Liputan6.com, Jakarta - Kuil Itsukushima di Kota Hatsukaichi, Prefektur Hiroshima, Jepang, telah menjadi salah satu destinasi wisata paling populer di negara tersebut selama bertahun-tahun. Kota tersebut telah mendapatkan banyak manfaat dari popularitas kuil tersebut dalam hal perekonomian dan ketenaran.
Kuil ini merupakan bagian dari kompleks Shinto yang telah berdiri selama 1.400 tahun dan diakui sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Keunikan estetikanya menjadikan kuil ini sebagai salah satu destinasi wisata terkenal di Jepang, yang bahkan sempat didatangi oleh Presiden AS Joe Biden beberapa waktu lalu.
Advertisement
Namun, ketenaran ini juga membawa dampak negatif. Melansir CNN pada Selasa, 3 Oktober 2023, Kota Hatsukaichi menghadapi masalah overtourism dan sebagai respons, pemerintah setempat memutuskan untuk mengenakan pajak bagi para wisatawan. Penerapan pajak ini seharusnya sudah dilakukan sejak 2021 namun terhambat akibat pandemi.
Kini, setiap orang yang mengunjungi Miyajima, gerbang masuk ke kuil ini, harus membayar 100 yen (sekitar Rp10 ribu). Bagi mereka yang berencana berkunjung beberapa kali, tersedia tiket tahunan seharga 500 yen (Rp52 ribu).
Pendapatan dari pajak ini akan dialokasikan untuk pembangunan dan peningkatan fasilitas wisata, termasuk renovasi kamar mandi umum, pemeliharaan struktur kuil, serta inisiatif ekowisata di wilayah tersebut.
"Kami merasa penting untuk menjamin kesejahteraan penduduk lokal sambil menyediakan suasana yang menyenangkan bagi para wisatawan," ujar Shunji Mukai, pejabat dari departemen perencanaan kota di Jepang. "Kami ingin para wisatawan berperan aktif bersama kami dalam menjaga dan melindungi Miyajima, memikul tanggung jawab bersama."
Misi Keberlanjutan dan Pelestarian Miyajima
Inisiatif "Another Thousand Years" pun dicanangkan sebagai misi untuk memastikan keberlanjutan dan pelestarian Miyajima dan Kuil Itsukushima. "Kami menginginkan agar pengunjung di masa yang akan datang turut serta dalam menjaga pulau ini, sama seperti peran yang dimainkan oleh masyarakat lokal," kata pernyataan misi tersebut yang tertera di laman resmi Miyajima.
"Mari kita ambil langkah sekarang dengan penuh kebanggaan untuk menjaga pulau suci ini. Kami berkomitmen untuk merawatnya untuk ribuan tahun mendatang."
Selain kuil ini, Gunung Fuji di Jepang ternyata tidak terkecuali dari fenomena overtourism. Dengan jutaan pengunjung setiap tahun dan banyaknya bus, truk pasokan, toko mi, serta magnet kulkas, Gunung Fuji bukan lagi tempat ziarah yang damai seperti dulu.
Menurut laporan AFP, dikutip dari CNA, Sabtu, 9 September 2023, pihak berwenang pun mulai bertindak, menyebut bahwa jumlah pendaki gunung berapi terkenal di dunia itu, baik siang maupun malam, berada di angka berbahaya dan "memalukan" secara ekologis. "Gunung Fuji berteriak," kata gubernur wilayah setempat, pekan lalu.
Advertisement
Meningkatnya Risiko Kecelakaan
Jumlah pengunjung meningkat lebih dari dua kali lipat antara 2012 dan 2019 jadi 5,1 juta, dan itu hanya terjadi di prefektur Yamanashi, titik awal pendakian. Arus orang berjalan dengan susah payah melewati pasir vulkanik hitam dalam perjalanan mendaki gunung setinggi 3.776 meter di atas permukaan laut itu tidak hanya terlihat di siang hari. Pada malam hari, antrean panjang orang untuk melihat matahari terbit juga tampak.
Titik awal utama pendakian Gunung Fuji adalah tempat parkir mobil yang dapat dicapai dengan taksi atau bus yang memakan waktu beberapa jam dari Tokyo, sekitar 100 km jauhnya. Di lereng Gunung Fuji, pengunjung disambut kompleks restoran dan toko yang menjual cinderamata, serta makanan ringan dan minuman untuk pejalan kaki sebelum berangkat. Mereka menggunakan tenaga generator diesel dan ribuan liter air yang harus diangkut dengan truk.
Truk juga membuang semua sampah. "Saya melihat banyak sisa makanan dan botol minuman kosong berserakan di sekitar area cuci tangan di toilet," keluh pendaki Jepang Yuzuki Uemura (28).
Masatake Izumi, seorang pejabat setempat, mengatakan, tingginya jumlah pendaki meningkatkan risiko kecelakaan. Setidaknya satu orang meninggal selama musim ini. "Beberapa orang yang mendaki pada malam hari "mengalami hipotermia dan harus dibawa kembali ke pusat pertolongan pertama," katanya pada AFP.
Mengendalikan Jumlah Pengunjung
Kendati demikian, beberapa orang tidak menyadari betapa sulitnya pendakian menuju puncak Gunung Fuji yang memakan waktu lima hingga enam jam. Tercatat bahwa semakin tinggi, kadar oksigen lebih rendah dan cuaca dapat berubah dengan cepat.
"Di sana hampir musim dingin, sangat dingin," kata Rasyidah Hanan, seorang pendaki berusia 30 tahun dari Malaysia pada AFP saat turun. "Orang-orang harus disaring sedikit karena beberapa orang belum siap mendaki Gunung Fuji. Mereka terlihat mengenakan pakaian yang sangat tipis. Beberapa dari mereka benar-benar terlihat sakit."
Ketika jumlah wisatawan kembali ke tingkat sebelum pandemi, bukan hanya Gunung Fuji yang membuat pihak berwenang khawatir. Minggu ini, para menteri Jepang bertemu untuk membahas langkah-langkah mengatasi apa yang Kenji Hamamoto, pejabat senior Badan Pariwisata Jepang, sebut sebagai "kepadatan dan pelanggaran etiket" di lokasi-lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan.
Untuk Gunung Fuji, pihak berwenang mengumumkan bulan lalu bahwa mereka akan menerapkan tindakan pengendalian massa untuk pertama kalinya jika jalur pendakian jadi "terlalu sibuk."
Advertisement