Liputan6.com, Ouagadougou - Di Burkina Faso bagian utara, sebuah serangan keji melanda saat jamaah sedang menjalankan ibadah di Masjid Agung kota Salmossi.
Peristiwa tragis ini terjadi pada Jumat malam, tanggal 11 Oktober 2019, mengakibatkan 16 korban tewas dan mendorong penduduk setempat untuk panik dan melarikan diri.
Advertisement
Melansir dari VOA, serangan brutal ini mengungkapkan tantangan yang dihadapi Burkina Faso dalam menghadapi ancaman dari kelompok militan yang semakin meresahkan.
Menurut laporan sumber keamanan, 13 orang tewas di tempat kejadian, sementara tiga lainnya meninggal akibat luka-luka mereka, dengan dua di antaranya dalam kondisi kritis.
Warga dari kota terdekat, Gorom-Gorom, menggambarkan suasana ketakutan di wilayah tersebut, meskipun pasukan militer telah dikerahkan setelah serangan mematikan itu.
Namun, walaupun sering kali menjadi target serangan kelompok militan, banyak warga Burkina Faso menentang kehadiran pasukan asing di wilayah mereka, terutama pasukan dari mantan penguasa kolonial mereka, Prancis.
Mengikuti peristiwa tragis ini, sekitar 1.000 orang melakukan unjuk rasa di ibu kota, Ouagadougou, pada hari Sabtu berikutnya, untuk mengutuk terorisme dan kehadiran pangkalan militer asing di Afrika.
Sekolah-sekolah Ditutup
Salah satu penyelenggara aksi tersebut, Gabin Korbeogo, mengungkapkan bahwa terorisme telah menjadi alasan utama bagi negara-negara asing untuk mendirikan pangkalan militer di Burkina Faso, namun meskipun kehadiran besar tersebut, kelompok teroris semakin kuat.
Burkina Faso, sebuah negara di Afrika Barat yang sebelum tahun 2015 relatif aman, kini telah menjadi sasaran kelompok militan.
Kelompok-kelompok ini, baik yang terkait dengan Al-Qaida maupun Negara Islam, telah menyusup dari utara ke timur, bahkan mengancam perbatasan selatan dan barat Burkina Faso.
Mereka menggunakan taktik gerilya, ranjau jalan, serta serangan bom bunuh diri, yang telah mengakibatkan hampir 600 kematian menurut laporan AFP.
Namun, kelompok masyarakat sipil menilai angka tersebut lebih tinggi, mencapai lebih dari 1.000 kematian, dengan serangan hampir setiap hari.
Pasukan pertahanan dan keamanan Burkina Faso menghadapi kendala dalam hal peralatan dan pelatihan, yang membuat mereka kesulitan mengatasi eskalasi kekerasan ini.
Prancis memiliki pasukan sekitar 200 personel di Burkina Faso dan sering campur tangan melalui Operasi Barkhane, operasi regional mereka.
Akibat dari situasi ini juga mengarah pada hampir 500.000 orang yang mengungsi dari rumah mereka, menurut Badan Pengungsi PBB, sementara krisis kemanusiaan ini memengaruhi lebih dari 1,5 juta orang.
Sekitar 3.000 sekolah telah ditutup, dan dampaknya terasa dalam perekonomian yang didominasi oleh pedesaan, mengganggu perdagangan dan pasar.
Advertisement
Penyerangan di Burkina Faso pada Tahun 2021
Beberapa tahun kemudian, serangan kembali terjadi di Burkina Faso. Salah satunya pada tahun 2021.
41 orang dilaporkan tewas dalam penyergapan yang dilakukan oleh teroris bersenjata terhadap kelompok pejuang sipil dari the homeland defense volunteers (VDP), di Provinsi Lorum utara Burkina Faso.
Insiden mengerikan tersebut dikonfirmasi oleh juru bicara pemerintah Alkassoum Maiga dalam sebuah pernyataan, demikian dikutip dari laman Xinhua, Senin (27/12/2021).
Menurut sumber yang sama, identifikasi para korban masih dilakukan oleh gendarmerie nasional.
Pemerintah mengutuk keras kebiadaban ini, dan presiden telah menetapkan berkabung nasional 48 jam pada hari Minggu dan Senin.
Keamanan di Burkina Faso telah memburuk sejak 2015, dengan serangan teroris telah menewaskan lebih dari 1.000 orang.
Kekerasan juga telah membuat lebih dari satu juta orang mengungsi di negara Afrika Barat itu.
Sebelumnya, pada Agustus tahun 2021 kelompok pemberontak juga telah membunuh puluhan orang di Burkina Faso utara, saat kekerasan meningkat lagi di wilayah Sahel Afrika Barat.
Dalam serangan di dekat kota utara Arbinda pada Rabu, 18 Agustus 2021, pemberontak menewaskan sedikitnya 47 orang, termasuk 30 warga sipil, 14 tentara dan tiga milisi pro-pemerintah, media pemerintah melaporkan.
Melansir Al Jazeera, media pemerintah melaporkan bahwa pasukan pemerintah membunuh 16 pemberontak sementara sumber keamanan menyebutkan jumlahnya 58.
Pelaku serangan yang terkait dengan Al-Qaeda dan ISIL secara teratur melakukan serangan di Burkina Faso dan negara tetangga Mali dan Niger, menewaskan ratusan warga sipil pada tahun ini saja.
Kekerasan di Sahel, daerah semi-kering di bawah Gurun Sahara, terus meningkat meskipun kehadiran ribuan pasukan PBB, regional, Barat dan upaya oleh beberapa pemerintah untuk bernegosiasi dengan kelompok pemberontak.
Kelompok bersenjata membunuh sedikitnya 12 tentara pekan lalu di barat laut Burkina Faso, serta 30 warga sipil, tentara dan milisi pro-pemerintah beberapa hari sebelumnya.
Penyerangan di Burkina Faso pada Tahun 2022
Satu tahun setelahnya, sedikitnya 22 warga sipil tewas Minggu malam dalam serangan oleh orang-orang bersenjata di barat laut Burkina Faso, kata pemerintah, Senin, 4 Juli 2022.
"Jumlah korban sementara dari serangan pengecut dan biadab itu mencapai 22 orang tewas, beberapa luka-luka dan kerugian material," kata pemerintah dalam sebuah pernyataan, demikian dikutip dari laman Xinhua, Selasa (5/7/2022).
Serangan itu dilakukan di komune Bourasso, provinsi Kossi, wilayah Boucle du Mouhoun, di barat laut negara itu.
Menurut gubernur wilayah Boucle du Mouhoun, pasukan pertahanan dan keamanan telah dikerahkan di daerah itu untuk melakukan operasi penyisiran dan keamanan.
Keamanan di Burkina Faso telah memburuk sejak 2015 karena serangan telah menewaskan lebih dari 1.000 orang dan membuat lebih dari 1,9 juta orang mengungsi di negara Afrika Barat itu.
Advertisement