Terancam Gulung Tikar, Pengusaha Rokok Curhat Begini

Saat ini jumlah industri hasil tembakau di Jawa Timur mencapai 538 industri dengan jumlah buruh sebanyak 186 ribu atau 60 persen terhadap nasional yang mencapai 360 ribu tenaga kerja.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Okt 2023, 16:40 WIB
Saat ini jumlah industri hasil tembakau di Jawa Timur mencapai 538 industri dengan jumlah buruh sebanyak 186 ribu atau 60 persen terhadap nasional yang mencapai 360 ribu tenaga kerja. (AFP Photo/Yamil Lage)

Liputan6.com, Jakarta Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya meminta pemerintah berhati-hati dalam membahas rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait pengamanan zat adiktif produk tembakau. Pemerintah juga diminta untuk melibatkan pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT) nasional sebagai mitra pemerintah dalam memberikan masukan dalam pembahasan yang transparan dan akuntabel.

"Selain itu, dapat mempertimbangkan kearifan lokal, besaran ekonomi, dan penerimaan negara, serta serapan tenaga kerja dari IHT nasional beserta industri terkait lainnya," katanya dikutip dari Antara, Rabu (5/10/2023).

Sulami menegaskan apabila pemerintah memaksakan dan tetap mengimplementasikan RPP Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, maka bisa dipastikan akan ada banyak IHT nasional yang bakal mengalami gulung tikar.

Dikatakannya, saat ini jumlah IHT di Jawa Timur mencapai 538 industri dengan jumlah buruh sebanyak 186 ribu atau 60 persen terhadap nasional yang mencapai 360 ribu tenaga kerja.

Adapun jumlah produksi rokok saat ini secara nasional sebesar 364 miliar batang per tahun.

"Dengan perjalanan waktu jumlah tersebut turun terus, pasti akan terjadi gulung tikar," katanya.

Di lain sisi, kata Sulami, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah sangat tepat dalam hal pengendalian. 

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan dalam RPP terkait pengaturan produk tembakau, sinergi antarkementerian dan lembaga adalah hal yang utama.

Menurut dia, dalam pembahasan aturan pengendalian, ada 2 instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait.

"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Nirwala juga mengatakan sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 Tahun 2012.

 

 

 


Industri Kretek Serap Banyak Tenaga Kerja, Bahaya Kalau Sampai Gulung Tikar

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa mengatakan industri sigaret kretek tangan (SKT) harus terus dijaga dan dipertahankan karena menyerap banyak tenaga kerja formal.

Perlindungan bagi industri SKT dan tenaga kerja yang diserap merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Kabupaten Sleman (Pemkab Sleman) mengingat Sleman merupakan salah satu rumah bagi industri tersebut, seperti yang terdapat di Berbah.

“(Industri) sigaret kretek tangan seperti yang di Berbah itu memang perlu dipertahankan karena menyerap banyak tenaga kerja, terutama para perempuan yang bekerja sebagai pelinting rokok. Itu menghidupi banyak orang di situ,” katanya dikutip Kamis (5/10/2023).

Danang mengatakan dengan kontribusinya yang tinggi terhadap serapan tenaga kerja, pihaknya berkomitmen untuk selalu mendukung keberlangsungan industri SKT.

“Industri SKT itu dipertahankan karena ada pemberdayaan masyarakat sebagai tenaga kerja. Itu prinsipnya sebenarnya,” ujarnya.

Pemberdayaan tersebut ditujukan bagi para karyawan pelinting rokok. Danang menyebut ada ribuan tenaga kerja SKT di Sleman. Tidak hanya memberdayakan pekerjanya, kehadiran industri SKT juga turut memberikan efek ganda bagi perekonomian lokal di sekitar area pabrik. Misalnya warung makanan dan minuman, toko kelontong, angkutan umum, dan sebagainya.

“Efek dominonya kan di situ ada pabrik, jadi pekerja itu kan kalau istirahat, itu kan pasti membutuhkan makan, minum dan lain sebagainya,” katanya.

Itulah sebabnya Danang memastikan bahwa dari sisi kebijakan, pemerintah daerah akan mengupayakan untuk menjaga sektor padat karya ini dan kesejahteraan para tenaga kerja di dalamnya. ”Dana bagi hasil cukai hasil tembakaunya juga kita kembalikan kepada para pekerja pabrik rokok di Sleman, termasuk juga buruh tani tembakau untuk meningkatkan kesejahteraan mereka,” imbuhnya.

 

 


Peran Industri SKT

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Dia juga menyebut peran industri SKT dalam mengatasi pengangguran kian memantapkan sikap Pemkab Sleman untuk melindungi sektor tersebut.

”Sektor padat karya itu ribuan (pekerjanya), kalau kita tutup akan ada banyak pengangguran nanti di Sleman. Apalagi di industri SKT kan priotitas utama pekerjanya adalah penduduk Sleman. Makanya saya sebenarnya sangat setuju dengan SKT,” jelasnya.

Untuk itu, Danang mengatakan bahwa pihaknya akan mendorong agar industri SKT tetap berproduksi secara kontinu dengan adanya dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah.

”Kontinuitasnya dijaga agar bisa memberdayakan masyarakat setiap hari. Agar tidak ada masyarakat yang di-PHK. Kalau ada usaha-usaha yang melibatkan masyarakat tenaga kerja banyak, harus kita dukung,” pungkasnya.


Mampukah Penerimaan Cukai Rokok 2023 Tembus Target?

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) menyebutkan bahwa fenomena peralihan konsumsi dari rokok golongan tertinggi ke rokok murah (downtrading) menjadi penyebab penurunan penerimaan cukai pada 2023.

DJBC Kemenkeu mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hingga akhir Agustus 2023 yaitu sebesar Rp126,8 triliun turun atau turun 5,82 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022.

Penerimaan sepanjang tahun 2023 pun diperkirakan tidak akan mencapai target APBN 2023 sebesar Rp232,5 triliun.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto mengungkap pihaknya memperkirakan realisasi penerimaan CHT pada akhir 2023 diperkirakan bakal mencapai Rp218,1 triliun atau hanya 93,8 persen dari target. Apabila benar terjadi, ini adalah rekor baru di mana sebelumnya realisasi penerimaan CHT selalu berhasil melampaui target yang dicanangkan dalam APBN.

Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Jawa Timur I Untung Basuki mengatakan downtrading memang menjadi tantangan bagi Bea Cukai, khususnya dalam optimalisasi penerimaan CHT. Bahkan, Untung menyebut bahwa fenomena ini sangat terasa di Jawa Timur yang pada dasarnya merupakan penyumbang penerimaan CHT terbesar di Indonesia.

“Karena golongan I sudah terlalu tinggi, maka mereka (masyarakat) cenderung beralih ke golongan II yang tarif cukainya relatif lebih rendah,” ujarnya.

Pada akhirnya, menurut Untung, hal ini berimbas terhadap penerimaan CHT. Sebab, dengan tarif yang lebih tinggi, maka penurunan konsumsi rokok golongan I akan secara langsung menggerus pendapatan negara dari CHT secara signifikan jika dibandingkan dengan golongan II dan III.

 

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya