Liputan6.com, Jakarta Nilai Tukar Petani (NTP) digunakan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani, dengan produk yang dibutuhkan petani, dalam produksi dan konsumsi rumah tangga. Berkaitan dengan hal tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan NTP pada September 2023 yang mencapai 114,14.
Pencapaian itu diketahui mengalami kenaikan tinggi sebesar 2,05%. Bahkan, NTP nasional tanpa perikanan mencapai 114,46 atau mengalami kenaikan sebesar 2,14%. Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan kenaikan NTP terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik sebesar 2,27% atau lebih tinggi, dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani, yaitu sebesar 0,21%. Sementara indeks harga yang diterima petani tanpa perikanan naik sebesar 2,35%.
Advertisement
Menurut Amalia, kenaikan NTP juga dipengaruhi beberapa komoditas unggulan nasional seperti gabah, kelapa sawit, jagung dan kakao. Peningkatan NTP tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan yang naik sebesar 4,54%.
"Kenaikan NTP tanaman pangan terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik sebesar 4,67% atau lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani yang hanya 0,12%," kata Amalia, Senin (2/10).
Amalia mengatakan komoditas yang dominan dalam mempengaruhi kenaikan indeks harga yang diterima pada subsektor tanaman pangan adalah gabah, jagung, ketela pohon, dan ketela rambat. Sementara itu, kebaikan juga terjadi pada Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) pada September 2023 yang mencapai 114,98 atau naik 2,16% bila dibandingkan Agustus 2023. Kenaikan NTUP terjadi karena indeks harga yang diterima petani atau it naik sebesar 2,27%.
"Yang pasti kenaikan tersebut karena indeks harga yang diterima petani masih lebih tinggi dari kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal atau biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM). Adapun komoditas yang paling dominan dalam mempengaruhi kenaikannya secara nasional adalah gabah, kelapa sawit, jagung dan kakao," katanya.
Menurut Amalia, peningkatan NTUP tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan yakni sebesar 4,52%. Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik sebesar 4,67% atau lebih tinggi dari kenaikan BPPBM yang hanya 0,15%.
"Komoditas yang dominan mempengaruhi kenaikan BPPBM tanaman pangan adalah benih padi, upah pemanenan, bensin, dan upah membajak," katanya.
Diketahui, sebanyak 28 provinsi mengalami kenaikan NTP dengan peningkatan tertinggi terjadi di Sulawesi Barat yakni sebesar 4,17% yang didukung subsektor tanaman perkebunan rakyat. Sedangkan untuk NTUP sebaran kenaikan terjadi di 26 provinsi. Adapun peningkatan tertinggi NTUP terjadi di Bengkulu yang naik sebesar 4,59%.
"Peningkatan NTUP tertinggi di Bengkulu terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat yang naik 5,03%," katanya.
Berkaitan dengan NTP dan NTUP, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri angkat bicara. Dia mengatakan angka NTP dan NTUP yang terus naik harus dijaga momentumnya karena menurutnya kesejahteraan petani perlu dipertahankan. Pemerintah sangat concern soal ini dan mengharapkan memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional.
"Apalagi di tengah ancaman el nino, gairah pertanian nasional terus kami jaga dengan melakukan pendampingan di lapangan. Kami harapkan produksi yang baik, mampu terus menjaga ketahanan pangan nasional," ujar Kuntoro.
(*)