Liputan6.com, Jakarta Dompet Dhuafa berkolaborasi bersama Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan & Risiko (DJPPR) dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menggelar talkshow Milenial Berwakaf : Cerdas spiritual, Cerdas Financial.
Kegiatan tersebut dalam rangka membangun literasi wakaf, mengajak peran, serta seluruh elemen masyarakat untuk membangunan dan pengembangan aset wakaf.
Advertisement
Tidak hanya itu Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko juga turut terlibat dalam pengembangan Wakaf melalui penerbitan instrumen Sukuk Wakaf yaitu Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS).
CWLS adalah produk investasi SBSN yang disediakan sebagai alternatif investasi bagi Nazhir (Lembaga yang mengelola wakaf) dalam mengelola wakaf uang dan dana sosial lainnya sebagai upaya mendukung program pemberdayaan ekonomi umat dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Dalam sambutannya, Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadiningdyah, mengatakan, banyak cara yang bisa dilakukan generasi muda untuk berwakaf.
Caranya
Salah satu caranya yang kreatif yaitu menjadi agen perubahan (Agent of change) yang menginformasikan berbagai instrumen sukuk wakaf kepada masyarakat.
"Anak-nak muda tidak harus mengeluarkan uang untuk berwakaf, tapi dengan cara yang kreatif dan spiritual Anda bisa menjadi agent chance yang menginformasikan berbagai hal, terutama instrumen-instrumen yang juga diterbitkan oleh pemerintah dalam hal ini oleh kementerian keuangan lebih fokusnya lagi oleh DJPPR yang berupa Cash Waqf Linked Sukuk," kata Dwi dalam acara Milenial Berwakaf di Graha Sawala, Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/2023).
Menurutnya, generasi muda bisa membuat konten-konten mengenai instrumen Sukuk Wakaf yang diterbitkan Pemerintah. Opsi lainnya, generasi muda bisa membuat klub atau komunitas yang didalamnya membahas mengenai bagaimana cara melakukan wakaf yang cerdas kepada masyarakat.
"Adik-adik semuanya bisa bisa membuat konten-konten yang bisa mengajak masyarakat untuk melakukan wakaf yang cerdas, dengan demikian anda bisa membuat amal jariyah tanpa harus mengeluarkan dana," pungkasnya.
Ini Alasan Kenapa Wakaf Harus Dijalankan Secara Produktif, Sudah Tahu?
Sejarah wakaf memiliki kronologi yang sangat panjang karena dimulai sejak masa kenabian hingga masa kini. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, wakaf pun mengalami transformasi yang lebih optimal dalam menjawab tantangan zaman. Akan tetapi, transformasi itu tidak merubah prinsip dari wakaf, yakni menahan dan sedekahkan, tidak juga dijual, dihibahkan, serta diwariskan.
Saat ini, wakaf tidak dipandang hanya untuk program 3M saja (masjid, makam, dan madrasah), namun wakaf memiliki hal unik, yaitu multidimensi dan multinilai. Multidimensi diartikan bahwa wakaf mampu menjangkau seluruh urusan dunia dan akhirat.
Sedangkan multinilai memiliki arti bahwa wakaf bukan hanya bernilai ibadah, tapi juga nilai sosial. Selain itu, wakaf menjadi istimewa karena tergolong sebagai sedekah jariah yang terus mengalirkan pahala. Perbesar Keunikan wakaf.
Wakaf juga mengandung prinsip altruisme, egaliter, progresif, dan produktif. Prinsip-prinsip ini menjunjung tinggi perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memihak atau membedakan derajat setiap manusia itu sendiri.
Keberadaan wakaf sebagai instrumen ekonomi Islam tentu memiliki instrumen yang strategis untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat dan bernilai ibadah-sosial, ini dapat diartikan sebagai cita-cita wakaf.
Sementara itu, literasi wakaf masih belum cukup dipahami oleh masyarakat, umat Islam khususnya. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya pengelolaan wakaf untuk menjawab pelbagai masalah yang ada.
Belum lagi, pemahaman bahwa wakaf hanya bisa dilakukan dalam bentuk tanah atau ditunaikan dengan nominal yang besar. Itu kesalahan fatal yang menghambat optimalisasi potensi wakaf.
Di Indonesia, potensi wakaf saat ini masih sangat besar. Berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf secara keseluruhan diperkirakan mencapai Rp2000 triliun.
Sedangkan wakaf uang mencapai Rp180 triliun. Namun, hanya terealisasi di bawah 10% dari potensi yang ada atau sekitar Rp860 miliar. Fakta ini cukup menarik sekaligus menjadi tantangan bagi para nazir atau pengelola wakaf.
Advertisement
3 Sifat Program Wakaf
Salah satu hal yang dapat dilakukan nazir untuk mendongkrak optimalisasi potensi wakaf di Indonesia adalah pengayaan serta pengelolaan program wakaf yang variatif, solutif, dan harus produktif. Sifat-sifat yang melekat pada pengelolaan program wakaf tersebut memiliki alasannya tersendiri.
1. Program Wakaf yang Variatif
Di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia, program wakaf mesti variatif, hal ini bertujuan untuk membuka peluang para calon wakif atau pewakaf agar dapat memilih program yang sejalan dengan visi mereka dan apa yang mereka yakini. Dalam hal ini, riset menjadi penting agar mengetahui selera dan karakter para wakif dalam menyalurkan harta mereka.
2. Program Wakaf Harus Solutif
Program yang variatif saja tidak cukup, program wakaf juga mesti solutif untuk menjawab masalah yang ada. Nazir harus benar-benar jeli dalam melihat masalah yang ada.
Penyelesaian harus menyentuh akar permasalahan, bukan hanya memangkas ranting atau dahan. Program wakaf yang variatif juga memberikan pilihan bagi para calon wakif di tengah masyarakat yang heterogen seperti Indonesia.
3. Program Wakaf dengan Keluasan Manfaat
Agar meluaskan manfaat dan merawat keberlanjutan, wakaf juga harus dikelola secara produktif.
Maksudnya adalah donasi wakaf yang terhimpun dari masyarakat perlu dikelola dengan skema bisnis dan investasi, sehingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia seperti emas dan perak, maupun benda tidak bergerak, seperti lahan dan bangunan.
Mekanisme seperti di atas sejatinya bukan hal baru, 1400 tahun lalu Umar bin Khattab pernah meminta saran kepada Nabi Muhammad SAW terkait tanah miliknya di Khaibar.
Nabi SAW memberikan arahan pada umar agar menahan (pokoknya) tanah tersebut dan menyedekahkan (hasilnya atau surplusnya). Tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.
Kemudian, setelah tanah itu menghasilkan surplus, Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan tamu.
Selain itu, tidak dilarang bagi yang mengelola wakaf (nazir) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta. Terkait hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 12.