Liputan6.com, Gorontalo - Penyidik Unit Reskrim Polsek Kota Utara Polresta Gorontalo menetapkan perempuan berinisial RAG sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Advertisement
RAG yang merupakan Kepala Puskesmas (Kapus) Kecamatan Sipatana sebelumnya dilaporkan FP, pegawai baru di Pusekesmas Sipatana.
Kapolresta Gorontalo Kota Kombes Pol Ade Permana melalui Kasat Reskrim Kompol Leonardo Widharta mengatakan, dalam kasus ini FP merasa dirugikan karena dicemarkan nama baiknya. RAG menyebut FP sebagai seorang pelakor atau perebut suami orang. Isu pelakor itu kemudian langsung tersebar luas dan merugikan nama baik FP.
Pelaku RAG menyampaikan kepada beberapa Staf ASN Puskesmas Sipatana akan ada pegawai yang akan pindah dari Puskesmas Hulonthalangi ke Puskesmas Sipatana. Ia merupakan seorang pelakor yakni FP yang diduga selingkuh dengan suami orang.
"Yang pindah ke sini itu pelakor, dia selingkuh dengan suami orang," kata Kompol Leonardo menirukan keterangan pelaku RAG.
Kompol Leonardo menjelaskan, informasi ini baru diketahui FP saat dihubungi oleh salah satu saksi. Dirinya menanyakan apakah isu yang berkembang benar adanya.
Merasa keberatan dengan perkataan tersebut, FP langsung melaporkan RAG ke Polsek Kota Utara, Polresta Gorontalo Kota.
"Setelah kami lakukan penyelidikan dan penyidikan, dan melakukan pemeriksaan pada 6 orang saksi dan 1 seorang ahli bahasa, kami temukan ada unsur pidana, sehingga terlapor langsung ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Pelakor Menurut Ahli Bahasa
Pelakor boleh jadi dinobatkan sebagai kosakata paling populer di media sosial sepanjang 2017. Sebenarnya, apa itu pelakor? Pelakor merupakan akronim dari 'perebut lelaki orang'. Istilah ini diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan akibat merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya.
Ivan Lanin, wikipediawan yang juga peneroka bahasa Indonesia, ketika dihubungi Liputan6.com menjelaskan, berkembangnya kosakata dari media sosial sebenarnya bukan hal yang aneh.
"Saya pikir fenomena itu biasa. Curcol, curhat, baper juga sama jalurnya: dari kalangan tertentu, lantas meluas ke banyak kalangan," ujar Ivan.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kata pelakor punya konotasi negatif, karena mengesankan yang salah hanya perempuan.
"Saya merasa lebih pas dengan istilah zaman dulu: WIL (wanita idaman lain). Konotasinya lebih netral," ujarnya menjelaskan.
Memang ketika membicarakan pelakor, kata ini tidak bersifat netral. Secara umum, istilah ini sangat berpihak kepada laki-laki karena meminggirkan peran perempuan dalam suatu hubungan.
Artinya, jika menyebut kata pelakor, kita secara otomatis akan menyalahkan perempuan atas sebuah peristiwa perselingkuhan, yang sebenarnya terjadi karena peran kedua belah pihak.
Sementara jika menyebut WIL, terasa ada peran laki-laki yang mengidamkan perempuan lain di luar hubungan pernikahannya.
Junaiyah ahli bahasa pensiunan Badan Bahasa, mengatakan, "Pengambil atau pencuri lelaki orang mengesankan bahwa yang diambil atau dicuri adalah pasif. Yang aktif adalah sang pencuri atau pengambil. Padahal, pada kejadian itu keduanya sama aktif secara sembunyi-sembunyi."
Ia menambahkan, "Keduanya tidak setia pada pasangannya masing-masing. Karena itu, baik pelakor, pebinor (perebut bini orang), dan letise (lelaki tidak setia) harus dipakai sesuai kenyataan yang ada."
Bahasa Indonesia memang memiliki beragam kosakata yang medan maknanya hampir serupa dengan pelakor, seperti sundal, perek, atau wanita jalang. Semua menempatkan perempuan sebagai objek penderita yang paling disalahkan, sehingga tampak ada ketimpangan gender di sini.
Ivan Lanin mengatakan, "Munculnya kata pelakor yang memiliki medan makna mirip dengan kata-kata yang sudah muncul sebelumnya menandakan bahwa ini fenomena yang tidak asing dan bukan sesuatu yang baru. Kata pelakor menarik karena baru. Menurut saya, kata ini dua tahun lagi juga sudah tidak dipakai orang.”
Ia menegaskan, istilah-istilah musiman ini akan selalu muncul dan hanya waktu yang akan menentukan kelestarian mereka.
"Namun, umumnya waktu akan menyirnakan mereka. Misalnya saja kata jayus—yang berarti 'tidak lucu'. Orang akan mengingat itu sebagai istilah pada zaman mereka. Kemudian sekarang dikenang sambil tertawa-tawa," ia menandaskan.
Advertisement