Google Menentang Undang-Undang Keamanan Daring Anak, Ini Alasannya

Google menolak upaya negara bagian dan federal yang mewajibkan platform memverifikasi usia pengguna, memaksa pengguna mengunggah salinan tanda pengenal resmi mereka untuk mengakses layanan online.

oleh Mustika Rani Hendriyanti diperbarui 23 Okt 2023, 11:00 WIB
Seorang teknisi melewati logo mesin pencari internet, Google, pada hari pembukaan kantor baru di Berlin, Selasa (22/1). Google kembali membuka kantor cabang yang baru di ibu kota Jerman tersebut. (Photo by Tobias SCHWARZ / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Google dikabarkan telah menanggapi proposal kongres tentang keamanan online anak-anak pada Senin, 16 Oktober 2023. Perusahaan juga mendesak anggota parlemen Amerika Serikat (AS) untuk membatalkan perlindungan yang bermasalah seperti teknologi verifikasi usia. 

Dalam sebuah postingan blog, Google merilis “Kerangka Legislatif untuk Melindungi Anak-anak dan Remaja di Dunia Online.” 

Kerangka kerja ini muncul ketika semakin banyak anggota parlemen, seperti Senator Elizabeth Warren (D-MA), mendukung Kids Online Safety Act (Undang-Undang Keamanan Daring Anak). 

Ini adalah sebuah undang-undang kontroversial yang ditujukan untuk melindungi anak-anak dari konten online berbahaya. 

Mengutip The Verge, Senin (23/10/2023), dalam kerangka tersebut, Google menolak upaya negara bagian dan federal yang mewajibkan platform memverifikasi usia pengguna. Misalnya, memaksa pengguna mengunggah salinan tanda pengenal resmi mereka untuk mengakses layanan online

Beberapa negara bagian baru-baru ini juga mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan platform untuk mendapatkan izin orangtua bagi pengguna usia di bawah 18 tahun. 

Google menolak undang-undang izin ini, karena mengganggap bahwa undang-undang tersebut melarang remaja dalam mengakses informasi bermanfaat. 

“Model legislatif yang baik--seperti yang didasarkan pada prinsip-prinsip desain yang sesuai dengan usia--dapat membantu perusahaan bertanggung jawab dalam mempromosikan keselamatan dan privasi. Sekaligus memungkinkan akses ke pengalaman yang lebih kaya untuk anak-anak dan remaja,” Kent Walker, President of Global Affairs Google, mengatakan dalam sebuah pernyataan postingan blog.

Anggota parlemen, seperti penulis KOSA Senator Richard Blumenthal (D-CT) dan Senator Ed Markey (D-MA), telah meminta perusahaan teknologi untuk berhenti menargetkan iklan kepada anak-anak. 


Negara Bagian Keluarkan Undang-undang yang Mengatur Penggunaan Internet Bagi Anak di Bawah Umur

Ilustrasi Aktivitas Buzzer di Media Sosial Credit: pexels.com/pixabay

Selama satu tahun terakhir, badan legislatif negara bagian di seluruh negeri telah mengeluarkan undang-undang baru yang mengatur bagaimana anak-anak di bawah usia 18 tahun dapat berinteraksi dengan internet.

Beberapa negara bagian, seperti Louisiana, telah menyesuaikan undang-undang mereka untuk melarang anak-anak melihat pornografi online. Dengan memaksa semua orang, termasuk orang dewasa, untuk memverifikasi usia mereka sebelum menggunakan situs tersebut.

Google tidak menentang verifikasi usia di situs porno dan perjudian. YouTube juga dikabarkan menerbitkan serangkaian prinsip untuk melindungi anak-anak.

Dalam sebuah postingan blog, CEO YouTube Neal Mohan mengatakan platform tersebut tidak menayangkan iklan yang dipersonalisasi untuk anak-anak dan memberi orang tua serangkaian kontrol keluarga.

“Keluarga di mana pun berhak mendapatkan pengalaman online yang aman dan berkualitas tinggi, di mana pun mereka tinggal,” tulis Mohan.

“Dan semua anak dan remaja harus memiliki akses yang sama terhadap peluang yang disediakan internet. Ketika generasi muda terus mengembangkan cara mereka tampil online, layanan dan kebijakan kami juga akan berubah,” tambahnya.


Uni Eropa Desak CEO Google untuk Awasi Konten Perang Israel-Hamas di YouTube

CEO Sundar Pichai. (Doc: Google HQ)

Masih berkaitan dengan Google, Komisaris Uni Eropa (UE), Thierry Breton, telah mengirim surat peringatan ke sejumlah platform online untuk mengatasi disinformasi mengenai perang Israel-Hamas.

Terkini, Breton telah menulis surat yang ditujukan kepada CEO Google dan Alphabet Sundar Pichai, mengingatkannya akan kewajiban perusahaan mengenai moderasi konten berdasarkan Undang-Undang Layanan Digital UE.

Secara khusus, Breton meminta Alphabet untuk 'sangat waspada' terkait konten perang Israel-Hamas yang diposting di YouTube.

"Komisi Eropa melihat lonjakan konten ilegal dan disinformasi yang disebarluaskan melalui platform tertentu," katanya, seraya mengatakan kepada Pichai bahwa Alphabet mempunyai kewajiban untuk melindungi anak-anak dan remaja dari konten kekerasan yang menggambarkan penyanderaan dan lainnya.

Breton juga memperingatkan Pichai, jika Alphabet (induk Google) menerima pemberitahuan tentang konten ilegal dari UE, Alphabet harus meresponsnya tepat waktu.

Terakhir, ia mengingatkan sang CEO bahwa perusahaan harus memiliki langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi konten disinformasi. Demikian sebagaimana dikutip dari Engadget, Minggu (15/10/2023).

Layanan berbagi video juga harus mampu membedakan sumber berita yang dapat dipercaya dari propaganda teroris dan konten yang dimanipulasi, seperti video clickbait.


YouTube Telah Hapus Puluhan Ribu Video Berbahaya

Logo YouTube (Sumber: Pixabay)

Juru bicara YouTube, Ivy Choi, mengatakan kepada The Verge bahwa layanan berbgai video tersebut telah menghapus puluhan ribu video berbahaya dan menghentikan ratusan saluran, menyusul konflik yang kini sedang berlangsung di Israel dan Gaza.

Sistem platform tersebut, tambahnya, terus menghubungkan orang-orang dengan berita dan informasi berkualitas tinggi.

"Tim YouTube bekerja sepanjang waktu untuk memantau rekaman berbahaya dan tetap waspada untuk mengambil tindakan cepat jika diperlukan pada semua jenis konten, termasuk video Shorts dan live streaming," klaim Ivy Choi.

Sebelumnya, Breton mengirimkan surat "mendesak" kepada Elon Musk tentang penyebaran disinformasi di platform X terkait perang Israel-Hamas.

Dia menyerukan penyebaran gambar dan fakta palsu yang dimanipulasi beredar di platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter di wilayah UE, seperti gambar lama konflik bersenjata yang tidak terkait atau rekaman militer yang sebenarnya berasal dari video game.

CEO X Linda Yaccarino menerbitkan tanggapan perusahaan sehari kemudian, mengklaim telah menghapus atau memberi label "puluhan ribu konten" dan telah menghapus ratusan akun yang berafiliasi dengan Hamas dari platform tersebut.

Meski begitu, Uni Eropa masih terus melakukan penyelidikan terhadap X atas kurangnya moderasi konten ilegal dan disinformasi terkait perang.

Infografis Tekno Google Twitter (liputan6/desi)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya