Soal Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Pengamat: Sebagian Orang Kena Prank MK

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menyebut sebagian masyarakat Indonesia sudah kena prank MK soal batas usia capres-cawapres.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 17 Okt 2023, 09:43 WIB
Personil Brimob berjalan melintasi halaman depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (13/6/2019). Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Pemilu 2019 pada, Jumat (14/6). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru, mengenai batas usia capres-cawapres 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah, Senin (16/10/2023). Dia memohon agar aturan batas usia minimal 40 tahun tidak mengikat jika memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Sebelum mengabulkan permohonan Almas, MK lebih dahulu menolak gugatan permohonan serupa dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hingga Partai Garuda.

Sikap MK yang menolak gugatan beberapa pemohon yang kemudian mengabulkan sebagian permohonan salah satu pemohon ini disebut pengamat sebagai sikap yang aneh dan jahil.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menyebut sebagian masyarakat Indonesia sudah kena prank MK.

"Sebagian orang sudah kena prank, berita suda naik, sudah menyatakan 80 persen hakim MK berintegritas, jangan suuzon dulu ternyata MK bukan Mahkamah Keluarga, jangan sampai dikatakan ada pamannya Gibran, mentang-mentang presidennya Pak Jokowi akan diputuskan, akan ada dinasti ternyata faktanya tidak," kata Pangi kepada Liputan6.com dikutip Selasa (17/10/2023).

Pangi menyebut, sebelum Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan Almas, pemberitaan yang beredar menyebut MK merupakan lembaga yang berintegritas karena dinilai tak membiarkan Gibran yang belum berusia 40 tahun maju sebagai cawapres. Namun saat permohanan Almas diterima, masyarakat seolah kena prank MK.

"Hampir dua jam beritanya begitu, tiba-tiba jam 5 nya, koma, karena terdapat frasa (pernah menjadi) kepala daerah atau berpengalaman, selesai. Terimakasih MK yang sudah siapkan karpet merah untuk Gibran," kata dia.

 

 


Putusan MK yang Bikin Geger

Tok! Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru, mengenai batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah, Senin (16/10/2023). Dia memohon agar aturan batas usia minimal 40 tahun tidak mengikat jika memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.

Menurut MK, batas usia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Sepanjang tidak dimaknai, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih, melalui pemilihan umum termasuk pemilihan umum daerah"," kata hakim MK.

Hakim Konstitusi Saldi Isra pun memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Dia mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut.

 


Peristiwa Aneh Luar Biasa

“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tutur Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan proses rapat putusan untuk seluruh gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia capres dan cawapres. Pada pernyataannya dalam pendapat berbeda atau dissenting opinion, dia menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman hanya datang dalam pembahasan gugatan yang akhirnya dikabulkan sebagian.

Arief merinci, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa, 19 September 2023 terkait pengambilan putusan terhadap Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU- XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir. Sebab itu, forum dipimpin oleh Wakil Ketua.

 


Kehadiran Ketua MK

“Dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir, Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan atau conflict of interest disebabkan isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden,” tutur Arief di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

“Di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo,” sambung dia dalam sidang perkara batas usia capres-cawapres.

Pada akhirnya, kata Arief, ketiga perkara a quo yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 diputus dengan komposisi mayoritas hakim menyatakan menolak permohonan a quo, meskipun ada pula hakim yang berpendapat lain.

“Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, yaitu berkaitan dengan syarat minimal usia calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo, dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar dikabulkan sebagian,” ungkap Arief Hidayat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya