Liputan6.com, London - Pemerintah Inggris pada Oktober 2023 ini telah resmi melarang sejumlah penggunaan plastik sekali pakai. Aturan ini berdampak ke alat-alat makan dari plastik.
Aturan ini diambil untuk melindungi lingkungan dan mengurangi sampah plastik yang bisa mengotori jalanan dan mengancam kehidupan liar.
Advertisement
Berdasarkan laporan euronews, Selasa (3/10/2023), per 1 Oktober ini semua tempat-tempat usaha tidak boleh lagi menjual atau menawarkan barang plastik sekali pakai kepada pelanggan. Hukuman denda dan pidana menanti jika tidak patuh.
Sejumlah barang yang dilarang adalah alat makan, gelas dan tempat makan dari polisterin, hingga pegangan balon. Aturan ini mencakup semua jenis plastik sekali pakai termasuk plastik yang dapat terbiodegradasi, dapat dibuat kompos, dan didaur ulang.
Bisnis-bisnis di Inggris tidak boleh menyediakan barang-barang tersebut meski mereka masih punya sisa yang dibeli sebelum aturan ini berlaku.
Namun, ada beberapa pengecualian untuk aturan ini. Untuk makanan take away, para pengusaha masih boleh menyediakan tempat makan plastik sekali pakai. Makanan jadi yang tersaji di rak-rak toko juga dikecualikan dari aturan ini.
Dan, para pengecer masih dapat memberi tutup polistiren pada cangkir kopi selama cangkirnya tidak terbuat dari bahan tersebut.
Perpanjang Daftar Aturan Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Inggris
Hal ini menambah larangan terhadap sedotan plastik sekali pakai, pengaduk, dan cotton bud yang diperkenalkan Inggris pada tahun 2022.
Sementara itu, pemerintah mengatakan pihaknya berencana untuk melarang semua kemasan plastik di kemudian hari. Kendati demikian tanggal pastinya belum ditentukan.
Inggris diperkirakan menggunakan 2,7 miliar peralatan makan sekali pakai yang sebagian besar terbuat dari plastik, dan 721 juta piring sekali pakai setiap tahunnya. Itu berarti sekitar 37 peralatan makan dan 18 piring per orang.
Menurut perkiraan pemerintah, hanya 10 persen dari barang-barang tersebut yang didaur ulang dan sisanya membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai di tempat pembuangan sampah.
Langkah Kecil
Organisasi City to Sea yang mendorong pelarangan plastik sekali pakai menyambut gembira larangan ini. Kampanye ini dilancarkan oleh City to Sea sejak 2022 lalu.
Namun, City to Sea mengingatkan bahwa Inggris belum sepenuhnya melarang plastik sekali pakai.
"Jadi meski ini adalah berita besar bahwa plastik sekali pakai akan lebih sedikit terbuang di lautan kita berkat hasil pencekalan ini, kenyataannya adalah masih banyak plastik yang digunakan," tulis City to Sea di situs resminya.
Organisasi itu juga membantah jika Inggris merupakan "pemimpin dunia" dalam menangkal masalah plastik.
"Ingat bahwa mereka baru mengambil langkah kecil dalam perjalanan panjang untuk menangkal polusi plastik," tegas City to Sea.
Advertisement
Respons Masalah Sampah Plastik, Pemuda RI Tagih Political Will Pemangku Kebijakan
Beralih ke dalam negeri, merespons semakin parahnya masalah pengelolaan sampah khususnya limbah plastik di Jakarta, Yayasan Partisipasi Muda (YPM) atau yang lebih dikenal dengan Generasi Melek Politik (GMP) menghelat workshop pelatihan pembuatan kebijakan publik bernama Academia Politica bertemakan “Mengemban Limbah Kita, Benahi Kota Plastik”.
Direktur Eksekutif Yayasan Partisipasi Muda (YPM), Neildeva Despendya Putri menyampaikan, pengelolaan sampah bukan hanya soal infrastruktur namun juga rendahnya political will dari pemangku kebijakan. Hal itu disampaikan Neildeva di Auditorium Gedung C, FISIP Universitas Indonesia saat berkolaborasi dengan Satuan Inisiator Jingga (SATRIA), Jumat (1/9).
“Kebijakan pengelolaan sampah yang lebih baik harus menjadi refleksi dan tanggung jawab dari Pemerintah, kalangan bisnis, DPRD, organisasi sipil, akademisi, termasuk anak muda yang dapat ambil bagian dalam upaya penyelesaian masalah lingkungan melalui produk kebijakan publik," kata Neildeva, seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (6/9).
Neildeva meyakini dengan langkah politik yang strategis, maka bukan tidak mungkin masalah sampah terutama limbah plastik dapat diselesaikan. Apalagi, dengan melibatkan peranan anak muda.
“Jadi kini saatnya anak muda memahami sepenuhnya isu politik dan masalah krisis iklim Indonesia, sehingga kedepannya tak lagi menjadi kantong suara semata,” pesan dia.
Krisis Iklim
Neildeva berharap, anak muda tidak hanya menjadikan terminologi Pemilu sebagai sebuah gimmick seperti Politisi Millennial, Partai Gen Z, Presiden Gen Z. Sebab, suara sebagai anak muda tidak ada yang mewakilkan.
“Tidak ada yang benar-benar paham isu yang dihadapi anak muda. Padahal isu besar seperti krisis iklim sudah di depan mata. Tujuan diadakannya program Academia Politica ini adalah memberikan workshop roleplaying membuat kebijakan publik dari kacamata masing-masing stakeholder seperti NGO sampai Pemerintah,” pesan Neildeva.
Neildeva menjelaskan, program Academia Politica bertujuan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin muda Indonesia. Agar, ketika duduk di bangku pemimpin entah itu kampus, kantor atau di tingkat RT hingga parlemen, anak muda dapat paham soal emerging collective issue bersama dihadapi, seperti masalah lingkungan dan krisis iklim.
“Academia Politica dapat menjadi tempat belajar, wadah intelektual, dan wadah partisipasi pemuda Indonesia untuk mendapatkan kemampuan agenda setting, negosiasi, argumentasi, hingga merumuskan rekomendasi kebijakan,” Neildeva menandasi.
Advertisement