Donald Trump Dituduh Bohong Tentang Kekayaan, Terancam Denda Rp3,8 Triliun

Mantan Presiden AS Donald Trump kembali masuk ke pengadilan karena diduga tidak jujur soal kekayaannya.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 26 Okt 2023, 19:57 WIB
Donald Trump di pengadilan New York pada Senin 2 Oktober 2023. (AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Eks-Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali harus masuk pengadilan karena dituduh menipu soal jumlah kekayaan. Trump terancam dengan hingga USD 250 juta (Rp3,8 triliun). 

Hakim sempat mempersilahkan wartawan masuk sebentar ke ruang pengadilan. Donald Trump terlihat serius, sementara hakim menyempatkan diri tersenyum lebar ke arah kamera.

Menurut laporan AP News, Senin (2/10), Jaksa Agung New York, Letitia James, menuduh bahwa Donald Trump membohongi bank hingga pihak insuransi dengan cara membesar-besarkan kekayaannya. 

Letitia James merupakan seorang anggota Partai Demokrat. Donald Trump menuding bahwa kasus ini hanya upaya untuk menjegalnya untuk ikut pemilu AS 2024

"Apa yang kita dapatkan di sini adalah upaya untuk menyakiti saya di pemilu," tuding Trump. "Saya tidak berpikir bahwa rakyat negara ini akan membiarkannya."

Dilaporkan Sky News, pihak jaksa agung New York berkata Trump melebih-lebihkan pernyataan finansialnya antara USD 812 juta hingga Rp2,2 miliar. Trump dituduh melakukan hal tersebut selama bertahun-tahun. 

Pengacara Trump berkata Trump tidak melakukan niat menipu, dan tak ada hal ilegal atau korban atas tindakan Trump. 

Selain terancam denda uang, Trump juga terancam tidak boleh memiliki properti lagi di New York selama lima tahun. 

ABC News menyebut pihak pengacara Trump berjanji akan memperlihatkan bukti-bukti yang membantah tudingan dari pihak pemerintah. 

Pihak Trump juga menghadirkan empat petugas bank Deutsche Bank yang terlibat menyetujui pinjaman dari Donald Trump. Mereka bakal menjelaskan cara analisis risiko mereka untuk menghadapi tuduhan penipuan di kasus ini.

Letitia James juga hadir di pengadilan, namun ia dan Trump tidak saling sapa.


Donald Trump Masih Bayangi Pencapresan Joe Biden

Presiden AS Joe Biden sesaat sebelum menaiki Air Force One di Pangkalan Gabungan Andrews di Maryland pada tanggal 7 September 2023. (SAUL LOEB/AFP)

Di tengah tingkat popularitas yang stagnan dan kekhawatiran akan usianya yang sudah lanjut, Joe Biden berusaha membangkitkan semangat para pendukungnya dan mereka yang masih ragu-ragu untuk memilihnya dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024.

Pada Kamis (28/9/2023), pria berusia 80 tahun itu dengan berapi-api mengatakan bahwa karakter dan masa depan AS terancam oleh nilai-nilai otoriter dari gerakan Make America Great Again (MAGA) yang diproklamirkan Donald Trump (77).

Biden dan Trump diprediksi akan kembali berhadapan dalam panggung utama Pilpres AS 2024.

"Ada sesuatu yang berbahaya sedang terjadi di AS," ujarnya di Phoenix, Arizona, seperti dilansir The Guardian, Minggu (1/10). "Ada gerakan ekstremis yang tidak memiliki keyakinan dasar demokrasi kita: gerakan MAGA ... Sejarah telah membawa kita ke masa ujian baru."

"Saat ini kita semua dihadapkan pada pertanyaan, apa yang akan kita lakukan untuk mempertahankan demokrasi kita?"

Biden menyampaikan pidatonya tersebut dalam sebuah acara yang digelar untuk mengenang mendiang politikus Republikan John McCain, yang kerap mengkritik Trump sebelum kematiannya pada tahun 2018.


Sekali Menyebut Trump

Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat tiba dalam acara National Prayer Breakfast di Washington, 7 Februari 2019. Presiden AS ke-45 yang kontroversial ini menjabat pada 2017 hingga 2020, sebelum akhirnya kini digantikan oleh Joe Biden. (Photo by Brendan Smialowski/AFP)

Biden menyampaikan pidatonya tersebut dalam sebuah acara yang digelar untuk mengenang mendiang politikus Republikan John McCain, yang kerap mengkritik Trump sebelum kematiannya pada tahun 2018.

Presiden AS itu hanya sekali menyebut Trump dalam pidatonya yang berdurasi setengah jam, di mana dia membandingkan norma dan tradisi demokrasi dengan perilaku yang menjadi ciri pendahulunya.

"Demokrasi berarti kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan monarki, bukan kekuasaan uang, bukan kekuasaan yang berkuasa. Apapun partainya, itu berarti pemilu yang bebas dan adil, menghormati hasil, menang atau kalah. Artinya, Anda tidak bisa mencintai negara Anda hanya jika Anda menang," kata Biden.

"Demokrasi berarti menolak dan mencegah kekerasan politik. Terlepas dari partainya, kekerasan seperti itu tidak pernah, tidak pernah, dan tidak dapat diterima di AS. Itu tidak demokratis dan tidak boleh dinormalisasi untuk mendapatkan kekuasaan politik."

Pernyataan Biden diyakini merujuk pada serangan ke Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 oleh massa pendukung Trump.

Meskipun Trump gagal membatalkan hasil Pilpres AS 2020, Biden memperingatkan bahwa bahayanya belum berlalu.

"Saat ini, demokrasi masih dalam bahaya. Ini bukan hiperbola. Itu adalah kebenaran yang sederhana," tuturnya.

Ancaman kekerasan terus berlanjut, katanya, dan yang terbaru ditujukan kepada Jenderal Mark Milley, ketua kepala staf gabungan angkatan bersenjata AS.

Baru-baru Trump dalam sebuah unggahannya di media sosial menuduh Milley bersalah atas "pengkhianatan".

"Sejujurnya, para ekstremis MAGA ini tidak tahu apa yang mereka bicarakan," kata Biden.

Infografis Latar Belakang Kasus yang Jerat Donald Trump. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya