Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan bahwa Amerika Serikat dan Tiongkok perlu melakukan perubahan agar utang dan defisit jangka menengah mereka berada pada jalur yang berkelanjutan.
Amerika Serikat dan Tiongkok memiliki tingkat utang yang lebih tinggi setelah dua tahun mengalami penurunan rasio utang terhadap PDB seiring memudarnya lonjakan pertumbuhan pasca-COVID-19.
Advertisement
"Jika Anda melihat apa sebenarnya yang mendorong AS dan Tiongkok, Anda akan mengatakan bahwa hal tersebut adalah defisit anggaran yang besar dan terus-menerus antara 6 persen hingga 7 persen terhadap PDB sepanjang periode hingga tahun 2028," kata Direktur Urusan Fiskal IMF Vitor Gaspar, dikutip dari US News, Kamis (12/10/2023).
"Pertumbuhan telah melambat dan prospek jangka menengah adalah yang terlemah dalam beberapa waktu terakhir bagi kedua negara,” sebutnya.
Monitor Fiskal IMF, yang dirilis pada tanggal 2 Oktober, menunjukkan bahwa total gabungan utang publik dan swasta non-keuangan AS dan Tiongkok terhadap PDB mencapai sekitar 270 persen PDB, dengan AS menyumbang 30 persen dari total PDB global dan Tiongkok 20 persen.
Gaspar mengatakan, tantangan bagi AS adalah defisit anggaran yang terus meningkat.
Kantor Anggaran Kongres (CBO) memproyeksikan defisit AS akan mendekati tingkat era pandemi pada akhir dekade ini tanpa perubahan undang-undang pajak dan belanja, yang disebabkan oleh naiknya biaya layanan kesehatan, pensiun, dan bunga utang.
"Pada kecepatan yang diproyeksikan, rasio utang publik di AS akan berada di atas 140 persen PDB pada akhir dekade ini," ungkap Gaspar, dibandingkan dengan 110 persen pada tahun 2022.
Untuk mengatasi hal tersebut, Gaspar menyarankan, AS perlu mengambil pilihan sulit, termasuk menaikkan pajak bagi masyarakat kaya, mengakhiri keringanan pajak untuk produksi bahan bakar fosil, dan menaikkan atau menghapus batas pendapatan pajak Jaminan Sosial.
Tantangan yang Dihadapi Tiongkok
Sementara itu, Tiongkok menghadapi tantangan yang berbeda, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Gaspar mengatakan, pihak berwenang Tiongkok perlu memberikan perhatian lebih besar terhadap pertumbuhan utang di tingkat pemerintah daerah dan sarana pembiayaan lokal, serta berupaya mengurangi ketergantungan jangka panjang negara tersebut pada investasi real estate dan infrastruktur untuk pertumbuhan.
"Tantangan bagi Tiongkok adalah pertumbuhan, stabilitas dan inovasi," kata Gaspar.
Dia menambahkan bahwa Tiongkok memerlukan model pertumbuhan baru untuk beralih dari ekspor dan investasi ke permintaan domestik, dan hal ini memerlukan jaring pengaman sosial yang lebih besar sehingga konsumen dapat membelanjakan lebih banyak dengan lebih sedikit mengambil tabungan untuk pencegahan.
Advertisement
Utang Negara-Negara Asia Bengkak, Bank Dunia Cemas
Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill mengingatkan bahwa meningkatnya tingkat utang di antara negara-negara Asia dapat menghambat pertumbuhan kawasan tersebut di bawah perkiraan saat ini.
Mengutip Channel News Asia, Selasa (10/10/2023) Gill mengatakan, ia tetap kritis terhadap lambatnya restrukturisasi utang di bawah Kerangka Kerja Umum Kelompok G20 untuk merestrukturisasi utang negara-negara termiskin, dan mengatakan bahwa sangat penting untuk mempercepat proses tersebut.
Namun tingginya tingkat utang di Asia juga menjadi kekhawatiran, mengingat peningkatan pinjaman pemerintah dari pasar domestik akan membatasi tingkat kredit yang tersedia bagi perusahaan swasta, sehingga mengakibatkan melemahnya investasi.
"Kita menghadapi masalah yang bersamaan: terlalu banyak utang dan terlalu sedikit investasi," ujar Gill."Banyak konsumsi pemerintah dan konsumsi swasta yang dibiayai melalui utang. Tidak banyak investasi yang dibiayai melalui kredit, dan itu tidak bagus," ucapnya.
"Hasilnya bisa jadi adalah pertumbuhan yang jauh lebih rendah dari perkiraan kami. Jadi ini bukan situasi kesulitan utang, tapi hanya pertumbuhan yang merosot. Tapi ini masalah yang sama seriusnya. Sekarang kita bicara soal negara-negara yang sangat, sangat besar," katanya, tanpa memberikan angka dan negara spesifik.
Capai 85 Persen PDB
Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill enggan memberikan contoh spesifik, namun laporan Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan utang pemerintah telah mencapai sekitar 85 persen terhadap PDB rata-rata di negara kawasan Asia Selatan, lebih tinggi dibandingkan negara-negara emerging market dan kawasan ekonomi berkembang lainnya.
Laporan Bank Dunia menemukan bahwa utang meningkat di kawasan ini karena meningkatnya belanja pemerintah, rendahnya pendapatan dalam negeri, dan meningkatnya biaya pembayaran utang. Laporan tersebut mencatat sejumlah faktor, termasuk kerugian pada bank besar milik negara, dapat mendorong biaya pinjaman ke tingkat yang tidak berkelanjutan.
Advertisement