Liputan6.com, Jakarta - Sejak duduk di bangku SMA, Jaka Anindita sudah ingin menato badannya. Namun saat mulai menjadi mahasiswa dia masih bingung, motif tato apa yang menarik untuk badannya. Akhirnya berdasarkan rekomendasi sang adik, dia datang ke salah studio di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Saat itu sekitar tahun 2012, Jaka memilih tato motif tradisional Dayak untuk bagian punggung sebelah kanan. Setelah itu, setiap empat sampai lima bulan sekali dia menambah motif tato.
Advertisement
"Awalnya pengen seperti yang kebanyakan orang-orang itu, yang bisa detail motifnya. Ada kan Oriental, trival Eropa, tapi begitu lihat yang tradisional, wah ini sepertinya cocok dan belum banyak juga kan yang menggunakan," kata Jaka kepada Liputan6.com.
Setelah bertahun-tahun bertahan dengan motif tradisional Dayak dan berbagai modifikasi, awal tahun 2023 Jaka memilih tato tradisional Mentawai untuk menghiasi paha kirinya. Sebenarnya dia tidak memiliki alasan khusus kenapa tiba-tiba ingin menato Mentawai.
Saat itu seorang artis tato tradisional kenalannya datang langsung ke rumahnya. Bahkan, Jaka berencana akan menambah tato Mentawai di beberapa bagian tubuhnya.
"Jadilah itu (tato Mentawai). Itu juga belum puas kan. Pengennya sampe ke belakang, mungkin nanti akan ditambah lagi dengan berbagai motif," ujarnya.
Cerita lain disampaikan Andre, pemuda asal Siberut Tengah yang berkuliah di Jakarta. Saat usianya 20 tahun dia mulai menato badannya. Menurutnya, tato Mentawai merupakan salah satu bentuk identitas dirinya.
Sebagai pemuda Mentawai, dia melakukan tato berdasarkan aturan yang ada atau tidak diletakkan sembarangan. Yaitu dimulai dari punggungnya, kemudian ke bagian depan atau dada.
"Setelah itu di jari tangan, lengan baru di kaki. Kalau yang lain belum selesai, di kaki tidak boleh dibuat dulu. Karena kepercayaan orang Mentawai, kalau dia sudah buat seperti itu dia tidak bisa melakukan kegiatan buat makanan sehari-hari," kata Andre kepada Liputan6.com.
Kata dia, motif tato yang menghiasi tubuhnya tidak sembarangan. Tapi, berdasarkan motif kampung halamannya atau di Siberut Tengah. Sebab, satu titik memiliki makna tersendiri.
"Tidak sekadar oh saya di sini aja lah. Apa yang mereka lakukan di kehidupan sehari-hari, itu yang mereka tuangkan dalam tato. Makanya berkaitan dengan alam sekitar, yang ada di sekitar mereka," ucap dia.
Titi, Tato Mentawai Merupakan Identitas Diri
Sebagai bentuk kepedulian ekspresi diri, tato biasanya memang memiliki makna tersendiri. Seperti yang dilakukan oleh orang Mentawai dari Sumatera Barat. Bagi mereka, tato bukan sekadar seni melukis tubuh, namun telah menjadi identitas diri.
"Tato itu kalau kita lihat secara keseluruhan dan sederhana adalah bagian dari kebudayaan Mentawai, dalam artian menjadi pembeda masyarakat itu sendiri, di internalnya," kata Antropolog asal Mentawai, Juniator Tulius kepada Liputan6.com.
Awalnya, kata Tulius, tato atau titi Mentawai merupakan ekspresi pemahaman masyarakat tentang lingkungan kemudian digabungkan dengan kepercayaan mereka. Dari perpaduan tersebut disejalankan dengan kondisi budaya secara peradabannya.
Mentawai, lanjut dia, tidak mempunyai tradisi tenun, penempaan logam, ataupun yang lainnya seperti halnya wilayah lainnya di Indonesia. Karena itu suku Mentawai mencoba untuk membuat badan mereka terlihat menarik.
Latar belakang dari pembuatan tato yaitu berdasarkan konsep kosmologi yakni bagaimana cara pandang orang Mentawai terhadap dirinya kemudian orang di sekitarnya tersambung dengan keyakinannya.
Konsep kosmologi dalam bentuk tato yang dipahami orang Mentawai yaitu ada langit, bumi, bawah bumi, dan kehidupan sekitarnya. Kemudian dalam konteks tato bagian dada juga terbagi menjadi tiga bagian. Yakni atas, tengah, dan bawah.
Titi sebagai Tanda Kesiapan Peralihan Hidup
Motif tato pada bagian depan tubuh manusia dapat juga ditemukan kemiripan polanya lukisan pada benda-benda tertentu di uma atau rumah tradisional orang Mentawai. Fungsinya dapat dimaknai sama. Ketika berada di ruang beranda kita dapat melihat benda yang menempel di dinding atas disebut jaraik.
Oleh masyarakat Mentawai, jaraik bertujuan sebagai pelindung keluarga dari radiasi atau bajou yang datang dari luar yang dibawa oleh orang-orang yang berkunjung ke uma mereka. Pola yang tergambar pada jaraik mirip dengan motif tato di bagian depan tubuh manusia.
"Tato salah satunya menjadi tameng. Karena dari dalam ada energi kehidupan. Terpancar walau tidak kelihatan melalui relief-relief tadi, terpancarlah perlindungan, sehingga ketika ada radiasi yang mendekat ke badan manusia, lalu motif itulah yang menjadi benteng," ujar Tulius.
Selain sebagai perlindungan, tato Mentawai merupakan tanda kesiapan peralihan hidup seseorang dalam memulai kehidupan yang baru. Misalnya, ketika seseorang mulai ikut berburu bersama keluarganya, kemudian berhasil mendapatkan buruan berulang kali, maka dia berhak mendapatkan sebuah tanda keberhasilan tersebut berupa tato.
Untuk motif tato yang dilukiskan pun tergantung dari apa hasil buruan yang didapatkan. "Tapi itu pada usia yang relatif matang kemudian digambarlah tato monyet di sekitar sini atau tato mirip babi di sekitar sini atau tato penyu laut, kalau saya sering pergi ke laut," tuturnya.
Selain pencapaian seorang, tato Mentawai juga menjadi tanda bahwa seorang telah menjalani hidup dengan kondisi yang berbeda, seperti halnya menikah. Oleh karena itu, untuk mengapresiasi hal tersebut, keluarga pengantin menyiapkan pesta untuk memberi tato kepada mereka.
Tato Orang Mentawai Berdasarkan Wilayah
Namun, yang dilukiskan juga harus motif yang disesuaikan dengan kawasan itu. Hal tersebut untuk mengantisipasi adanya kesimpangsiuran asal wilayah.
Hasil penelitian pada tahun 1941 menghasilkan sebuah identifikasi. Motif tato yang dilukiskan di masing-masing bagian tubuh seperti wajah, depan badan, lengan, tangan bawah, paha, punggung dan kaki, memiliki nama dan punya motif tersendiri.
"Kalau kita ke Mentawai, ketemu itu. Orang yang bertato di punggung, melengkung dan ada satu garis lurus vertikal. Di punggung semua bisa ditemukan kalau memang itu adalah orang Mentawai," ujar Tulius.
Dia melanjutkan, "Yang membedakan lagi, kalau kita melihat tiga garis di belakang, selain di punggungnya, dua garis, orang lihat dari jauh sudah mulai merasa cemas. Itu representasi tato orang yang sudah pernah melakukan pengayauan."
Tulius menyebut, pengayauan itu merupakan orang yang sakti dan memiliki keberanian, pengalaman petualangan yang luar biasa.
Kemudian untuk motif yang digunakan juga sangat beragam baik untuk laki-laki ataupun perempuan. Contohnya yaitu motif durukat yang ditorehkan pada dada, sarepak abak yang biasanya digambarkan pada punggung, hingga gagai yang untuk bagian lengan.
Setiap motif titi tersebut masing-masing mempresentasikan simbol-simbol penghormatan kepada roh dan keyakinan masyarakat Mentawai. Ada pula motif-motif lain yang diangkat dari alam. Untuk tradisi Mentawai biasa disebut buluk aleilepet berjenis daun puding yang biasanya digunakan dalam ritual.
Untuk membuat tato tersebut tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Biasanya dilakukan sipatiti atau orang ahlinya. Bahkan setiap wilayah di Mentawai memiliki motif titi yang berbeda-beda.
"Di beberapa wilayah di Mentawai, yang disebut dengan lokpok atau tato lokpok, itu ditaruh persis di bagian rongga dada. Tapi itu ditemukan di beberapa lembah, tidak semua. Itu menjadi representasi dari kelompok yang berasal dari daerah yang sama. Kalau mereka sudah berada di daerah lain, mereka juga melakukan motif yang berbeda," Tulius menjelaskan.
Advertisement
Tato Mentawai yang Tertua di Dunia?
Secara keseluruhan, antropolog lulusan Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat itu menyebut tidak ada kesamaan motif tato Mentawai dengan suku lainnya di Indonesia. Meskipun inspirasinya sama dari tanaman tetapi latar belakang pemikiran dan cara mengekspresikannya pun berbeda.
Dia juga mengaku tidak setuju dengan argumentasi yang menyebut tato Mentawai sebagai yang tertua di dunia. Penentuan tersebut harusnya berdasarkan metodologi yang benar dan membuat fakta-fakta atau data pendukung yang akurat.
Tato merupakan tradisi tua yang berangkat dari sebuah masa yang tidak mempunyai catatan sejarah yang jelas. Atau tidak diketahui kapan dimulainya.
Karena itu, pembandingan mana tato yang lebih tua tak relevan. Sebab, tidak ada catatan waktu yang tepat. Tulius mengaku telah mempelajari penelitian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh Ady Rosa soal tato tradisional Mentawai.
Dalam kajian itu, ditemukan, motif seni pada budaya Mentawai memiliki kemiripan dengan budaya luar, misalnya Indo China ataupun Yunan. Diasumsikan juga masyarakat Mentawai berasal dari sana. Padahal kemiripan motif tidak serta-merta menjadi pembenaran jika tato itu berasal dari sana.
"Kalau memang kemudian kita asumsikan orang yang berasal dari Indo China yang datang ke Mentawai, maka bukan tato Mentawai yang tertua, tapi tato dari Indo China sana. Tapi bukti orang sana yang sudah bertato pindah ke Mentawai kan tidak dihadirkan. Nah, bukti tato Mentawai jadi yang tertua juga tidak dihadirkan, apanya yang tertua," kata Tulius.
Antropolog yang melanjutkan pendidikan magister dan doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda tersebut juga mencontohkan tato yang berasal dari Luzon, Filipina. Menurutnya tak ada data juga menyebutkan kapan kemunculan pertama tato tersebut. Asal usul manusia lanjut dia, tidak dapat dijadikan landasan untuk menyimpulkan bahwa itu menjadi asal usul tato tertua. Sebab, tato hanya satu bagian dari tradisi suatu wilayah.
"Ada banyak kepercayaan, misalnya pengetahuan ekonominya, pembuatan benda budayanya. Jadi banyak aspek dalam kebudayaan itu. Tidak hanya tato. Kalaupun tato jadi fokus mestinya tunjukkan kepada publik motif yang mana yang merepresentasi ketuaan itu," ujar dia.
Belum Ada Kajian dan Bukti Sejarah Tato Tertua di Dunia
Kalau saja ada teori yang menyatakan misalnya motif lingkaran seperti antinyamuk bakar adalah motif dasar, paling lama dan belum pernah ada ditemukan di tempat lain kecuali di Mentawai.
Mungkin dapat diyakini ke-tertua-an dari tato Mentawai dari tato-tato lain, karena perhatian kajiannya pada tato bukan asumsi tentang migrasi manusia.
Juniator yang saat ini bekerja sebagai research fellow di Earth Observatory of Singapore, Nanyang Technological University mencontohkan kembali bahwa luas Kepulauan Mentawai tidak jauh beda dengan Pulau Nias, Sumatera Utara. Jika diasumsikan orang Mentawai sudah datang 2.000 tahun sebelum masehi, penduduk Mentawai tidak lebih dari 100 ribu jiwa.
"Nah di dalam 2.000 tahun, asumsi peneliti yang lain, Mentawai sudah diduduki sejak 2.000 tahun yang lalu. Kalau betul, penduduknya cuma 100 ribu, bahkan tidak sampai 100 ribu, itupun sudah campur dengan pendatang. Bagaimana dengan Nias, sekarang sudah mencapai 900 ribu. Bali mencapai 3 juta," tutur Tulius.
Dia menambahkan, "Jadi kalau kita mengatakan penduduk Mentawai terisolasi, betul terisolasi dan ada alasan, faktor mengapa jumlah penduduknya menjadi singkat. Salah satunya barangkali mereka mendiami pulau itu tidak terlalu lama, hanya kita tidak punya bukti sejarah yang menunjukkan kapan mereka datang."
Sedangkan pemerintah Hindia Belanda secara resmi menduduki Mentawai sekitar tahun 1825. Sebelum itu ada catatan penjelajah yang menemukan Mentawai, seperti misalnya Portugis punya catatan tahun 1600, Mentawai sudah ditemukan. Penemuan pulau tersebut juga tidak disertai pencatatan ada atau tidaknya orang di lokasi tersebut.
Namun, jika asumsi Mentawai dihuni orang saat tahun itu asal-usulnya pun dipertanyakan. Dari beberapa sampel tersebut Juniator menyebut tak ada pihak yang dapat mengklaim siapa orang pertama datang di Mentawai.
Jika kembali ke belakang misalnya peradaban Kerajaan Kutai Kartanegara yang ditemukan melalui prasasti sebagai pencatatan sejarah. Penemuan prasasti tersebut mematahkan asumsi yang simpang siur karena terdapat bukti sejarahnya. Sedangkan pencatatan tersebut tidak ada untuk tradisi tato.
"Migrasi manusia ini tidak difokuskan pada apakah mereka sudah punya tato atau belum, atau mereka sudah sampai di Mentawai, pada tahun 1500 sampai 500 sebelum masehi. Anggap saja mereka sampai di Mentawai tahun 700 sebelum masehi dan 200 tahun kemudian mulai mempraktikkan tato. Kalau kita punya bukti itu," ujar Tulis lagi.
Sebenarnya, Tulius tak mempersalahkan sebutan tato tertua di dunia dimiliki Mentawai jika terdapat data yang mutlak.
"Kalau tato sebagai tradisi tua, saya akui ya, dan tidak hanya di Mentawai. Kita dikorbankan cukup banyak. Ketika kita jalankan sebagai tradisi, dilarang tahun 1954," ujar dia.
Beda Motif Perempuan dan Laki-laki
Dulu, untuk proses pembuatan tato Mentawai menggunakan duri pohon jeruk asam sebelum memakai jarum. Duri tersebut dipasangkan pada kayu kecil untuk pegangan dan satu kayu lainnya sebagai pemukulnya.
Ketika ujung duri mengenai permukaan kulit yang ujungnya tadi sudah dibaluri dengan tinta. Tintanya terbuat dari kumpulan jelaga dari asap pembakaran buah damar yang ditampung dalam tempurung.
Jika tidak ada damar, saat itu orang Mentawai membakar daun pisang kering dan asapnya ditampung menggunakan batok kelapa. Sisa pembakaran tersebut diambil dan direkatkan menggunakan perasan air dari sejenis tebu atau warga lokal menyebutnya mairai.
"Diperas airnya, nah itu diaduk. Sebelum ditatokan, ada lidi yang dipakai membuat pola-pola. Setelah itu baru ditatokan. Menato itu tergantung kesiapan, jadi bertahap dan membutuhkan waktu. Misal dimulai dari punggung. Yang pasti bagian terakhir itu kaki," kata antropolog asal Mentawai Juniator Tulius kepada Liputan6.com.
Namun saat ini karena estetika banyak yang tidak lagi mengikuti pola aturannya. Dulu saat proses pembuatan tato akan disiapkan pula pestanya. Kemudian pembuat tato akan mendapatkan imbalan seekor ayam atau babi kecil.
Usai di tato, membutuhkan waktu yang cukup lama sebab orang tersebut akan meriang akibat infeksi. Maka diharuskan sebelum melakukan tato harus disiapkan kondisi fisik dan mental yang bagus.
"Jadi setelah ditato dibaluri lagi dengan daun-daun agar bilur-bilur tato tadi tidak jadi infeksi panjang," ucapnya.
Juniator menyatakan jika tato perempuan dan laki-laki berbeda. Pada perempuan tidak melakukan tato di paha. Sedangkan tato harus ditempat yang tempat yang untuk diperlihatkan.
"Di beberapa daerah, tato di paha laki-laki hanya separuh, kalau di daerah lain ada yang sepenuhnya. Tato itu merepresentasi lembah, wilayah, bukan marga. Ada yang marga sama tapi beda lembah, motif tato mereka bisa berbeda" Tulius menandaskan.
Advertisement
Sipatiti, si Penjaga Kearifan Lokal
Joel Sakatsila mengaku sudah mulai menjadi seorang sipatiti atau seniman tato khas Mentawai sejak 2016. Saat ini dia lebih dikenal dengan nama Pitto Gagai. Pria asal Siberut Tengah ini belajar tato tradisional Mentawai secara otodidak.
Ketertarikannya kepada titi atau tato Mentawai sudah sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Saat itu dia melakukan proses belajar yang cukup lama. Mulai dari tata letaknya, simbol, filosofi, hingga arti dari setiap tato.
Untuk peletakan tato misalnya, tidak boleh sembarangan atau suka-suka. Sebab setiap titik dan garis memiliki makna tersendiri. Biasanya awal proses pembuatan tato untuk warga Mentawai dimulai dari bagian punggung dan dilanjutkan ke bagian tangan dan kemudian kaki.
Pitto menyebut terdapat keistimewaan dari tato Mentawai. Yaitu sangat erat dengan hubungannya dengan sosial, media, alam, hingga langit.
"Filosofi motif tato Mentawai dasarnya. Sebenarnya adalah baju abadi, kain abadi, sandang. Pertama itu bagaimana kita bisa berdampingan dengan semestanya melalui tato bagaimana kita bisa tau klan satu dengan klan yang lain, itu bisa dibilang identitas, dan yang terakhir spiritual," kata Pitto kepada Liputan6.com.
Dengan begitu, kata dia, orang Mentawai dapat mengenali diri sendiri dan leluhurnya. Sedangkan untuk motif tato Mentawai kurang lebih sekitar 162-165. Bahkan hingga saat ini pengembangan motif tato masih berjalan. Sebab setiap wilayah memiliki motif dan makna tersendiri.
Selain itu tato ada perbedaan antara tato untuk laki-laki dan perempuan. Layaknya sebuah baju, tato keduanya tidak boleh tertukar.
"Mentawai punya tato tersendiri untuk perempuan dan tersendiri untuk laki-laki. Di saat tato perempuan dimasukkan ke laki-laki itu tidak boleh," ucapnya.
Dia mengaku saat ini penato Mentawai secara tradisional jumlahnya tidak banyak. Tidak lebih dari lima orang. Karena itu dia berusaha menjaga kearifan lokal tersebut. Pitto enggan menggunakan kata melestarikan tato Mentawai. Bagi dia, kata melestarikan hanya fokus pada eksotis dari sebuah tato.
Dengan menjaga kearifan lokal, dia berharap nantinya banyak bibit-bibit baru dari para penato tradisional Mentawai.
"Beda dengan pelestarian, kamu mau datang ke sini, ini ada paket, silakan ambil. Sekian-sekian, deal, ayo kita pergi. Secara enggak langsung menjadi komersil. Tapi bagaimanapun tentang komersil kita juga jangan egois," ujar dia.
Pitto juga menilai tato Mentawai bukanlah yang tertua di dunia. Namun tato Mentawai merupakan bagian dari prasejarah.
"Mungkin saya masih kurang tentang ilmiahnya, tapi menurut saya tato Mentawai itu prasejarah. Tapi terima kasih beberapa karya ilmiah yang menyatakan tato Mentawai itu tato tertua, itu sangat membantu kita di Indonesia khususnya bisa memiliki salah satu kebudayaan tertua. Dari tua itu juga dia prasejarah," Pitto menandaskan.