Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu lalu, beredar kabar tarif transportasi umum akan dinaikkan bagi warga luar Jakarta.
Advertisement
Menanggapi rencana tersebut, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai bahwa kebijakan ini kontra produktif, sebab pembedaan tarif berpotensi mendorong mereka kembali menggunakan kendaraan pribadi.
“(Kenaikan tarif) Ini justru akan membuat Jakarta semakin padat kendaraan pribadi dari luar Jakarta,” kata Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, dalam penyataan tertulis pada Kamis (12/10/2023).
lKebijakan diskriminatif ini akan sulit diimplementasikan dan memiliki potensi terjadi chaos di lapangan, terutama antara petugas dan pengguna publik transport,” lanjutnya.
Agus menambahkan, jika alasan kenaikan tarif tersebut karena beban subsidi PSO untuk publik transport Jakarta (terutama TransJakarta) dirasa semakin memberatkan, maka sudah saatnya ada penyesuaian tarif secara umum.
“Sejak diluncurkan tahun 2004, TransJakarta belum sekalipun menyesuaikan tarif. Ini lebih fair (adil) bagi masyarakat konsumen, dibanding dengan pembedaan tarif,” pungkasnya.
Dilema Pekerja: Rumah Jauh dari Kantor, Minim Akses Transportasi Umum
Sebelumnya, Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menyoroti terkait masih minimnya akses transportasi umum untuk hunian Perumahan.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan ruang untuk memperhatikan keberadaan angkutan umum di daerah, termasuk menyediakan fasilitas angkutan umum mendekati kawasan perumahan.
"Sekarang banyak kawasan perumahan yang ditempati tidak memiliki fasilitas transportasi umum menuju tempat kerja. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak diimbangi akses layanan transportasi umum," kata Djoko, Rabu (11/10/2023).
Menurutnya, masyarakat perkotaan pasti akan keberatan jika tarif ojek naik. Dilematis bagi pengemudi ojek, tarif tidak naik, pendapatan tidak akan bertambah. Tarif naik, penumpang berkeberatan dan berpengaruh penghasilan akan berkurang.
Sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Hal seperti ini baru menyadarkan kita, karena masih minimnya fasilitas transportasi umum di Kawasan hunian.
"Masifnya pertumbuhan permukiman di pinggiran perkotaan belum diimbangi dengan layanan akses angkutan umum, sehingga masyarakat mengandalkan ojek daring ataupun kendaraan pribadi (roda dua maupun roda empat)," ujarnya.
Disisi lain, beban masyarakat, khususnya generasi muda, saat ini cukup berat dalam menjangkau hunian. Selain harus membeli rumah yang harganya semakin mahal, juga harus membeli kendaraan bermotor.
"Pasalnya, kawasan perumahan yang ditempati tidak memiliki fasilitas transportasi umum menuju tempat kerja. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak diimbangi akses transportasi," ujar Djoko.
Advertisement
Timbulkan Kemacetan
Disamping itu, kata Djoko, sekitar lebih dari 95 persen kawasan perumahan di Bodetabek tidak memiliki akses layanan transportasi umum.
"Sekarang, setiap membangun kawasan permukiman selalu tidak wajib disertai layanan transportasi umum. Idealnya, warga berjalan kaki tidak lebih dari 500 meter bisa menemukan halte bus, terminal bus, atau stasiun kereta," katanya.
Hal inilah yang menyebabkan Jakarta tidak pernah bisa melawan kemacetan lalu lintas. meski sudah ratusan rute bus Transjakarta dan Jak lingko dibangun, namun tidak mampu mengatasi kemacetan dan polusi udara.
Tak hanya di Jabodetabek yang mengalami hal tersebut, di kawasan perkotaan lainnya di Indonesia juga merasakan yang sama. Terlebih serbuan tawaran mendapatkan sepeda motor yang kian mudah dan murah, menyebabkan masyarakat lebih tertarik memakai sepeda motor untuk bermobilitas.