Liputan6.com, Gaza - Serangan rudal Israel tanpa henti saat ini telah menewaskan lebih dari 1.500 warga Palestina secara keseluruhan, menurut data Palestinian Ministry of Health pada Jumat (13/10/2023). Dampak serangan ini tak ayal membuat anak-anak di Gaza trauma.
Samah Jabr, seorang ibu dari empat anak berusia 35 tahun di Kota Gaza, mengkhawatirkan putra sulungnya, Qusay (13). Qusay tak tahan dengan suara keras atau dentuman yang terjadi.
Advertisement
"Dia sangat gelisah dan sering mengamuk akhir-akhir ini. Dia melompat ke arah suara apapun," kata Jabr. "Dia tidak tahan pada orang yang berbicara dengan suara keras, bahkan jika mereka bercanda. Saya mencoba mengatakan kepadanya bahwa perang ini akan berakhir."
"Suara Rudal Itu Menakutkan"
Jabr memeluk Qusay sesering mungkin, memeluknya erat-erat dan berbicara dengan tenang tentang apa yang akan mereka lakukan setelah perang. Ia berharap hal ini akan memberi putranya kekuatan untuk melewati masa-masa sulit.
"Suara rudal itu menakutkan, dan rumah kami bergetar sangat keras," lanjut Jabr, dikutip dari Aljazeera.
Jabr mengajari anak-anaknya supaya tidak pernah meninggalkan sisinya, bagaimana mengenali cahaya yang menyertai rudal saat serangan Israel, sehingga mereka siap menghadapi suara memekakkan telinga yang akan mengikutinya.
Takut Kehilangan
Manal Salem, yang tinggal di Kota Gaza, mengatakan bahwa ia membiasakan ketiga anaknya untuk mengobrol dengan kakek dan nenek mereka setiap hari. Menceritakan apa yang mereka dengar pada malam hari dan apakah hal tersebut membuat mereka takut atau merasa berani.
"Nenek mereka mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus menanggung hari-hari yang sulit ini, karena ini hanya sementara dan mereka akan melewati perang ini dan bahagia bersama lagi," kata Salem.
"Mereka membalas dengan mengatakan kepada kakek dan nenek mereka, agar selamat karena mereka sangat menyayangi mereka dan ingin bertemu dengan mereka lagi."
Anak perempuan Salem, Mai, yang berusia 6 tahun, mengalami kecemasan berpisah karena ayahnya, seorang dokter yang bekerja di ruang gawat darurat Rumah Sakit Al-Shifa, tidak pulang ke rumah setiap malam.
Mai mengira ayahnya akan terkena rudal setiap kali dia tidak berada di rumah bersamanya," ucap Salem. "Saya terus meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja, bahwa dia harus tetap kuat.
"Saya juga mencoba menenangkannya dengan membiarkan dia mengobrol dengan ayahnya di telepon, tetapi terkadang dia tidak dapat merespons karena begitu banyak korban yang datang."
Advertisement
Hanya Bisa Mendengar Bom dan Rudal
Lain cerita di kota Rafah di bagian selatan, Ahlam Wadi menuturkan, putranya, Omar (10), tidur dengan tangan menutupi telinga.
"Saya mengkhawatirkannya," kata pria berusia 30 tahun itu. "Saya takut dia akan mengalami gangguan dalam jangka panjang. Saya mencoba mengalihkan perhatiannya dengan berbicara kepadanya terus-menerus, tetapi dia hanya bisa mendengar bom dan rudal."
Cemas Serangan Panik
Wadi dan anak-anaknya tinggal bersama dalam satu ruangan. Ia juga mencoba mengalihkan perhatian keluarganya, termasuk anaknya dengan menceritakan masa kecilnya sendiri.
"Dia mengatakan kepada mereka bahwa dia hidup melalui peristiwa-peristiwa ini sebelum dia menikah dan dia sangat kuat dan tidak takut," tuturnya.
"Putra kedua saya, Saeed, yang berusia 7 tahun, bertanya kepada saya, apakah saya juga kuat dan tidak kenal takut? Saya katakan kepadanya bahwa saya berusaha keras untuk berani. Saya khawatir dia akan mengalami serangan panik ini seumur hidupnya."