HEADLINE: Pertemuan SBY-Jokowi di Istana Bogor, Sinyal Reshuffle Kabinet?

Presiden Jokowi bertemu SBY secara tertutup di Istana Bogor di tengah mencuatnya isu reshuffle kabinet seiring adanya dua menteri yang tersandung kasus hukum. Apakah pertemuan tersebut memberi sinyal Demokrat akan mendapat kursi di pemerintahan Jokowi?

oleh Ady AnugrahadiMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 04 Okt 2023, 22:53 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbincang santai di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/3). Sebelumya, Jokowi dan SBY menggelar pertemuan tertutup di dalam Istana. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi bertemu dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (2/10/2023) sore. Pertemuan dua tokoh bangsa ini berlangsung di tengah mencuatnya isu reshuffle atau perombakan kabinet.

Isu reshuffle ini mencuat seiring adanya dua menteri Jokowi yang tersandung kasus hukum. Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo alias SYL di Jakarta Selatan terkait kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) RI.

Bahkan menteri dari Partai NasDem ini dikabarkan telah ditetapkan KPK sebagai tersangka dugaan korupsi, hanya saja belum diumumkan ke publik. Selain Mentan, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo juga tersandung kasus hukum.

Nama menteri dari Partai Golkar ini disebut dalam persidangan kasus korupsi proyek infrastruktur BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Dito disebut-sebut menerima aliran uang Rp27 miliar terkait kasus korupsi tersebut.

Pengamat Politik, Usep S Akhyar tak memungkiri ada peluang reshuffle kabinet di akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi. Namun perombakan kabinet tersebut bukan serta merta karena ada pertemuan antara Jokowi dan SBY di Istana Bogor kemarin. Apalagi belum jelas apa yang dibahas dalam pertemuan itu.

"Saya enggak tahu pembicaraannya (pertemuan Jokowi-SBY) kayak apa, tapi resuffle ini karena SYL kena (kasus hukum). Pasti ada resuffle soal itu," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (3/10/2023)

Hingga saat ini, baik dari pihak Jokowi maupun Partai Demokrat belum mengungkap secara jelas apa materi yang dibahas dalam pertemuan dua tokoh politik tersebut. "Cuman itu memperlihatkan hubungan Pak SBY dengan Pak Jokowi saya kira baik. Apalagi Pak SBY sekarang mendekat ke Prabowo. Saya kira kesannya begitu," kata Usep.

Lebih lanjut, Direktur Populi Center menyatakan bahwa keputusan merombak kabinet adalah hak prerogatif Presiden Jokowi. Namun yang menjadi tanda tanya besar adalah kenapa harus Demokrat yang akan diberi jatah kursi menteri di akhir periode kepemimpinannya.

"Soal bahwa ada resuffle mungkin, cuma persoalannya apakah ini akan diberikan ke Demokrat, kan kita enggak tahu itu hak prerogatif presiden dan semuanya bisa terjadi. Dari dulu isu ini kan menguat terus, tapi kan yang memperkuat bahwa ini akan diberikan ke Demokrat saya kira tidak cukup hanya pertemuan Pak SBY dan Pak Jokowi kemarin. Karena (pertemuan) itu sepertinya membalas kebaikan Pak SBY ketika mengundang Pak Jokowi di acara Pak SBY yang tidak bisa datang," ucap Usep.

Menurut dia, belum cukup alasan mengikutsertakan Demokrat dalam reshuffle kali ini. Sebab Jokowi juga akan berhadapan dengan partai koalisi pemerintahan, sementara Demokrat tidak ada di dalamnya.

"Itu pasti jadi permasalahan tersendiri. Dan Pak Jokowi di akhir masa jabatan saya kira bikin soft landing dan koalisi pemerintahan tetap terjaga. Nah kecuali kalau ada argumen-argumen yang menunjukkan bahwa sangat mendesak memasukkan Demokrat di pemerintahan," katanya.

Namun hingga saat ini, menurut Usep, belum ada argumentasi yang kuat dan mendesak untuk memasukkan Demokrat ke dalam pemerintahan. Pemberian jatah kursi menteri untuk Demokrat justru berpotensi merusak koalisi yang selama ini mendukung program-program pemerintahan.

"Jadi tidak cukup pertemuan Pak SBY dengan Pak Jokowi kemarin sore untuk menunjukkan bahwa resuffle akan memasukkan Demokrat," ujarnya.

"Saya kira lebih aman untuk tidak (memasukkan Demokrat ke kabinet), karena ini akhir jabatan yang tidak terlalu banyak waktu untuk konsolidasi lagi. Ini waktunya menyelesaikan PR PR dari Pak Jokowi dan kabinet," kata Usep menambahkan.

Infografis Pertemuan SBY-Jokowi di Istana Bogor. (Liputan6.com/Abdillah)

Daripada sekedar isu reshuffle dan pemberian jatah menteri untuk Demokrat, ada sinyal lain yang bisa ditangkap dari pertemuan antara Jokowi dengan SBY di Istana Bogor, Senin sore kemarin. Pertama, pertemuan tersebut dapat memperkuat posisi Jokowi.

Selain memperlihatkan Jokowi sebagai sosok yang humble, pertemuan tersebut juga menunjukkan bahwa posisinya bukan hanya diperhitungkan di dalam koalisi pemerintahan, tapi juga di luar pemerintahan.

"Atau bahkan mungkin menunjukkan ada koalisi yang tidak begitu solid sehingga Pak Jokowi perlu mengkonsolidasikan dengan pihak di luar koalisi. Itu bisa dua hal sebenarnya. Tapi ini menjalin kekuatannya yang kita baca," tutur Usep.

Pertemuan tersebut juga bisa ditarik pada sinyal dukungan Jokowi terhadap Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden 2024. Diketahui, Demokrat merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) bersama Gerindra, Golkar, dan PAN setelah merasa dikhianati NasDem dan Anies Baswedan.

"Bisa saja begitu, tapi terlalu dini. Kemungkinan itu bisa dibaca. Tapi yang jelas terlihat bahwa legowo dari kedua tokoh itu. Bahwa nanti akan memperkuat blok tertentu dan akan merenggangkan blok politik yang lain, saya kira mungkin akan terjadi," ucapnya.

Lantas apakah pertemuan tersebut juga bisa dimaknai sebagai upaya rekonsiliasi antara Demokrat dengan PDIP atau antara SBY dengan Megawati Soekarnoputri?  

"Saya kira upaya itu sudah ditunjukkan oleh Pak Jokowi untuk menyatukan antara dua tokoh itu. Itu juga tidak pernah berhasil. Karena memang Pak Jokowi bukan representasi Bu Mega juga. Pak Jokowi memainkan politik tersendiri, Bu Mega tersendiri, walaupun dalam beberapa hal ketemu. Jadi tidak selalu Pak Jokowi personalisasi Bu Mega," ujar Usep.

Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Jokowi harus punya otoritas sendiri tanpa bayang-bayang orang lain, sekalipun itu ketua umum partai yang mengusungnya menjadi presiden. "Menurut saya, politik Pak Jokowi tidak dibayang-bayang Bu Mega," katanya menandaskan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Khoirul Umam melihat bahwa pertemuan Jokowi dan SBY di Istana Bogor telah menepis anggapan keduanya sulit membangun ruang komunikasi politik yang produktif jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

"Kedua pemimpin yang selama ini berada di dua poros politik yang berbeda, tetap mampu mendiskusikan isu politik kebangsaan, tidak menutup kemungkinan Jokowi-SBY mendiskusikan sejumlah isu politik praktis, termasuk terkait Koalisi Indonesia Maju (KIM)," ujar Umam dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com, Selasa (3/10/2023).

Umam tak memungkiri, ada peran Presiden Jokowi di balik orkestrasi kekuatan politik KIM yang kini juga menjadi tempat bernaungnya Partai Demokrat. Jika benar, maka hal tersebut akan menambah moril perjuangan para pendukung bakal calon presiden dari KIM, Prabowo Subianto.

"Pencapresan Prabowo seolah kini telah didukung oleh dua tokoh presiden, yakni Presiden RI ke-6 SBY dan Presiden RI ke-7 Jokowi," ucap Umam.

Dosen Ilmu Politik & International Studies di Universitas Paramadina ini menganggap wajar, merapatnya Demokrat ke kubu koalisi pemerintahan memunculkan spekulasi tentang kemungkinan partai berlambang Mercy tersebut akan mendapat jatah kursi menteri dalam reshuffle tahap akhir pemerintahan Jokowi.

"Sebab, positioning Demokrat dalam sejumlah wacana perdebatan kebijakan publik, kini tampak bergeser ke tengah, meskipun tetap mencoba menjaga nalar kritis konstruktifnya," ujar Umam.

Seperti diketahui, Demokrat yang selama hampir satu dekade menjadi partai oposisi, kini tengah bergabung bersama KIM dalam menyongsong Pemilu 2024. Koalisi yang mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal Capres 2024 ini berisi partai-partai pendukung pemerintah, seperti Gerindra, Golkar, dan PAN.

"Di sisi lain, Nasdem dan PKB yang kini berada di Koalisi Perubahan tampak semakin kencang dan berani menunjukkan garis perbedaan arah kebijakan dengan pemerintahan Jokowi saat ini. Hal ini akan menjadi ujian bagi Jokowi, apakah ia benar-benar akan membuktikan bahwa dirinya betul-betul memegang kekuatan presidential dengan hak veto politik yang besar, atau tetap akan tunduk di bawah bayang-bayang instruksi pimpinan partai," kata Umam.

Umam melanjutkan, jika akhirnya Demokrat akan mendapatkan jatah kursi menteri, maka hal ini akan menjadi momentum besar terjadinya rekonsiliasi kekuatan politik Jokowi dan SBY. Artinya, Jokowi bisa ditafsirkan terbebas dari bayang-bayang tekanan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.

“Pasalnya (PDIP sebagai partai asal Jokowi) konon pernah menyatakan keberatan atas masuknya Demokrat ke koalisi pemerintahan pada 2019 lalu,” ujar Umam menandaskan.


Respons Parpol Soal Peluang Demokrat Dapat Kursi Menteri

Presiden Jokowi dan SBY mengenakan baju batik

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku tidak masalah apabila Demokrat ditawari kursi menteri oleh Presiden Jokowi. Sebab, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan Jokowi sebagai presiden.

"Sekali lagi itu kewenangan sepenuhnya Presiden untuk mengangkat siapa pembantunya dari partai apa dan seterusnya," ujar Muzani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Namun begitu, Muzani sampai hari ini belum mengetahui dan mendengar akan ada reshuffle setelah pertemuan Jokowi dan SBY tersebut.

"Tapi reshuffle itu kan menjadi hak prerogatif presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensil, presiden berhak melakukan evaluasi terhadap pembantu-pembantunya. Sehingga kalau presiden perlu melakukan itu ya tentu menjadi kewenangan presiden," kata Wakil Ketua MPR RI ini.

Terkait isi pembicaraan antara Jokowi dan SBY, Muzani mengaku belum mendapatkan bocorannya. Ia pun baru mengetahui pertemuan tersebut dari pemberitaan saja.

"Saya tahu ada pertemuan antara Pak SBY dengan Pak Jokowi di Istana Bogor. Tapi saya sama sekali tidak tahu sampai sekarang bocorannya belum tahu, bisikannya belum ngerti, apa yang dibicarakan," kata Muzani.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi pesimistis Presiden Joko Widodo akan melakukan reshuffle kabinet. Sebab masa jabatan Jokowi di periode kedua ini tinggal satu tahun lagi.

"Ya setahun ya, kok rasa-rasanya kecil kemungkinan ada reshuflle. Kalaupun ada reshuffle itu hak presiden prerogatif dari Presiden Joko Widodo," ujar politikus yang akrab disapa Awiek ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Kecuali reshuffle kabinet untuk mengganti menteri yang bermasalah. Kalau tidak ada menteri bermasalah, Awiek ragu Jokowi akan mengganti menterinya.

"Kalau enggak ada yang bermasalah tentu biasanya menjelang setahun tidak ada reshuffle kita lihat sejarahnya. Reshuffle di ujung tahun itu ketika menterinya ada masalah," ujarnya.

Awiek melihat pengalaman sejak kepemimpinan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di tahun terakhir tidak ada pergantian menteri yang tidak bermasalah.

"Mulai dari jaman Pak SBY, Pak Jokowi pun begtu ketika menterinya bermasalah tiga bulan pun direshuffle, kalau tidak ada masalah ya tidak ada, landai-landai aja," ujarnya.

Dia menilai, hanya asumsi publik saja isu reshuffle muncul setelah Presiden Jokowi bertemu dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Bogor, kemarin.

"Sekali lagi soal reshuffle itu merupakan hak prerogatif dari Presiden Joko Widodo sebagai user. Saya kira tidak bisa maksa-maksa beliau, dan beliau bisa mengukur kebutuhan di mana untuk bisa merombak kabinetnya," ucap Awiek.

Reshuffle Bukan Satu-satunya Opsi

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menilai, bahwa keputusan bongkar pasang kabinet atau reshuffle membutuhkan pertimbangan kuat mengingat sisa masa jabatan Presiden Jokowi yang tidak lama lagi akan berakhir.

Menurut dia, dengan masa jabatan presiden yang tersisa setahun, reshuffle kabinet justru bisa membuat situasi pemerintahan tidak kondusif.

"Reshuffle dalam situasi sekarang ya tentu saja kurang kondusif," kata Hasto saat ditemui di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Selain sisa masa jabatan yang tinggal di ujung tanduk, rangkaian tahapan Pemilu 2024 juga mendekati puncaknya. Dia pun menyarankan pada sisa masa baktinya ini, seharusnya Presiden Jokowi dapat memanfaatkannya untuk percepatan program strategis yang sudah ditargetkan dan mengevaluasi kekurangannya.

"Hal ini dilakukan untuk nantinya diberikan kepada pemerintahan yang akan datang," ucap Hasto.

Kendati begitu, Hasto menegaskan bahwa reshuffle kabinet adalah hak prerogatif presiden. Apalagi, jika ada menteri yang terjerat kasus hukum sehingga terjadi kepincangan di kementerian yang dipimpinnya.

"Kecuali ada menteri yang karena aspek-aspek hukum atau berhalangan tetap itu reshuffle dapat dilakukan," tambah dia.

Namun reshuffle juga bukan satu-satunya cara mengatasi persoallan tersebut. "Atau presiden juga memiliki opsi dalam menugaskan menteri-menteri yang lain untuk bertindak sebagai menteri ad interim," ucap Hasto memungkasi.

Sementara itu, Anggota Dewan Pertimbangan Partai Demokrat Santoso mengatakan, belum ada tawaran kepada partainya untuk masuk kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Partai Demokrat pun tidak ingin berandai-andai dengan isu yang berkembang usai pertemuan Jokowi dan SBY.

"Belum ya," katanya singkat saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Meski menjadi anggota dewan pertimbangan partai, Santoso mengaku tidak mengetahui detail pertemuan Jokowi dan SBY di Istana Bogor. Santoso juga tidak berkapasitas menanggapi lebih jauh apabila Demokrat mendapatkan tawaran menteri dari Jokowi.

"Jadi secara teknis untuk mengetahui kegiatan eksekutif partai. Itu lebih kepada ketum dan jajarannya," katanya.

Santoso beranggapan, pertemuan SBY dan Jokowi untuk menciptakan situasi yang kondusif menjelang Pemilu 2024. Pertemuan dua tokoh bangsa itu bertujuan untuk memperlihatkan ke publik bahwa kontestasi Pemilu bukan hal yang menakutkan.

"Nah ini lah yang mungkin saya kira merupakan bagian dari niatan Pak SBY dan Jokowi bertemu dalam rangka menciptakan itu, supaya rakyat jangan terbelah meskipun punya pilihan tapi bahwa pesta demokrasi ini harus dilakukan harus dilewati tapi juga harus dilaksanakan dengan happy," ujarnya memungkasi.


Pertemuan Jokowi dan SBY Banjir Apresiasi

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (27/10). Pertemuan membahas berbagai hal, seperti situasi politik dan ekonomi Indonesia. (Laily Rachev / Biro Pers Setpres)

Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyambangi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor pada Senin (2/10/2023) sore. Melalui rekaman video yang diterima Liputan6.com, SBY tiba di Istana Bogor sekira pukul 17.00 WIB.

SBY kemudian melakukan pertemuan tertutup selama sekitar satu jam. Awak media yang menunggu keduanya tidak dapat mengakses ke tempat pertemuan tersebut. Media hanya menunggu di luar kompleks Istana Kepresidenan Bogor.

Pada sekitar pukul 18.00 WIB atau berselang satu jam, SBY terlihat keluar menuju mobilnya dengan diantar langsung oleh Presiden Jokowi.

Mengonfirmasi peristiwa tersebut, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani membenarkan adanya pertemuan keduanya. Menurut dia, pertemuan Jokowi dan SBY merupakan silaturahmi kebangsaan.

"Benar sore ini ada silaturahmi kebangsaan antara Pak SBY dan Pak Jokowi," ucap Kamhar, Senin malam. 

Caleg DPR RI-Dapil Jawa Barat V Kabupaten Bogor ini meyakini, pertemuan keduanya tentu membahas terkait politik kebangsaan dan politik kenegaraan.

"Silaturahmi ini kami yakini akan memberi dampak positif membuat dinamika politik menjadi lebih teduh dan sejuk," ucap Kamhar.

Pertemuan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor pun diapresiasi sejumlah pihak. Salah satunya Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.

"Ya soal pertemuan-pertemuan antara tokoh bangsa itu adalah hal biasa, tentunya kami mengapresiasi pertemuan-pertemuan yang terjadi," kata Dasco saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

"Itu kan tentang apa namanya presiden yang sedang menjabat dan presiden yang sebelumnya bertemu, itulah menurut kami adalah hal yang patut diapresiasi," sambungnya.

Terkait apa yang dibahas dalam pertemuan SBY dengan Presiden Jokowi, dia menegaskan Partai Gerindra tidak berwenang untuk ikut campur. Namun, Dasco menyebut bahwa pertemuan kedua tokoh bangsa tersebut merupakan hal yang wajar.

"Mengenai apa yang dibicarakan tentunya Partai Gerindra tidak akan ikut mengomentari, karena itu adalah sesuatu menurut kami hal yang biasa dan wajar dilakukan oleh tokoh-tokoh bangsa," kata Wakil Ketua DPR ini menandaskan.

Tidak Perlu Ajak Demokrat Masuk Kabinet

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menanggapi santai pertemuan Jokowi dan SBY yang berlangsung di Istana Bogor. Menurut dia, PDIP mengapresiasi sikap Jokowi yang dapat berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk SBY.

"Ya enggak apa-apa toh, wong ketemu aja membangun silaturahmi bagus, berkomunikasi kan bagus ya. Jadi, apalagi beliau ini kan presiden sebelumnya, bagus, kami apresiasi bahwa Pak Jokowi dapat berkomunikasi dengan berbagai pihak," kata Djarot saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Dia menilai, pertemuan antara SBY dan Presiden Jokowi akan berdampak pada stabilitas politik yang bagus menjelang pemilu 2024. "Tujuannya apa? Tujuannya ya kita di tahun politik ini kita bisa membangun stabilitas politik yang bagus," ucap mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini.

Saat ditanya apakah pertemuan SBY dan Presiden Jokowi membahas politik termasuk perombakan kabinet atau reshuffle, Djarot mengaku tak mengetahui. Sebab, permasalahan bangsa Indonesia tak hanya pada dua fokus tersebut.

"Waduh, kalau itu saya tidak tahu ya. Kan banyak ya masalah-masalah," kata Djarot.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga merespon positif pertemuan SBY dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor Senin sore kemarin. Menurut Hasto, pertemuan keduanya dimaknai sebagai silaturahmi antara sesama presiden.

“Ya pertemuan antara pemimpin suatu hal yang baik apalagi Pak SBY beliau juga sosok presiden ke 6 dan Pak Jokowi presiden ke 7, sehingga pertemuan itu dinilai oleh PDI Perjuangan merupakan bagian dari tradisi silaturahim yang baik dilakukan di antara para pemimpin,” kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/10/2023).

Terkait pertemuan keduanya membahas soal konsolidasi politik, Hasto melihat bahwa kubu SBY dan Jokowi telah memiliki jalannya masing-masing. Sementara bila dimaknai sebagai ajakan bergabung ke dalam gerbong pemerintah, maka Hasto berpendapat hal itu bukan hal yang perlu dilakukan, sebab partai pendukung Jokowi di 2019 sudah sangat baik.

“Dalam situasi seperti ini PDIP berpendapat kerja sama yang sudah dilakukan dengan partai-partai yang selama ini mengusung pemerintahan Presiden Jokowi itu sudah sangat bagus dan semua berkomitmen untuk tetap memberikan dukungan bagi legacy Presiden Jokowi dan KH Ma'ruf Amin,” ucap Hasto menandaskan.


Mimpi SBY Naik Kereta Bareng Jokowi dan Megawati

Presiden Jokowi berfoto bersama presiden terdahulu yakni Presiden ketiga RI BJ Habibie, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Kamis (17/8). (HANDOUT/INDONESIAN PRESIDENTIAL PALACE/AFP)

Beberapa waktu sebelum pertemuan di Istana Bogor berlangsung, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat bercerita soal mimpinya bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Cerita itu disampaikan SBY lewat akun Twitternya, @SBYudhoyono.

Dalam cuitannya, SBY mengaku memimpikan Jokowi yang datang ke rumahnya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. SBY dan Jokowi lalu menjemput Megawati di kediamannya dan kemudian bersama-sama berangkat ke Stasiun Gambir.

Dalam lanjutan mimpi tersebut, ketiganya sudah ditunggu Presiden ke-8 RI di Stasiun Gambir. Lalu sang presiden yang akan dipilih di 2024 berbincang-bincang dengan mereka sebelum akhirnya memberikan tiket kereta api untuk Megawati, SBY, dan Jokowi.

Ketiganya dibelikan karcis kereta api Gajayana yang memiliki rute arah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Selanjutnya, ketiga tokoh negara itu disebut naik kereta api bersama sambil menyapa rakyat sepanjang jalan. Namun ketiganya berpisah ke tempat tujuan masing-masing.

SBY dalam mimpinya turun di Stasiun Solo, Jawa Tengah, bersama Jokowi di mana sang Presiden ke-7 RI ini pulang ke rumahnya dan SBY melanjutkan perjalanan dengan bus menuju kampung halamannya di Blitar, Jawa Timur.

Sementara itu Megawati disebut terus menumpang kereta api menuju Blitar, Jawa Timur untuk berziarah ke makan ayahnya, Presiden pertama RI Sukarno atau Bung Karno.

Infografis Ragam Tanggapan Pertemuan SBY-Jokowi di Istana Bogor. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya