritis saat itu. Setidaknya 30 orang lainnya juga terluka dan dirawat di rumah sakit waktu itu.
Advertisement
Demonstrasi yang berlangsung dalam kurun 16 minggu terakhir saat itu di Hong Kong, awalnya dimulai sebagai penolakan masyarakat terhadap rencana undang-undang ekstradisi ke Tiongkok yang kemudian berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi yang lebih luas.
Tuntutan kemudian melebar ke penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi, amnesti menyeluruh bagi mereka yang terlibat dalam protes, dan pencabutan tuduhan bahwa mereka melakukan kerusuhan, tuduhan yang dapat mengakibatkan hukuman penjara berat.
Tak hanya itu, para pengunjuk rasa juga menyerukan hak untuk memilih langsung pemimpin tertinggi Hong Kong dan seluruh anggota legislatif.
Para demonstran memusatkan kemarahan mereka pada bisnis-bisnis milik Tiongkok di berbagai bagian kota, merusak cabang Bank of China dan membakar bendera nasional Tiongkok. Mereka juga mengibarkan spanduk protes di jembatan-jembatan penyeberangan, menciptakan suasana "uang kertas untuk akhirat".
Suasana mencekam terjadi ketika polisi mencoba menahan pengunjuk rasa dengan gas air mata dan peluru karet, sebagian demonstran melawan dengan melempar bom molotov. Sementara itu, mayoritas demonstran berkumpul di balik payung sebagai bentuk pertahanan.
Demonstran Berharap Dapat Melihat Akhir Pemerintahan Komunis
Meskipun ada larangan polisi terhadap unjuk rasa di pusat kota, demonstran menolak untuk menyerah. Ribuan pengunjuk rasa mengabaikan larangan tersebut dan berusaha menuju kantor perwakilan Beijing meski dihalau oleh polisi menggunakan meriam air.
"Saya harap saya bisa melihat akhir pemerintahan Komunis dalam hidup saya," kata pengunjuk rasa Ben Li, 43 tahun mengutip dari Al Jazeera, Jumat (29/9/2023).
Mengubah nama peringatan hari Selasa menjadi "Hari Berkabung Nasional," demonstran Hong Kong bertekad merusak pesta dan mencuri perhatian dari perayaan di Beijing.
Sebuah kampanye crowdfunding yang disebut Freedom Hong Kong bahkan membeli iklan di surat kabar besar di sembilan negara, menuduh Tiongkok "merobek-robek Hong Kong" dan memperingatkan dunia akan "Perang Dingin baru".
Hong Kong, yang diserahkan kepada Tiongkok pada tahun 1997 setelah penjajahan Inggris dengan bentuk "satu negara, dua sistem" yang menjamin hak dan kebebasan masyarakatnya, semakin merasakan campur tangan dari Beijing.
Kritik terhadap campur tangan ini semakin memanas, dengan demonstran bertekad memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Beijing membantah ikut campur dan telah memperingatkan negara-negara lain untuk tidak ikut campur dalam urusan Hong Kong.
Advertisement