Liputan6.com, Jakarta Meski dilanda inflasi yang tinggi, Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengatakan bahwa dia masih optimis terhadap prospek perekonomian AS.
Yellen menyatakan dia yakin inflasi AS akan turun dalam jangka pendek dan pasar tenaga kerja sangat kuat.
Advertisement
"Saya sangat optimis terhadap prospek perekonomian AS. Jangka pendek: inflasi turun dalam konteks pasar tenaga kerja yang sangat kuat," kata Yellen pada acara CEO Fortune, dikutip dari US News, Rabu (4/10/2023).
"Sementara untuk jangka menengah, kami sekarang terlibat dalam program investasi yang sangat besar untuk memperkuat perekonomian, untuk meningkatkan kapasitas produktif kami," ujarnya.
Produk domestik bruto (PDB) AS masih tumbuh dengan kecepatan yang jauh di atas angka pertumbuhan non-inflasi yang dianggap oleh pejabat Federal Reserve, yaitu sekitar 1,8 persen, yang sering disebut sebagai tingkat pertumbuhan "potensial".
PDB AS meningkat pada tingkat tahunan sebesar 2,4 persen pada kuartal kedua 2023, dan beberapa perkiraan menyebutkan laju pertumbuhan pada kuartal saat ini lebih dari dua kali lipatnya.
Menteri Keuangan AS mengatakan ia menyambut langkah Kongres meloloskan kesepakatan pada akhir pekan yang mencegah penutupan pemerintah.
Yellen sebelumnya mengingatkan bahwa penutupan pemerintahan AS akan menjadi “faktor risiko” terhadap potensi resesi ekonomi.
Dia juga mengatakan suku bunga akan kembali ke tingkat normal dalam jangka menengah.
Dalam komentarnya terkait teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), Yellen mengatakan kemajuan di bidang tersebut luar biasa pesat dan dapat membuat perbedaan signifikan dalam produktivitas.
komentar Yellen usai Kunjungan ke China
Pada bulan Juli, Yellen mengunjungi China. Kunjungannya merupakan salah satu dari sejumlah pejabat penting di pemerintahan Presiden Joe Biden yang melakukan kunjungan serupa dalam beberapa bulan terakhir.
"Saya pikir kita memiliki ketergantungan yang berlebihan pada China di bidang-bidang yang sangat penting bagi kesejahteraan nasional kita," ucap Yellen dalam komentarnya, seraya menambahkan bahwa AS perlu mengurangi risiko tersebut tanpa sepenuhnya melepaskan diri dari China.
"Kedua negara sepakat untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka," katanya.
Advertisement
Perekonomian China Loyo Dibanding AS, Ekonomi Indonesia Terancam?
Bank Indonesia (BI) menyampaikan kondisi ekonomi global khususnya dua negara adidaya yakni China dan Amerika Serikat yang menjadi mitra perdagangan utama Indonesia.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Erwindo Kolopaking, menyebut ekonomi China saat ini dalam kondisi yang loyo dibandingkan ekonomi Amerika Serikat yang masih cukup baik di tengah ketidakpastian.
"Ekonomi China ini tidak sebaik yang kita bayangkan," kata Erwindo dalam acara pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Minggu (10/9/2023).
Erwindo mengatakan, padahal pelaku ekonomi sangat meyakini pada awal tahun ini akan ada stimulus-stimulus tambahan dari China. Namun, ternyata kondisinya kurang baik, hal itu dikarenakan masih terdapat utang di sektor rumah tangga yang tinggi serta konsumsi dan kinerja properti yang memburuk.
Menurutnya, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kata Erwindo, sebetulnya China mendorong infrastruktur yang baik, mulai dari jaln maupun bangunan dan lainnya. Namun, ketika China mencoba mendorong ke sektor konsumsi hasilnya belum mampu sepenuhnya menopang perekonomian domestik.
Alhasil, saat perekonomian China melambat maka akan berdampak terhadap negara-negara sekitar, termasuk Indonesia. Sebab, China merupakan mitra dagang Indonesia.
"Sehingga ketika perekonomian China melambat ini berdampak signfikan kepada negara-negara sekitar salah satunya Indonesia," ujarnya.
Ekonomi Amerika Serikat
Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat justru lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Hal itu dikarenakan, stimulus yang diberikan pada saat masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat memiliki bekal yang cukup banyak untuk menopang konsumsi. Hal itulah yang membuat inflasi di Amerika Serikat stabi di atas target The Fed.
"Akibatnya The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga yang tadinya di kuartal III tapi sepertinya akan diundur pada kuartal IV 2023. Ini juga akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan," kata Erwindo.
Lebih lanjut, dengan akan berkahirnya tahun fiskal Amerika Serikat pada kuartal III-2023, dinilai akan mendorong pasar keuangan sedikit bergejolak.
"Pada intinya pertumbuhan ekonomi terjaga, PMI globalnya juga relatif membaik, penjualan eceran global di AS juga masih tinggi karena memang sisi permintaan di Amerika sangat kuat," pungkasnya.
Advertisement