Kisah Pilu Ishak, Santri Anggota Pasukan Cakrabirawa Usai G30S PKI

Latar belakang anggota Cakrabirawa sangat beragam. Di antara mereka, ada pula santri atau anak pesantren. Salah satunya adalah Ishak Bahar, santri asal Purbalingga, Jawa Tengah

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 02 Okt 2023, 00:30 WIB
Santri itu memendam kepedihan hingga kini. Mantan anggota Cakrabirawa itu tak pernah sempat meminta maaf langsung pada kiainya. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Resimen Cakrabirawa sangat terkenal pada era kepemimpinan Presiden Soekarno. Cakrabirawa adalah pasukan elit dengan personel pilihan dari berbagai kesatuan.

Latar belakang anggota Cakrabirawa sangat beragam. Di antara mereka, ada pula santri atau anak pesantren.

Pasukan Cakrabirawa bertanggungjawab atas keselamatan Presiden Soekarno. Karenanya, mereka benar-benar tentara terbaik.

Akan tetapi, revolusi 1965 membuat nyaris semua anggota Cakrabirawa terseret insiden malam jahanam 30 September 1965 atau G30S/PKI.

Mereka ditangkap, disiksa, dieksekusi mati, atau untung-untungnya, dipenjara tanpa pengadilan, dan dibebaskan dengan stigma PKI yang terus diembuskan hingga puluhan tahun kemudian.  

Cerita tentang santri yang menjadi anggota pasukan Cakrabirawa ini sudah ditayangkan pada 2017, di kanal Regional Liputan6.com. Drama pedih ini diunggah ulang untuk ibrah bahwa antara santri dan kiai memiliki ikatan batin yang kuat.

Namun, di sisi lain, sosok kiai, memiliki pandangan yang bahkan seringkali di luar nalar orang awam. Para kiai memiliki firasat, yang jauh melampaui zamannya.

Nama santri itu adalah Ishak Bahar. Dia merupakan warga di sebuah desa di Purbalingga, Jawa Tengah. Nasib telah membawanya menjadi pesakitan, karena statusnya sebagai anggota pasukan Cakrabirawa.

Mari simak kisahnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Ishak Bahar, Santri Tentara Elit

Mantan Anggota Cakrabirawa, Ishak, berfoto dengan latar belakang lukisan saat masih aktif berdinas. Ia masih gagah di usianya yang ke 81 tahun. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

ISHAK Bahar terpekur mengingat-ingat masa kanak-kanak hingga remajanya, di Kalimanah, Purbalingga. Bayangan itu selalu menghampiri bekas anggota Resimen Cakrabirawa yang kini berusia 81 tahun itu.

Dia menuturkan, kerapkali, muncul kelebatan ingatan peristiwa-peristiwa pilu, menyedihkan, hingga lucu. Salah satu yang dia ingat adalah, kisah penolakan kiainya di pondok pesantren tempat ia menuntut ilmu.

Sang kiai, menolak menemui Ishak yang jauh-jauh dari Jakarta, khusus untuk sowan. Kejadian itu telah lebih dari 50 tahun berlalu, namun rasa sedih yang dirasakan masih terasa sampai sekarang.

"Kalau saya mengingat, sesak dada saya. Saya sedih ditolak oleh kiai saya. Beliau tidak mau menemui saya," ujarnya, Rabu, 4 Oktober 2017.

Dia berkisah, lahir 1936 dari keluarga melek agama. Ayahnya adalah kayim, yakni perangkat desa yang bertugas mengurus acara-acara keagamaan, termasuk mengurus orang mati dan perkawinan.

Sebagai anak tokoh agama, semenjat belia Ishak telah memperoleh pendidikan agama yang ketat. Salat lima waktu, mengaji, adalah aktivitas dasar santri yang secara kontinyu dilakukan di sela kesibukannya bersekolah.


Anak Desa yang Jadi Anggota Pasukan Elit

Setiap hari, Ishak yang merupakan mantan anggota Cakrabirawa itu membaca buku dan koran di gym kecilnya di samping rumah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Posisi kayim, saat itu, amat sentral. Sebab itu, kayim mesti benar-benar dalam ilmu agamanya. Dan kayim, pasti berasal dari kalangan santri.

Sebagaimana orangtuanya, Ishak kecil pun lantas belajar di pesantren. Setidaknya, Ishak telah belajar di tiga pesantren wilayah Jawa Tengah. Namun, dia enggan menyebut pesantrennya.

"Jangan lah, nggak usah," jawabnya. Rupanya, ia khawatir reputasi Cakrabirawa dan eks Tapol bisa mempengaruhi nama baik pesantren, bahkan hingga hari ini.

Singkat cerita, Ishak menjadi pemuda yang gagah lagi berilmu agama. Masa depan terbentang luas di depannya.

Di usianya yang ke-21, tepat pada 1957, ia mendapat kabar ada penerimaan tentara. Lokasi pendidikannya pun tak begitu jauh dari Purbalingga, yaitu Gombong, Kabupaten Kebumen. Ia pun lantas mendaftar dan diterima.

"Waktu itu saya memang tidak meminta izin Pak Kiai," tuturnya.

Ilmu agama dan suaranya yang merdu saat membaca Alquran menyebabkan karirnya melesat cepat. Dimulai dari pangkat Prajurit, dalam jangka lima tahun, dia sudah menjadi seorang sersan. Di kesatuannya, ia kerap didaulat menjadi imam salat, khotib Jumat, hingga mengajar mengaji tentara rendahan dan perwira.

Hingga suatu hari di 1963, dia mendapat undangan sekaligus perintah dari Kodam Diponegoro untuk mengikuti seleksi Resimen Cakrabirawa. Girang lah dia.

Pada masa itu, Cakrabirawa adalah tentara elit dengan fasilitas kelas satu yang sulit dicari tandingannya. Ia lulus dengan diliputi kebanggaan.

"Seleksinya sangat berat. Mulai fisik, menembak, keahlian bela diri. Psikotesnya saja dua hari," dia mengenang masa membahagiakan itu.


Terseret Pusaran Tragedi G30S PKI

Ishak berpose di bawah foto idolanya, Bung Karno. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Ia beranggapan, menjadi anggota Resimen Pasukan Elit Cakrabirawa juga akan membuat bangga almamaternya di pesantren. Begitu dilantik menjadi anggota resimen pengawal presiden itu, ia pun pulang ke Kalimanah.

Seusai sungkem kedua orangtuanya, Ishak muda dengan atribut lengkap Cakrabirawa, hendak sowan kepada kiainya. Sowan itu adalah adab wajib murid kepada guru, seperti yang dipelajarinya di kitab klasik Ta’limul Muta’allim.

Berharap membanggakan pesantren, sang guru justru tak mau menemui Ishak. Ishak pun dirundung sedih. Ia tak mengerti mengapa guru yang sangat dihormatinya menolak kedatangannya.

"Kiai tidak mau menemui saya. Sesak dada saya," kata dia sambil memegang dada, seolah-olah kisah itu baru saja terjadi.

Jawaban atas penolakan kiainya itu, rupanya baru dipahami Ishak dua tahun kemudian, 1 Oktober 1965. Ishak terseret pusaran politik yang sama sekali tak dipahaminya.

Ia ditangkap lantaran berada di Lubang Buaya saat pembunuhan enam jenderal dan satu perwira AD terjadi. Mungkin, sang kiai telah memiliki firasat, Cakrabirawa akan menjadi sandungan bagi Ishak di masa depan.

"Saya paham. Saya tidak bisa meminta maaf langsung. Saya hanya bisa berdoa di makam beliau. Sebab, sejak 1965, saya baru bisa kembali ke Purbalingga tahun 1978, setelah dibebaskan dari Tahanan Salemba," kata Ishak sambil menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya