Ketua DPR AS Kevin McCarthy Dimakzulkan, Pertama Kali dalam Sejarah

Kevin McCarthy mencatat sejarah sebagai ketua DPR AS pertama yang dimakzulkan.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 04 Okt 2023, 06:08 WIB
Kevin McCarthy, politisi AS dari Partai Republik. Dok: X @SpeakerMcCarthy

Liputan6.com, Washington DC - Pertama dalam sejarah, ketua DPR Amerika Serikat dilengserkan dari jabatannya. Hal itu terjadi kepada Kevin McCarthy dari Partai Republik. 

Kejatuhan politisi California justru terjadi karena rekan sesama Partai Republik yang meminta "mosi untuk mengosongkan" (motion to vacate) yang berujung pada lengsernya McCarthy.

Hasilnya, mosi itu lolos dengan perolehan 216 vs 210 suara.

Dilaporkan AP News, Rabu (3/10/2023), mosi itu diajukan oleh Matt Gaetz dari Florida. DPR AS sebetulnya sedang dikuasai Partai Republik, tetapi sejumlah politisi Republik memilih memberontak terhadap kepemimpinan McCarthy.

Kombinasi voting seluruh anggota Partai Demokrat dan sejumlah "pengkhianat" dari Partai Republik berhasil menjatuhkan Kevin McCarthy.  

Reputasi McCarthy tidak populer di kalangan Partai Demokrat. Dua masalah yang membuat McCarthy ribut dengan Demokrat adalah upayanya untuk menutup pemerintah (government shutdown) dengan menjegal anggaran, serta keinginannya untuk memakzulan Presiden Joe Biden. 

Siapa Pengganti McCarthy?

Usai Kevin McCarthy lengser, Patrick McHenry dari North Carolina menjadi ketua sementara (pro tempore). Politico menyebut bahwa McHenry merupakan sekutu dekat dari McCarthy. 

Masih belum jelas siapa yang akan benar-benar dipilih mayoritas anggota Partai Republik sebagai ketua DPR AS.

Selain Matt Gaetz, tujuh anggota Partai Republik yang mendukung pelengseran McCarthy adalah Andy Biggs (Arizona), Ken Buck (Colorado), Tim Burchett (Tennessee), Eli Crane (Arizona), Bob Good (Virginia), Nancy Mace (South Carolina), dan Matt Rosendale (Montana).


Pilpres AS 2024: Joe Biden Sebut Donald Trump Ancaman bagi Demokrasi

Donald Trump di pengadilan New York pada Senin 2 Oktober 2023. (AP Photo)

Beralih ke pemilu AS 2024, dihadapkan pada tingkat approval yang stagnan dan kekhawatiran akan usianya yang sudah lanjut, Joe Biden berusaha membangkitkan semangat para pendukungnya dan mereka yang masih ragu-ragu untuk memilihnya dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024.

Pada Kamis (28/9/2023), pria berusia 80 tahun itu dengan berapi-api mengatakan bahwa karakter dan masa depan AS terancam oleh nilai-nilai otoriter dari gerakan Make America Great Again (MAGA) yang diproklamirkan Donald Trump (77).

Biden dan Trump diprediksi akan kembali berhadapan dalam panggung utama Pilpres AS 2024.

"Ada sesuatu yang berbahaya sedang terjadi di AS," ujarnya di Phoenix, Arizona, seperti dilansir The Guardian, Minggu (1/10). "Ada gerakan ekstremis yang tidak memiliki keyakinan dasar demokrasi kita: gerakan MAGA ... Sejarah telah membawa kita ke masa ujian baru."

"Saat ini kita semua dihadapkan pada pertanyaan, apa yang akan kita lakukan untuk mempertahankan demokrasi kita?"

Biden menyampaikan pidatonya tersebut dalam sebuah acara yang digelar untuk mengenang mendiang politikus Republikan John McCain, yang kerap mengkritik Trump sebelum kematiannya pada tahun 2018.


Sekali Menyebut Trump

Berlatar belakang Capitol AS, anggota militer berjalan dengan perimeter keamanan didirikan sehari setelah massa pendukung Donald Trump menerobos Kongres AS, Washington, DC. Kamis (7/1/2021). Penyerbuan dilakukan saat para anggota Kongres hendak mengesahkan kemenangan Joe Biden. (AP Photo/Evan Vucci)

Presiden AS itu hanya sekali menyebut Trump dalam pidatonya yang berdurasi setengah jam, di mana dia membandingkan norma dan tradisi demokrasi dengan perilaku yang menjadi ciri pendahulunya.

"Demokrasi berarti kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan monarki, bukan kekuasaan uang, bukan kekuasaan yang berkuasa. Apapun partainya, itu berarti pemilu yang bebas dan adil, menghormati hasil, menang atau kalah. Artinya, Anda tidak bisa mencintai negara Anda hanya jika Anda menang," kata Biden.

"Demokrasi berarti menolak dan mencegah kekerasan politik. Terlepas dari partainya, kekerasan seperti itu tidak pernah, tidak pernah, dan tidak dapat diterima di AS. Itu tidak demokratis dan tidak boleh dinormalisasi untuk mendapatkan kekuasaan politik."

Pernyataan Biden diyakini merujuk pada serangan ke Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 oleh massa pendukung Trump.

Meskipun Trump gagal membatalkan hasil Pilpres AS 2020, Biden memperingatkan bahwa bahayanya belum berlalu.

"Saat ini, demokrasi masih dalam bahaya. Ini bukan hiperbola. Itu adalah kebenaran yang sederhana," tuturnya.

Ancaman kekerasan terus berlanjut, katanya, dan yang terbaru ditujukan kepada Jenderal Mark Milley, ketua kepala staf gabungan angkatan bersenjata AS.

Baru-baru Trump dalam sebuah unggahannya di media sosial menuduh Milley bersalah atas "pengkhianatan".

"Sejujurnya, para ekstremis MAGA ini tidak tahu apa yang mereka bicarakan," kata Biden.


Sorot Karakter Partai Republik

Presiden AS Joe Biden sesaat sebelum menaiki Air Force One di Pangkalan Gabungan Andrews di Maryland pada tanggal 7 September 2023. (SAUL LOEB/AFP)

Terkait hubungannya dengan McCain, Presiden Joe Biden menggambarkan hubungannya dengan McCain sebagai penghormatan yang pantas bagi demokrasi AS karena keduanya sering terlibat dalam kerja sama bipartisan ketika mereka menjadi senator, meskipun berasal dari partai yang berbeda. Sebuah ciri yang menurut Biden tidak dapat terjadi oleh karakter Partai Republik saat ini.

"Tidak ada keraguan bahwa Partai Republik saat ini digerakkan dan diintimidasi oleh ekstremis MAGA," ungkap Biden.

"Agenda ekstrem mereka, jika terlaksana, akan secara mendasar mengubah institusi demokrasi AS yang kita kenal."

Presiden Joe Biden dilaporkan secara teratur menggambarkan Donald Trump sebagai ancaman terhadap demokrasi di hadapan para pendonor di acara-acara pengumpulan dana untuk Pilpres AS 2024.

Pidatonya pada Kamis adalah pertama kalinya Presiden Biden menyampaikan hal tersebut secara terbuka sekaligus mengindikasikan bahwa dia bermaksud menjadikan tema tersebut sebagai isu utama kampanyenya.

Infografis Latar Belakang Kasus yang Jerat Donald Trump. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya