Nestapa di Sungai Pisang, Antara Abrasi dan Bertahan Hidup

Bukan hanya Jakarta yang terancam tenggelam, Kota Padang juga mengalami kehilangan garis pantai 21-49,4 meter per tahun.

oleh Novia Harlina diperbarui 10 Okt 2023, 00:00 WIB
Kondisi rumah warga di Sungai Pisang, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang yang terdampak abrasi. Sumur yang dahulunya berada di bagian dalam rumah kini sudah terendam air laut. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Padang - Di sebuah warung di pinggir pantai Sungai Pisang, Kota Padang, Irwan Bahar duduk menghadap laut. Jauh sekali pandangannya sambil sesekali menyeka keringat akibat cuaca yang cukup panas hari itu.

Sambil melepas topi putihnya, Irwan tersenyum tipis kala ditanya sejak kapan abrasi menghantam rumahnya. Lalu ia menunjuk sebuah sumur yang berada sekitar 10 meter dari bibir pantai.

"Itu adalah sumur yang dulunya ada di bagian dalam rumah saya menyatu dengan dapur, sekarang sumur itu sudah berada di dalam laut," kata warga Sungai Pisang, Kota Padang Sumatera Barat, Irwan Bahar kepada Liputan6.com, 12 September 2023.

Usai menyesap kopi yang terhidang di depannya, Irwan bercerita, sumur itu masih bisa ia gunakan bersama keluarganya sepuluh tahun lalu.

Namun kemudian abrasi mengikis rumahnya dari tahun ke tahun. Dalam kurun 10 tahun terakhir, rumah Irwan sudah tiga kali direnovasi dan digeser ke bagian depan atau halaman.

Di RW tempatnya tinggal, terdapat sekitar 58 KK, kemudian rumah yang terdampak abrasi sekitar 12 rumah, dan dua rumah di antaranya sudah habis.

"Bagian depan rumah saya yang sekarang, itu adalah halaman dulunya, kalau sekarang sudah tibak bisa digeser lagi ke arah halaman sebab di depan rumah saya sekarang itu jalan," ujarnya.

Irwan yang sehari-hari bekerja mengantar wisatawan untuk berwisata ke pulau-pulau yang ada di kawasan Sungai Pisang itu menyampaikan, jika sedang abrasi, pekerjaannya menjadi terganggu karena sibuk mengurus rumahnya.

"Sementara kebutuhan hari ke hari tetap berjalan, anak saya sekolah belum lagi rumah yang habis kalau abrasi tiba," jelas Irwan.

Irwan menilai kondisi yang terjadi sekarang adalah keterlambatan pemerintah menangani dan mencari solusi abrasi, menurutnya rumah masyarakat tidak akan begini kalau sedari dulu dipasang batu grip di sepanjang pantai tempat warga bermukim.

"Pemerintah kini membangun rumah nelayan, sekitar tiga kilo meter dari sini, namun menurut saya itu bukan solusi," ucapnya.

Menurutnya masyarakat tidak mau meninggalkan rumah dan tanahnya di pinggir pantai itu lalu pindah ke rumah nelayan yang dibangun pemerintah karena rumah nelayan itu tidak jadi hak milik, hanya sekadar dihuni saja.

"Kalau di sini hak milik kami, di sini dari nenek moyang kami tinggal di pantai ini," kata Irwan.

Sesekali Irwan menggelengkan kepala, menandakan ia tidak akan pindah ke rumah nelayan. Ia hanya berharap ada solusi yang lebih nyata dari pemerintah, seperti dipasangnya batu penahan air laut agar abrasi bisa tertahan dan tak mengenai rumahnya.

"Jikapun pindah ke rumah nelayan, saya berharap ada status yang jelas atas rumah tersebut, tidak hanya sekadar hak pakai sekian tahun," ucapnya.

Sepria Ayulanda, perempuan 36 tahun yang juga bermukim di Sungai Pisang sambil berjualan nasi dan lauk di kawasan pantai Sungai Pisang menceritakan hal senada. Empat bulan terakhir dia baru memulai kembali usahanya setelah warung dan rumahnya habis dihantam abrasi dan juga banjir bandang yang terjadi awal 2023 ini.

"Saya usahakann untuk mencari modal, bahkan uang untuk angsuran sepeda motor saya pakai untuk mulai kembali berjualan di warung ini," kata Ayu.

Ayu mengingat-ingat, dulu sebelum habis, rumahnya terdapat tiga kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur.

Namun kini hanya satu kamar tidur dan dapur seadanya serta satu ruang setengah terbuka untuk berjualan. Sementara kamar mandi hanya bisa untuk mandi dan bersih-bersih. Lokasi rumah dan warungnya sekarang ini dulunya adalah halaman.

"Untuk keperluan lain di kamar mandi kami menumpang ke rumah orang tua suami saya," ujar Ayu.

Bukan hanya fisik yang diderita Ayu namun juga mentalnya. Bagaimana tidak, sembari mengurus rumahnya, Ayu dan suaminya juga mesti memikirkan kesehatan dan sekolah anaknya yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar.

"Kalau seperti mainannya yang hilang atau alat-alat lainnya, itu bisa diakali, namun saat abrasi itu kami kesulitan memenuhi gizinya, pendapatan juga kacau balau karena kami menggantungkan hidup dari warung ini," jelas Ayu dengan mata berkaca-kaca.

Ayu bercerita, saat abrasi, anak-anak di Sungai Pisang terpaksa tidak masuk sekolah karena perlengkapan seperti seragam, sepatu dan buku tak bisa dipakai karena basah tergenang air laut.

"Kondisi ini terus terjadi berulang setiap kali abrasi datang," katanya.

Bahkan anak-anak di kawasan itu juga turut membantu warga bergotong royong membuat penahan ombak berupa karung goni yang diisi pasir dan disusun di bagian belakang rumah warga.

Ia mengaku setiap abrasi datang, bantuan untuk anak-anak di kawasan itu juga tidak ada dari pihak terkait. Menurutnya jika ada bantuan untuk memenuhi gizi anak dan bantuan keperluan sekolah, maka akan sangat membantu bagi para orang tua di sana.

 

 

Tak Terpenuhinya Hak Anak

Kondisi rumah warga di Sungai Pisang, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang yang terdampak abrasi. Sumur yang dahulunya berada di bagian dalam rumah kini sudah terendam air laut. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Manager Gugah Nurani Perempuan (GNI), Rinawati abrasi yang terjadi di pesisir pantai Kota Padang berpotensi merampas hak anak untuk mendapat gizi yang layak karena terganggunya perekonomian orang tua mereka.

"Di samping itu juga berpotensi terganggunya hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak," ucap Rinawati.

Abrasi ini, jelasnya, mengakibatkan para orang tua sulit memenuhi kebutuhan anak mulai dari gizi dengan tak terpenuhinya asupan zat besi, asam folat, zinc, vitamin A, vitamin D.

"Perubahan iklim ini nyata sudah dirasakan anak-anak di pesisir pantai Kota Padang," katanya.

Sementara Camat Bungus Teluk Kabung, Harnoldi mengatakan persoalan abrasi di Sungai Pisang memang sudah terjadi bertahun-tahun terutama ketika purnama.

"Masyarakat sudah diminta pindah dari lokasi rumah mereka yang sekarang, namun ada yang tidak mau dan bertahan di sana, jadi ya mau bagaimana lagi," katanya.

Akibatnya, lanjut Harnoldi alam saja yang menyeleksi sampai mereka mau pindah dari rumahnya ke rumah nelayan yang sudah dibangun pemerintah.

"Masyarakat memang haknya hanya menempati rumah itu, tapi persoalan hak milik rumah nelayan itu bukan kewenangan saya," sebutnya.

Terkait bantuan kepada masyarakat yang terdampak abrasi, pihaknya mengklaim memberikan bantuan sembako ketika tanggap darurat.

"Kalau dibutuhkan kami bantu, tapi untuk berbuat lebih ya mau bagaimana lagi, artinya mereka harus berpikir untuk pindah ke rumah nelayan itu," ucapnya.

 


Kehilangan Garis Pantai

Kondisi rumah warga di Sungai Pisang, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang yang terdampak abrasi. Sumur yang dahulunya berada di bagian dalam rumah kini sudah terendam air laut. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kota Padang mengalami kehilangan garis pantai 21-49,4 meter per tahun.

Kehilangan itu terjadi sepanjang 24,7 kilometer dari 74 kilometer garis pantai di Padang pada 2009-2018. Selain itu, ada kenaikan air laut 0,37 cm per tahun. Garis pantai Padang juga mengalami kemunduran enam meter per tahun ke arah darat.

Walikota Hendri Septa mengatakan saat ini Pemerintah Kota Padang terus mengupayakan pemasangan batu grip di kawasan yang terdampak abrasi di Padang.

"Kita juga minta bantuan kepada pemerintah pusat khususnya Kementerian PUPR untuk pemasangan batu penahan ombak ini," ujarnya.

Sedangkan Kepala Research Center for Climate Change, Universitas Negeri Padang, Dr. Nofi Yendri Sudiar menyampaikan perubahan iklim yang dirasakan hari ini merupakan dampak dari perilaku manusia yang terjadi puluhan tahun.

"Untuk Kota Padang, abrasi yang cukup parah itu dari daerah Bungus Teluk Kabung sampai Pesisir Selatan," katanya.

Menurutnya solusi jangka panjang yang lebih efektif yakni dengan menanam mangrove. Sedangkan pemasangan batu grid tidak seefektif mangrove.

Pada 2005, kata Nofi, terdapat lebih 100 hektar hutan mangrove, tetapi tahun 2022 berkurang menjadi 80 hektar.

"Banyak ditebang juga sepertinya, ini merupakan tugas bersama untuk mengedukasi masyarakat terkait meminimalisir perubahan iklim," ia menambahkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya