Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi Mahkamah Agung (MA) yang mempersulit para mantan koruptor maju menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2024. Putusan MA ini setidaknya memberikan efek jera bagi para koruptor.
"Hal ini selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya. Karena harapannya, pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Sabtu (30/9/2023).
Advertisement
Ali mengatakan, pihaknya melalui tim jaksa penuntut umum kerap menuntut hakim Pengadilan Tipikor untuk mengenakan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik bagi para terdakwa korupsi. Dengan demikian, putusan MA ini sejalan dengan harapan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku, yang bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan," kata Ali.
Diberitakan, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan seluruh permohonan uji materi Pasal 11 ayat 6 tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 tahun 2023 terkait syarat mantan terpidana kasus korupsi maju lebih cepat menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Dalam putusannya, MA memerintahkan KPU mencabut dua peraturan yang dinilai memberikan karpet merah kepada mantan koruptor mengikuti Pemilu 2024.
Uji materi ini sebelumnya diajukan oleh dua mantan Pimpinan KPK Abraham Samad dan Saut Situmorang, bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Transparency International Indonesia (TII).
"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. Indonesia Corruption Watch (ICW), 2. Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi (Perludem), 3. Saut Situmorang dan 4. Abraham Samad untuk seluruhnya," demikian keterangan resmi MA dikutip Sabtu (30/9/2023).
Pertimbangan MA
Dalam pertimbangannya, MA menilai Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Selain itu, MA juga menyatakan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 10 rahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
MA menilai seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 tahun 2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Selain itu, MA memerintahkan kepada KPU selaku termohon mencabut Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 tahun 2023. MA menegaskan, seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku untuk umum.
MA juga memerintahkan kepada Panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara. MA menghukum Ketua KPU selaku termohon membayar biaya perkara Rp1 juta.
"Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah)," bunyi amar putusan tersebut.
Advertisement