Liputan6.com, Jakarta Pakar Hukum Ekonomi Hikmahanto Juwana menyatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau.
Menurut dia, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja.
Advertisement
Dalam kasus pembahasan draf RPP, lanjutnya, di luar kesehatan pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri hasil tembakau (IHT) nasional, hingga penerimaan negara.
"Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan," katanya dikutip dari Antara, Selasa (3/10/2023).
Aturan tersebut di antaranya larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan produk secara ketengan, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, dan aturan kemasan minimal 20 batang per bungkus.
Hikmahanto ini menegaskan, jika draf RPP ini dipaksakan akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya.
"Akibatnya industri hasil tembakau (IHT) nasional bisa mati. Lalu bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau?," katanya.
Mampukah Penerimaan Cukai Rokok 2023 Tembus Target?
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) menyebutkan bahwa fenomena peralihan konsumsi dari rokok golongan tertinggi ke rokok murah (downtrading) menjadi penyebab penurunan penerimaan cukai pada 2023.
DJBC Kemenkeu mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hingga akhir Agustus 2023 yaitu sebesar Rp126,8 triliun turun atau turun 5,82 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022.
Penerimaan sepanjang tahun 2023 pun diperkirakan tidak akan mencapai target APBN 2023 sebesar Rp232,5 triliun.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto mengungkap pihaknya memperkirakan realisasi penerimaan CHT pada akhir 2023 diperkirakan bakal mencapai Rp218,1 triliun atau hanya 93,8 persen dari target. Apabila benar terjadi, ini adalah rekor baru di mana sebelumnya realisasi penerimaan CHT selalu berhasil melampaui target yang dicanangkan dalam APBN.
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Jawa Timur I Untung Basuki mengatakan downtrading memang menjadi tantangan bagi Bea Cukai, khususnya dalam optimalisasi penerimaan CHT. Bahkan, Untung menyebut bahwa fenomena ini sangat terasa di Jawa Timur yang pada dasarnya merupakan penyumbang penerimaan CHT terbesar di Indonesia.
“Karena golongan I sudah terlalu tinggi, maka mereka (masyarakat) cenderung beralih ke golongan II yang tarif cukainya relatif lebih rendah,” ujarnya.
Pada akhirnya, menurut Untung, hal ini berimbas terhadap penerimaan CHT. Sebab, dengan tarif yang lebih tinggi, maka penurunan konsumsi rokok golongan I akan secara langsung menggerus pendapatan negara dari CHT secara signifikan jika dibandingkan dengan golongan II dan III.
Advertisement
Konsumsi Rokok
Peneliti Jaminan Sosial Risky Kusuma Hartono juga melihat fenomena downtrading sebagai sebuah permasalahan mendesak. Risky berpendapat, terjadinya pergeseran konsumsi ini merupakan bukti dari tidak efektifnya kebijakan CHT yang berlaku.
Hal ini karena perpindahan konsumsi rokok ke rokok yang lebih murah di masyarakat berlawanan dengan semangat pengendalian konsumsi yang menjadi salah satu tujuan kenaikan cukai.
Risky melihat sebetulnya ada solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi downtrading. “Perlu dikecilkan lagi gap tarifnya agar harganya tidak jauh berbeda, tapi kalau paling bagus ya disederhanakan struktur tarifnya,” katanya.
Persoalan lain yang terkait dengan fenomena downtrading terletak pada struktur tarif cukai. Menurut Risky, struktur tarif yang makin rumit justru menjauhkan tujuan dari kenaikan cukai itu. Agar kebijakan kenaikan CHT efektif, imbuh Risky, penyederhanaan struktur tarif cukai perlu menjadi solusi negara. “Pemerintah sebetulnya sudah mempunyai rencana di RPJMN terkait simplifikasi. Maka, itu perlu diimplementasikan terlebih dahulu,” pungkasnya.
Penerimaan Bea Cukai 2023 Diramal Tak Capai Target
Direktorat Jenderal Kepabeanan dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai tahun ini tidak akan mencapai target.
Penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai akhir tahun ini akan mengalami kontraksi hingga 5,6 persen. Angka tersebut kurang dari target Rp 303,2 triliun.
“Penerimaan bea cukai sampai bulan Agustus tahun ini baru mencapai 56,59 persen dari target yang ditetapkan,” ungkap Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC, Mohammad Aflah Farobi dalam kegiatan Media Gathering Kemenkeu di Puncak, Bogor pada Selasa (26/9/2023).
“Dari target Rp 303,2 triliun dari APBN Outlook kita untuk 2023 ini kemungkinan hanya akan mencapai Rp.300,1 triliun,” bebernya.
Aflah mengakui, tantangan penerimaan kepabeanan dan cukai dirasakan dari faktor penerimaan cukai dan bea keluar.
Sedangkan dalam APBN 2024, penerimaan kepabeanan dan cukai ditargetkan mencapai Rp. 321,0 triliun.
“Proyeksi impor masih meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang resilien dan aktivitas ekonomi juga cukup meyakinkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mampu mencapai 5,2 persen,” jelas Aflah.
Untuk mengejar target penerimaan cukai, DJBC mempersiapkan beberapa strategi.
Salah satunya adalah kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau atau CHT rata-rata 10 persen (SKT maks. 5 persen).
Langkah lainnya adalah implementasi pemungutan cukai atas produk Plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan atau MBDK, juga penguatan dan sinergi pengendalian rokok illegal.
Adapun pengendalikan konsumsi barang yg memiliki eksternalitas negatif.
Advertisement