Liputan6.com, Jakarta - Tom Sharkey, seorang profesor terkemuka di Plant Resilience Institute di Michigan State University, mengajukan pertanyaan yang terlihat sederhana namun seakan memberikan saran, "Haruskah kita menebang semua pohon oak?"
Sharkey juga bekerja di MSU-Department of Energy Plant Research Laboratory dan di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler.
Advertisement
Melansir dari Phys.org, Selasa (5/12/2023), penting untuk diingat bahwa Sharkey sebenarnya tidak serius mengusulkan untuk menebang semua pohon oak. Namun, pertanyaannya merupakan pertanyaan yang serius, dipicu oleh hasil penelitian terbaru timnya yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Penelitian menunjukkan bahwa di bumi yang semakin hangat, tanaman seperti pohon oak dan poplar akan mengeluarkan lebih banyak senyawa yang memperburuk kualitas udara, ikut berkontribusi pada masalah partikel terlarut dan ozon di atmosfer yang lebih rendah.
Namun, yang menarik adalah bahwa senyawa yang sama, yang disebut isoprena, juga bisa memperbaiki udara bersih dan membuat tanaman lebih kuat menghadapi tekanan seperti serangga dan cuaca panas.
"Apakah kita ingin tanaman mengeluarkan lebih banyak isoprena untuk menjadi lebih tahan, ataukah kita ingin mereka mengeluarkan lebih sedikit sehingga tidak memperburuk polusi udara? Apa keputusan yang tepat?" tanya Sharkey.
"Itulah pertanyaan pokok yang mendorong penelitian ini. Semakin kita memahaminya, semakin efektif kita bisa menjawabnya."
Fakta Menarik tentang Isoprena yang Jarang Diketahui
Sejak tahun 1970-an, Sharkey telah mempelajari isoprena dan bagaimana tanaman melepaskannya, saat masih dalam masa studi doktoralnya di Michigan State University.
Isoprena yang dilepaskan oleh tanaman merupakan hidrokarbon terbesar kedua yang dipancarkan di Bumi, setelah emisi gas metana dari aktivitas manusia. Namun, menurut Sharkey, sebagian besar orang belum pernah mendengar tentangnya.
"Ini sudah berada di belakang layar untuk waktu yang lama, tetapi ini sungguh penting," ujarnya.
Isoprena menjadi sedikit terkenal pada tahun 1980-an, ketika presiden saat itu, Ronald Reagan, keliru menyatakan bahwa pohon menghasilkan lebih banyak polusi udara daripada mobil. Namun, ada benih kebenaran dalam pernyataan tersebut.
Isoprena berinteraksi dengan senyawa nitrogen oksida yang ditemukan dalam polusi udara yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara dan mesin pembakaran dalam kendaraan. Reaksi ini menciptakan ozon, aerosol, dan produk sampingan lain yang tidak sehat baik bagi manusia maupun tanaman.
"Ada fenomena menarik di mana udara bergerak melintasi kota, menyerap nitrogen oksida, kemudian melintasi hutan dan menciptakan campuran beracun," jelas Sharkey. "Kualitas udara di sebelah hilir kota seringkali lebih buruk daripada di dalam kota itu sendiri."
Advertisement
Efek CO2 dan Suhu pada Emisi Isoprena Tanaman
Saat ini, Sharkey dan timnya tengah berupaya memahami lebih dalam cara tanaman menggunakan proses biomolekuler untuk menghasilkan isoprena. Para peneliti tertarik pada bagaimana prosess-proses tersebut memengaruhi lingkungan, khususnya dalam menghadapi perubahan iklim.
Sebelum tim ini mempublikasikan penelitian baru, para peneliti memahami bahwa beberapa tanaman menghasilkan isoprena selama proses fotosintesis. Mereka juga mengerti bahwa perubahan yang terjadi di bumi ini mempengaruhi produksi isoprena dengan cara yang saling bersaing.
Jadi, lebih banyak karbon dioksida di udara membuat produksi isoprena turun, sementara suhu yang lebih tinggi meningkatkan produksinya. Pertanyaan utama di balik penelitian baru tim MSU adalah, antara kedua faktor ini, yang mana yang akan memiliki pengaruh yang lebih besar.
"Kami mencari titik pengaturan dalam jalur biosintesis isoprena di bawah konsentrasi karbon dioksida tinggi," kata Abira Sahu, penulis utama laporan baru dan peneliti pascadoktoral di kelompok penelitian Sharkey.
"Ilmuwan telah mencoba mencari ini dalam waktu yang lama," tambah Sahu. "Dan akhirnya, kami memiliki jawabannya."
"Bagi para ahli biologi di sana, inti dari makalah ini adalah bahwa kami mengidentifikasi reaksi spesifik yang melambat akibat karbon dioksida, CO2," catat Sharkey.
"Dengan itu, kami dapat mengatakan bahwa pengaruh suhu lebih dominan dibandingkan pengaruh CO2," katanya. "Pada suhu 95 derajat Fahrenheit (35 derajat Celsius) efek CO2 hampir tidak berpengaruh. Isoprena mengalir keluar dengan sangat cepat."
Sahu menyebutkan bahwa dalam uji coba dengan menggunakan tanaman poplar, tim menemukan bahwa ketika suhu daun naik sebanyak 10 derajat Celsius, emisi isoprena meningkat lebih dari sepuluh kali lipat.
Upaya Pengurangan Emisi Isoprena
Mohammad Mostofa, seorang profesor asisten yang berkolaborasi dengan Tom Sharkey di laboratorium, mengungkapkan bahwa bekerja bersama Tom membuatnya menyadari bahwa tanaman memang memproduksi banyak isoprena. Mostofa juga merupakan salah satu penulis laporan baru tersebut.
Temuan ini akan memungkinkan para peneliti untuk lebih akurat memperkirakan seberapa banyak isoprena yang akan dikeluarkan oleh tanaman di masa mendatang, serta mempersiapkan diri untuk dampak yang mungkin timbul.
Selain itu, para peneliti berharap bahwa penemuan ini juga dapat memberikan informasi penting bagi masyarakat dan komunitas dalam membuat keputusan di saat yang bersamaan.
"Kita bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik," kata Mostofa.
Di lokasi seperti MSU, yang memiliki lebih dari 20.000 pohon, hal ini bisa berarti mengurangi penanaman pohon ek secara berlebihan di masa depan untuk mengontrol emisi isoprena.
Mengenai tindakan terhadap pohon-pohon yang sudah mengeluarkan isoprena, Sharkey memiliki gagasan yang tidak melibatkan penebangan.
"Saran saya adalah kita harus melakukan kontrol yang lebih baik terhadap polusi nitrogen oksida," katanya.
Advertisement