Liputan6.com, Jakarta Jalan hidup memang tak ada yang bisa menerka. Meski telat masuk sekolah dan sempat gagal saat ujian masuk perguruan tinggi, siapa sangka kini dia menjadi Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada dan diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. yang lahir di Ambon, Maluku, 10 April 1973 sejak remaja sudah berminat untuk terjun ke dunia hukum. Almarhum ayahnya pernah mengatakan bahwa ia cocok menjadi jaksa. Namun di kemudian hari sang ayah mengatakan agar Eddy menjadi pengacara saja agar bisa membela orang lain, bukan mendakwa.
Advertisement
Setelah lulus SMA pada 1992, Eddy memutuskan untuk memasuki Fakulas Hukum UGM. Namun, jalan Eddy tak semulus itu. Dia tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Kecewa tak bisa masuk UGM, Eddy menghilangkan kegalauan dengan pergi liburan ke banyak tempat. Setengah tahun sebelum ikut UMPTN berikutnya, dia kembali intens belajar dan lolos masuk UGM di tahun 1993.
Menamatkan program S-1 pada tahun 1998 dan langsung diangkat menjadi dosen, di kampus yang sama Eddy juga menyelesaikan pendidikan S-2 pada 2004 dan S-3 pada 2009. Tahun berikutnya Eddy menjadi Guru Besar Hukum Pidana dan menyandang gelar profesor pada usia yang masih sangat muda, 37 tahun. Sejak itu karier Eddy terus menanjak.
Nama Eddy mulai dikenal publik ketika menjadi saksi ahli bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dia juga menjadi saksi kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2017.
Sementara di bidang akademisi, Eddy menerbitkan sejumlah buku antara lain Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana (2009), Teori dan Hukum Pembuktian (2012), Prinsip-prinsip Hukum Pidana (2016), Pengantar Hukum Pidana Internasional (2009), Hukum Acara Pidana (2015), dan Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM (2010).
Puncak karier Eddy adalah ketika dilantik Presiden Jokowi sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM di Istana Merdeka pada Rabu, 23 Desember 2020. Edward diminta Jokowi membantu Menkumham Yasonna H Laoly menangani bidang peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia.
Saat berbincang dengan Liputan6.com, Eddy memaparkan pandangannya terhadap over kapasitas lembaga pemasyarakatan, rumitnya penyelesaian sengketa pelanggaran berat hak asasi manusia, kontroversi KUHP baru serta lemahnya pemahaman publik akan hukum yang berlaku.
Berikut petikan wawancara Sheila Octarina dengan Prof Eddy Hiariej dalam program Bincang Liputan6.
KUHP Baru dan Keniscayaan Perubahan
Sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, tugas dan kewenangan apa saja yang diserahkan ke Bapak?
Wakil menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, tetapi dia mendapatkan tugas dari menteri. Jadi begitu saya dilantik sebagai wakil menteri, tugas yang diberikan oleh Bapak Menteri kepada saya ada dua.
Pertama adalah di bidang perundang-undangan dan yang kedua adalah di bidang hak asasi manusia. Jadi saya berkutat di dua hal itu, perundang-undangan dan hak asasi manusia.
Menurut Bapak, Milenial dan Gen-Z melihat hukum sekarang seperti apa?
Ya mereka melihat hukum apa yang sehari-hari mungkin mereka baca di koran, mereka lihat di televisi, mereka dengar di radio. Jadi generasi muda itu melihat hukum itu apa yang nyata dan fakta yang mereka lihat sehari-hari.
Kalau dalam filsafat hukum, itu lahir dari realisme hukum ya. Jadi apa yang menjadi realita lalu mereka memotret dan menganggap bahwa itulah hukum Indonesia. Padahal kan tidak seperti itu sebetulnya.
Tapi dari beberapa kasus yang kemudian viral, mereka menganggap hukum tak lagi konsisten menjalankan fungsinya?
Sebetulnya yang terjadi di Indonesia itu kalau berkaitan dengan kasus-kasus hukum itu adalah trial by the press ya, sebetulnya itu tidak boleh terjadi dalam suatu negara hukum. Artinya kasus apa pun itu diadili seharusnya berdasarkan fakta persidangan, bukan berdasarkan suara netizen.
Karena netizen itu kan orang dari sisi luar, dia tidak tahu bagaimana fakta di persidangan, apa yang sebetulnya dan sesungguhnya terjadi, kan tidak tahu. Jadi biarkan saja. Kalau bagi saya ya itu adalah hak masyarakat untuk mengomentari. Tetapi saya ingin mengatakan mereka juga harus menghormati apa yang diputus oleh pengadilan.
Kemudian terkait dengan KUHP baru, poin-poin apa saja yang diperbaiki di KUHP buatan anak bangsa ini jika melihat pada KUHP lama buatan Belanda?
Jadi KUHP baru itu banyak sekali yang kita perbaiki dari KUHP lama ya, jadi ada modifikasi alternatif pidana, kemudian tidak lagi menekankan pada kepastian hukum, tapi juga keadilan dan kemanfaatan. Kemudian ada reintegrasi sosial di dalam KUHP yang baru dan masih banyak lagi yang tentunya lebih maju bila dibandingkan dengan KUHP warisan kolonial Belanda.
Tapi apakah KUHP yang baru tetap membuka kemungkinan untuk dilakukan perubahan lagi, karena kehidupan yang selaku berkembang?
Begini, memang KUHP itu bukan suatu kitab suci yang tidak bisa diubah. Tetapi kalau kita mengkodifikasikan berbagai aturan dalam suatu kitab undang-undang seperti KUHP itu para pembentuk undang-undang berharap dia berlaku untuk jangka waktu yang lama ya.
Bahwa nanti ada perkembangan zaman, ada perkembangan teknologi, ada perkembangan dalam masyarakat, kita akan melakukan perubahan-perubahan, amandemen, ya itu suatu keniscayaan. Tetapi dari sudut pandang kita pembentuk undang-undang memang itu dibuat bukan untuk seketika, tetapi untuk long time lah.
Proses pembuatannya juga kan lebih dari 60 tahun, jadi kalau sesuatu dibuat dalam jangka waktu yang lama dalam prosesnya tentunya kita berharap dia bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman dalam waktu yang lama.
Tapi, sebagai salah satu anggota Tim Perumus RUU KUHP, apakah Bapak melihat masih ada kekurangan dalam KUHP baru?
Begini, kalau bertanya kepada saya sebagai salah satu tim perumus, terkadang kita sulit untuk melihat apa kekurangannya. Makanya ketika melakukan perumusan-perumusan dalam KUHP dengan teman-teman ahli lainnya juga dengan DPR, kita juga menggunakan proofreader, proofreader itu orang lain diluar kita untuk mencoba membaca ulang, itu ada empat guru besar yang kita minta untuk membaca ulang KUHP untuk melihat kira-kira kekurangannya apa saja.
Dan itu sudah kita tempuh, oleh karena itu memang mengapa memakan waktu yang lama, kemudian ada beberapa kali perubahan draf, artinya itu sudah ditempuh. Namun kita sadar bahwa memang suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu tidak akan mungkin untuk memuaskan semua pihak, apalagi bagi Indonesia yang multi etnis, multi religi, multi kultur, tetapi paling tidak ini yang dapat kita hasilkan untuk bangsa dan negara.
Aspek apa saja yang dipertimbangkan saat merumuskan KUHP baru?
Berbagai aspek, terutama bagaimana pandangan masyarakat terhadap suatu rumusan tersebut. Karena kita kembali kepada fungsi hukum pidana itu kan adalah fungsi melindungi. Siapa yang dilindungi hukum pidana itu?Ada individu, ada masyarakat, ada juga negara.
Antara satu kepentingan dengan kepentingan lain seringkali berbenturan. Jadi kita mencoba mencari win-win solution, mencari jalan tengah di antara berbagai kepentingan yang saling berbenturan itu.
Advertisement
Bukan Kemenkum dan HAM yang Membuat Lapas Jadi Sesak
Kalau kita ngomongin lembaga pemasyarakatan, dari dulu sampai sekarang masih berkutat dengan masalah yang itu-itu saja. Tahanan over capacity, jumlah sipir yang minim, serta daya tampung yang kurang. Apakah Kemenkumham sudah angkat tangan kondisi lapas kita?
Nah, kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan itu kan bukan kesalahan kita, bukan kesalahan Kementerian Hukum dan HAM. Tapi tanyakan kepada teman-teman polisi, teman-teman jaksa dan teman-teman hakim, apakah hakim itu ketika memutus perkara dia bertanya lembaga pemasyarakatan sudah penuh atau belum? Kan tidak.
Dia nggak mau tahu dia bilang, kalau kata anak ABG itu gitu EGP, emangnya gue pikirin? Jadi polisi memproses suatu perkara, jaksa menuntut, hakim memutuskan seorang dipenjara sekian tahun, apa mereka pernah bertanya lapas sudah penuh atau nggak kan nggak ada.
Padahal ketika jaksa melakukan eksekusi terhadap terpidana yang dijatuhi pidana penjara, dia juga tidak bertanya lapas Anda sudah penuh atau belum? Dia nggak mau tahu dengan itu. Artinya apa? Teman-teman di lembaga pemasyarakatan itu tidak pernah bisa menolak eksekusi dari penuntut umum, dari jaksa. Nggak bisa.
Jadi apa salah Kemenkumham dengan overkapasitas? Nggak ada. Karena kita ini lembaga pemasyarakatan itu TPA, tempat pembuangan akhir dari suatu sistem peradilan pidana tanpa mereka bisa melakukan intervensi sejak awal.
Berbeda dengan KUHP yang baru dan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 itu lembaga pemasyarakatan terlibat sejak awal dalam proses pra ajudikasi, ajudikasi dan post ajudikasi.
Kalau sebelumnya kan dia hanya post ajudikasi, dia kan hanya menerima apa putusan pengadilan. Dia tidak bisa apa namanya, protes. Ini nggak bisa nih, penjara sudah penuh saya nggak mau terima, nggak bisa, jadi bukan salah kita.
Sehingga ini pun memberikan pelajaran kepada masyarakat, keliru kalau overkapasitas di lembaga pemasyarakatan yang dituding batang hidungnya Kumham itu salah besar, itu orang yang tidak memahami bagaimana sistem peradilan pidana itu bekerja. Kalau mereka paham, mereka nggak mungkin menyalahkan, karena kita nggak ada andil apa-apa ya.
Berapa daya tampung lapas kita saat ini dibandingkan dengan realitas jumlah tahanan yang menempati?
Saya pernah menghitung dengan Dirjen Pemasyarakatan ketika awal sebagai wakil menteri, kapasitas lapas kita 160 ribu, jumlah narapidana 270 ribu, berarti ada kelebihan 110 ribu. Jumlah narapidana dan petugas keamanan tahu berapa? Kalau kita mau membuat lapas itu ideal dengan jumlah sipir, jumlah keamanan untuk mengawasi narapidana kita itu kita kekurangan 19 ribu.
Kalau bisa kita jangan wawancara di sini, kita ke sana LP Cipinang atau di Rutan salemba. Jadi bisa lihat dengan mata kepala sendiri itu bagaimana terjadi over kapasitas dan itu sudah tidak manusiawi. Tapi lembaga pemasyarakatan tidak bisa menolak ya.
Di Cipinang itu jumlah narapidana lebih dari 3.500. Jumlah petugas yang bekerja dalam sehari semalam itu 50 orang dibagi dua karena ada dua shift, berarti satu shift hanya 25 orang, dibagi saja 3.500 dibagi 25. Artinya apa? Satu orang tenaga keamanan mengawasi lebih dari 100 narapidana. Lebih dari 100 kan?
Jadi orang yang cuap-cuap di pinggir jalan yang nggak ngerti kan ya kita sudahlah, nggak usah dipikirin. Masih banyak yang harus dibenahi daripada kita memikirkan omongan orang. Tetapi dengan wawancara kali ini kan kita bisa menjelaskan kepada publik bahwa tidak mudah mengurus lapas di Indonesia itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, itu tidak mudah.
Tidak mungkin mengatasi over kapasitas itu hanya dengan memperbanyak lembaga pemasyarakatan. Itu kita bertolak belakang dengan sistem pemasyarakatan yang berlaku secara universal. Penjara-penjara di Eropa Barat, di Amerika Utara itu sudah kosong. Sudah kosong karena memang pola pemidanaannya mereka ubah.
Mereka punya banyak sekali alternatif modifikasi alternatif pemidanaan yang sudah diterapkan dari tahun 1990. Dan itu ada model di sana yang itu tidak mungkin kita terapkan di Indonesia.
Bisa dikasih contohnya, Pak?
Di Portugal ada modifikasi alternatif pidana yang namanya semi detention. Terpidana itu masuk penjara dari jam enam sore sampai jam enam pagi, jam enam pagi sampai jam enam sore apa yang dia lakukan? Ya melakukan aktivitas seperti biasa, hanya untuk mencegah stigmatisasi.
Ada juga mereka memperkenalkan alternatif modifikasi pidana lainnya yang namanya weekend detention. Dia masuk penjara hari Sabtu dini hari jam 00 dan dia keluar penjara hari Senin dini hari jam 00. Senin sampai Jumat ngapain? Melakukan aktivitas biasa. Itu sudah ada sejak tahun 1990. Berarti kita sudah ketinggalan lebih dari 30 tahun. Saya ngajar mata kuliah itu soalnya, sistem pemasyarakatan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pola pikir kita semua ini menggunakan hukum pidana itu sebagai sarana balas dendam. Kalau kecurian, saya ditipu atau barangnya digelapkan, yang ada dalam benak kita itu semua adalah segera pelakunya ditangkap, ditahan dan dihukum seberat-beratnya. Betul kan? Itu pola pikir kita masih zaman Romawi kuno, karena menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam.
Sekarang dengan KUHP yang baru itu sudah tidak lagi. KUHP baru itu kalau ancaman pidananya tidak lebih dari lima tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara. Pidana pengawasan, dia diperbaiki, bukan dimasukkan dalam penjara.
Kalau ancaman pidana tidak lebih dari tiga tahun, dia dikenakan pidana kerja sosial. Misalnya nih, dia karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang karena kecelakaan lalu lintas, dia tidak dipenjara. Tapi dia dikenakan pidana kerja sosial, kamu bisa bawa mobil kan? Oke, kamu bawa mobil ambulans tapi tidak digaji. Itu namanya pidana kerja sosial.
Cuma ada berbagai ketentuan, dalam 40 jam seminggu itu dia harus bekerja berapa jam. Sistem pemidanaan denda di luar negeri itu saya katakan kita juga ketinggalan lebih dari 40 tahun. Mereka tuh denda betul-betul riil berdasarkan penghasilan yang kita peroleh yang dikenal dengan istilah day fine.
Day fine itu denda harian, tetapi dibayar bukan per hari, dibayarnya per bulan. Misalnya saya mempunyai gaji sebagai seorang pegawai negeri sipil, golongan saya sudah tinggi sih 4E, kalau jenderal sudah jenderal penuh.
Saya mendapatkan gaji misalnya Rp 5 juta per bulan. Saya melakukan suatu tindak pidana, kemudian itu dijatuhi hukuman katakanlah day fine sekian rupiah selama sekian tahun. Itu mereka akan memperhitungkan berapa denda yang kita harus bayar dilihat dari penghasilan kita.
Itu kan sangat adil. Makanya di dalam KUHP baru ada namanya pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan itu salah satu poinnya hakim harus mempertimbangkan latar belakang ekonomi pelaku. Harus. Jadi memang betul-betul mengubah paradigma kita secara keseluruhan.
Keadilan Restorative, Pemidanaan tanpa Penjara
Tapi, apakah dengan pemidanaan seperti itu bisa memenuhi rasa keadilan?
Adil itu kan relatif. Dari sudut pandang korban itu mau sampai mati juga dibilang nggak adil. Tapi kan ada berbagai pertimbangan, hukum pidana itu meskipun kejam tapi dia masih bersifat manusiawilah, harus memperhitungkan.
Saya kasih contoh konkret ya, waktu saya sebagai Ketua Tim Pemerintah Penyusun RUU TPKS, Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jadi pelaku kejahatan seksual itu selain dijatuhi pidana penjara juga pidana denda. Kalau dia tidak punya uang kemudian itu disita, tapi kita memberikan ada ayat berikut.
Penyitaan yang dilakukan itu harus memperhitungkan hak-hak pihak ketiga. Misalnya nih, yang melakukan pemerkosaan, yang melakukan kejahatan seksual, katakanlah seorang kepala rumah tangga yang punya istri, punya anak, kalau semua harta bendanya disita lalu bagaimana nasib anak dan istri yang sama sekali tidak tahu dengan kejahatan suaminya atau kejahatan bapaknya. Apakah mereka harus menanggung dosa?
Jadi harus bersifat manusiawi. Karena itu harus diperhitungkan hak-hak pihak ketiga. Kan anak-anak itu istrinya kan nggak tahu kalau bapaknya melakukan kejahatan. Apakah adil kalau orang yang tidak tahu-menahu dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang lain, harus menanggung akibat?
Kan kasihan istri, kasihan anaknya yang tidak tahu menahu. Berbeda misalnya dengan kejahatan korupsi karena istri anaknya ikut menikmati. Tapi kalau kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang pelaku kejahatan terhadap orang lain yang istri anak-anaknya nggak tahu lalu hartanya semua disita itu apa kita nggak menzalimi orang lain yang nggak terlibat?
Benar, itu juga harus dipikirkan agar pihak yang tak terkait ikut menanggung akibat?
Oh iya, jadi kita merumuskan undang-undang itu bukan mimpi dapat wangsit terus besok pagi nulis, nggak. Kita berpikir panjang. Cuma orang-orang di pinggir jalan ini kan nggak tahu. Yang tahunya kan protes, protes, protes.
Kembali soal over kapasitas lapas tadi, apakah program restorative justice yang tengah digalakkan merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi beban itu?
Itu salah satu misi. Salah satu visi KUHP Nasional itu adalah keadilan restoratif. Makanya dengan KUHP Nasional dan Undang-Undang Pemasyarakatan itu kan sudah inline, sudah satu garis, sudah satu visi ke depan ya, bahwa restorative justice itu bukan menghentikan perkara. Restorative justice itu harus dipandang sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Artinya, di satu sisi pelaku itu tetap dikenakan sanksi, tetapi di sisi lain korban juga dipulihkan, begitu. Makanya apa-apa jangan berujung ke penjara. Saya lihat beberapa hari lalu tayangan di TV ya, ada ibu rumah tangga yang dia mencuri dua kantong plastik telur karena kehabisan bahan makanan. Itu bagus sekali kan polisi menyelesaikannya.
Ya pokoknya dia tidak memproses, ibu rumah tangga itu membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi dan kemudian telur yang dia curi itu tidak dikembalikan ke salah satu gerai itu, nggak. Nanti kalau saya bilang namanya dibilang promosi lagi, ha...ha... Itu dibayar oleh kantor polisi lho, dibayarin. Karena memang dia nggak punya uang untuk makan.
Kepepetlah istilahnya dia melakukan hal itu?
Jadi Ibu itu dia masuk ke salah satu gerai itu, dia mencuri dua kantong telur, itu satu kantong isinya 10 butir telur. Dia masukin ke jaket, karena terlihat oleh CCTV kemudian ditangkap, dia ngaku bahwa dia nggak punya bahan makanan, disurvei ke rumahnya memang betul dia nggak punya apa-apa.
Tapi mau saya katakan, rasa keadilan bagi teman-teman polisi yang menangani ini luar biasa ya. Jadi mereka tidak memproses tapi memberikan edukasi, lalu Ibu itu harus membuat surat pernyataan untuk tidak lagi mengulangi perbuatan pidana, telur 20 butir itu dikasihkan ke Ibunya lalu dia menyelesaikan pembayaran.
Nah, saya berharap tindakan teman-teman polisi yang mengalami kasus ini bisa dijadikan contoh. Kita bukan permisif, hukum pidana tidak permisif artinya lemah dengan tindak pidana, tetapi ya kita harus melihat situasi kondisi mengapa orang melakukan tindak pidana itu.
Sama dengan peristiwa yang menimpa Nenek Minah ya, Pak?
Iya, kasus buah kakao Nenek Minah ya? Tapi jangan salah, kasus Nenek Minah itu juga saya kira penyelesaian yang baik. Bayangkan Nenek Minah itu ketika mau datang ke persidangan, yang memberi ongkos untuk Nenek Minah itu hadir di sidang pengadilan jaksanya lho. Jaksanya yang mengongkosi, jaksa itu menuntut dengan percobaan dan dikabulkan oleh hakim.
Artinya, Nenek Minah itu tidak perlu lagi mendekam di dalam penjara, tetapi dia dikasih edukasi. Jadi saya kira penuntut umum, jaksa penuntut umum dalam kasus Nenek Minah itu sebetulnya dia mencoba menyeimbangkan antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Itu diongkosi lho dia datang ke pengadilan, diongkosi oleh jaksanya.
Jadi satu sisi dia akan menegakkan hukum tapi dia juga punya rasa kemanusiaan, artinya keadilan dan kemanfaatan makanya dituntut dengan percobaan. Dan jangan salah, Nenek Minah itu tidak dipenjara lho, melainkan dikasih hukuman percobaan.
Advertisement
Pelanggaran Berat HAM, Antara Politik dan Hukum
Akhir Agustus lalu Bapak Yasonna Laoly berkunjung ke Ceko bertemu belasan eks korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang umumnya adalah mahasiswa ikatan dinas. Sejauh mana proses repatriasinya?
Saya kira apa yang ditempuh oleh pemerintah dalam hal ini melalui Pak Menteri Hukum dan HAM dan juga saya tahu Pak Menkopolhukam juga hadir dalam pertemuan di Ceko dan juga di Belanda, tidak terlepas dari penyelesaian berbagai pelanggaran berat HAM di masa lampau ya, dan memang kita butuh waktu untuk itu.
Tapi kenapa membutuhkan waktu lama untuk pemulangan para korban?
Di manapun di dunia ini pelanggaran berat HAM itu penyelesaiannya tidak ada dalam waktu singkat. Saya kebetulan disertasinya mengenai itu, pelanggaran berat HAM ya. Jadi di manapun di dunia ini nggak ada dalam waktu singkat.
Pelanggaran berat HAM itu penyelesaiannya lebih berat masalah politik daripada masalah hukumnya. Di manapun di dunia ini. Kalau misalnya kita tarik dari tahun 1965 sampai sekarang ya baru 40 berapa, 1965 sampai sekarang itu kan berarti baru 58 tahun ya, itu wajarlah dalam masa seperti ini. Memang tidak bisa cepat.
Karena meliputi proses yang panjang?
Yang panjang betul. Ini kan tadi saya katakan, masalah politik, masalah hukum, kemudian ada berbagai kepentingan di situ, jadi harus ekstra hati-hati dalam penyelesaian itu.
Kenapa Bapak menyukai disiplin ilmu hukum?
Ya suka saja membaca, membaca terus kemudian hukum ini kayaknya menarik, ya sudah akhirnya menggeluti ilmu hukum. Dan keinginan itu dari kecil. Salah satu pelajaran yang saya suka itu kan sejarah ya, sementara hukum itu kan sangat kental dengan sejarah.
Seperti kita tahu, saat pertama kali ikut UMPTN Bapak gagal, apa saja aktivitas Bapak selama setahun sebelum kembali bersaing masuk UGM?
Ya main, pokoknya rileks begitu, nanti enam bulan mau UMPTN lagi baru belajar lagi di bimbingan belajar supaya lulus kan. Soalnya kalau hidup lancar-lancar nggak ada gagalnya kan kayanya nggak ada story yang menarik gitu ya.
Nah, Bapak kemudian menjadi dosen di UGM dan meraih gelar profesor serta Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di usia yang masih sangat muda, 37 tahun. Bagaimana rasanya?
Biasa saja tuh, ha...ha... Saya masuk kuliah terlambat, kan satu tahun menganggur. Saya SD juga terlambat, saya SD itu sudah umur 7 tahun lebih, hampir 8 tahun. Saya mau bilang saya terlambat saja profesornya masih muda, apalagi kalau nggak terlambat, ha...ha...
Kenapa ketika tamat kuliah tidak memilih jadi jaksa atau pengacara seperti saran almarhum sang Ayah, malah jadi dosen?
Pengen jadi dosen saja. Kalau dosen itu kan mau tidak mau, suka tidak suka dia harus membaca, membaca dan membaca, itu saja. Karena memang hobi saya membaca. Membaca buku, membaca situasi, membaca tanda-tanda zaman, semuanya kita baca.
Apa yang menarik dari menjadi dosen atau mengajar di kelas?
Saya dulu waktu kuliah semester satu saya paginya kuliah, sorenya nyari uang, dengan cara apa? Mengajar di bimbingan belajar. Itu saya geluti dari tahun 1993 saya mahasiswa sampai saya sudah jadi dosen tahun 2000 saya masih mengajar di bimbingan belajar. Tujuh tahun saya mengajar di bimbel karena memang hobi mengajar. Senang saja, jadi mahasiswa pun sudah mengajar.
Saya dulu waktu SD, terutama kalau guru rapat, saya biasa ditugasi oleh guru untuk berbagi ilmu, mau cerita apa begitu di depan kelas, ya sudah depan kelas. Jadi memang hobi mengajar sudah dari dulu ya, dari sananya sudah takdirnya seperti itulah.
Saya waktu jadi dosen itu saya lulus tahun 1998 bulan November. Saya jadi dosen itu 1998 bulan Desember, satu bulan setelah lulus. Angkatan saya angkatan 93 itu baru separuh yang lulus, jadi saya mengajarkan teman-teman saya sendiri. Sebagai dosen saya ngajarin teman-teman saya sendiri.
Apa yang masih Bapak ingat tentang suasana saat mengajar di dalam kelas?
Saya kalau ngajar pasti mahasiswanya senang, pasti betah ya. Kalau saya tanya nggak bisa jawab, saya bully biasanya, supaya mahasiswanya belajar, supaya bisa jawab.
Terakhir Pak, boleh ngasih pesan-pesan untuk teman-teman Milenial dan Gen-Z agar pemahaman tentang hukum di Indonesia bisa meningkat?
Saya hanya mau mengatakan begini ya, bahwa melihat hukum itu jangan secara kasat mata seperti apa yang kita lihat di TV, kita baca di koran dan yang kita dengar mungkin di radio ya. Tetapi melihat hukum itu harus secara utuh. Kalau saya bilang secara utuh itu berarti ya kita lihat aturannya seperti apa, penegakannya seperti apa.
Tapi yang paling penting dari semua itu bukan hanya khusus bagi Milenial, tapi bagi seluruh masyarakat, yang paling penting itu adalah kesadaran hukum, itu yang paling utama. Karena apa? Karena kesadaran hukum itu akan menimbulkan tingkat kepatuhan kita kepada aturan.
Saya selalu membandingkan dua negara secara ekstrim ya, kalau suatu ketika hukum itu ditarik dari Amerika, maka negaranya akan kembali kepada zaman the wild west, manusia yang satu merupakan serigala bagi manusia yang lain.
Tetapi suatu ketika kalau hukum itu ditarik dari Jepang, masyarakatnya tetap tertib. Karena apa? Karena kesadaran hukum Amerika itu dia bersifat heteronom, ada paksaan dari luar karena orang takut ada ancaman pidana dan lain sebagainya.
Tapi kalau kesadaran hukum di Jepang itu otonom dari dalam diri sendiri karena dia punya budaya malu. Itu menciptakan kesadaran hukum sehingga tingkat kepatuhan dia kepada hukum itu sangat tinggi.