Liputan6.com, Jakarta - Ketika Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina tahun lalu, tanggapan dunia bisnis sangat keras dan jelas. Perusahaan raksasa, mulai dari Adidas dan Disney, hingga Bank of America dan Toyota, semua menjanjikan dukungan finansial dan moral untuk Ukraina dan rakyat negara itu.
Para CEO, termasuk Tim Cook dari Apple dan Jane Fraser dari Citi Group, mengenakan "kerah bendera Ukraina" sebagai bentuk solidaritas. Banyak perusahaan, termasuk raksasa minyak ExxonMobil dan Unilever, mengecam Moskow secara eksplisit.
Advertisement
Lebih dari 1.000 perusahaan akhirnya berjanji menghentikan atau mengurangi bisnis mereka di Rusia seiring memburuknya persepsi terhadap Moskow secara global. Namun, tanggapan perusahaan-perusahaan besar tersebut terhadap konflik Israel-Hamas tidak terlalu berarti.
Banyak merek ternama yang bersikap vokal terhadap perang Ukraina telah menolak mempertimbangkan langkah serupa untuk "konflik di Timur Tengah," menurut Al Jazeera, dikutip dari situs webnya, Senin (16/10/2023). Perusahaan raksasa, seperti Microsoft, Google, Hewlett Packard, JP Morgan, dan Goldman Sachs telah menyatakan dukungan pada Israel.
Mereka juga mengutuk Hamas atas serangan yang dilakukan kelompok bersenjata tersebut pada Sabtu, 7 Oktober 2023, yang menewaskan sedikitnya 1.300 orang dan melukai sekitar 3.400 orang. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan besar diam terhadap serangan udara balasan Israel di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 1.799 warga Palestina dan melukai lebih dari 6.300 orang.
PBB dan kelompok-kelompok bantuan lebih lanjut telah memperingatkan terjadinya bencana kemanusiaan di Gaza setelah Israel memerintahkan 1,2 juta warga Palestina yang terjebak di wilayah tersebut untuk pindah ke selatan dalam waktu 24 jam sebelum serangan darat yang diperkirakan akan dilakukan.
Isu yang Sangat Menantang
Bagi perusahaan yang dikenal sering menggembar-gemborkan kredibilitas keadilan sosial, konflik Israel-Palestina merupakan isu yang sangat menantang untuk dipertimbangkan karena sensitivitas dan dinamika kompleks yang terlibat, menurut pakar pemasaran.
Rahat Kapur, editor publikasi industri Campaign Asia, mengatakan tingkat kompleksitas dan nuansa sejarah yang terlibat dalam konflik tersebut membuat perusahaan berhati-hati dalam memasukkan diri mereka dan terlibat dalam "brandifikasi."
"Ada godaan mengeluarkan sudut pandang biner untuk menunjukkan semangat dan kekuatan, yang sering kali jadi bumerang ketika pengikut atau basis konsumen dapat melihat upaya ini," kata Kapur pada Al Jazeera.
"Pun sikap merek yang performatif di bidang sosial sering kali dapat menimbulkan lebih banyak reaksi negatif, kerusakan reputasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan hilangnya sentimen dan loyalitas pelanggan dalam semalam, yang semuanya sangat sulit, memakan waktu, dan mahal untuk dipulihkan."
Menunjukkan dukungan khusus terhadap Palestina kemungkinan akan jadi langkah berisiko bagi perusahaan-perusahaan di negara-negara Barat, yang banyak di antaranya menggambarkan Hamas sebagai "kelompok teroris." Ekspresi solidaritas di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris sebagian besar terbatas pada organisasi kecil, seperti asosiasi mahasiswa dan pendukung Green Brigade of Celtic Football Club.
Advertisement
Setop Dukungan Simpatisan Palestina
Di AS, demonstrasi pro-Palestina selama seminggu terakhir mendapat pukulan keras dari para kritikus yang menuduh penyelenggara aksi membenarkan kekerasan yang dilakukan Hamas. Prancis telah melarang semua protes pro-Palestina atas dasar ketertiban umum.
Sementara itu, Jerman, Australia, Belanda, dan Inggris memperingatkan atau membatasi kelompok pro-Palestina yang dituduh mendukung Hamas atau menganjurkan pandangan anti-Yahudi.
"Tindakan balasan Israel dengan nama Operasi Pedang Besi, sejak Senin, telah mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina, banyak di antaranya adalah anak-anak," Carl Rhodes, dekan Sekolah Bisnis Universitas Teknologi Sydney, mengatakan. "Belum ada tanggapan nyata dari perusahaan-perusahaan Barat, yang tindakannya lebih bersifat politis daripada kemanusiaan."
Perusahaan-perusahaan besar juga menghadapi kritik karena tidak mengecam lebih keras terhadap serangan paling mematikan di Israel sejak berdirinya negara tersebut. CEO Liga Anti-Pencemaran Nama Baik Jonathan Greenblatt mengatakan pada CNN dalam sebuah wawancara bahwa tanggapan perusahaan-perusahaan Amerika "paling mengecewakan, paling buruk membawa bencana."
Konsumen telah memberi sinyal ambivalen mengenai apakah mereka lebih menyukai perusahaan yang mempertimbangkan masalah sosial dan politik.
Survei Konsumen dari Tahun ke Tahun
Dalam survei 2019 yang dilakukan Sprout Social, lebih dari dua pertiga konsumen Amerika mengatakan "penting bagi merek untuk mengambil sikap publik terhadap masalah sosial dan politik." Namun, lebih dari setengahnya mengatakan mereka akan memboikot merek-merek yang tidak "sejalan dengan pandangan mereka."
Sementara, 34 persen menyebut mereka akan mengurangi pengeluaran untuk merek-merek tersebut. Pada 2020, jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center menemukan bahwa 55 persen pengguna media sosial di Amerika merasa "lelah" dengan unggahan politik secara umum.
Felipe Thomaz, seorang profesor pemasaran di Said Business School di Oxford, mengatakan persepsi terhadap kampanye keadilan sosial yang dilakukan perusahaan sering kali bergantung pada keyakinan dan nilai-nilai pribadi seseorang. "Kami menggunakan merek sebagai cara mengomunikasikan berbagai hal tentang diri kami, jadi masuk akal jika kami ingin merek mencerminkan opini tentang dunia," kata Thomaz.
Ia mengatakan, pertaruhannya sangat tinggi selama perang, itulah sebabnya merek sering kali memilih tetap berpegang pada komentar umum yang mengecam kekerasan atau tidak mengatakan apa pun. "Ketika merek mengambil sikap yang berlawanan dengan mayoritas penggunanya, pernyataan tersebut jadi serangan terhadap identitas mereka, dan mereka memberontak. Jadi berisiko," ujar dia.
Advertisement