Perubahan Iklim Berdampak pada 13 Makanan Ini, Beberapa Ada di Indonesia

Perubahan iklim telah berdampak pada produksi 13 jenis makanan yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, termasuk makanan pokok Indonesia.

oleh Therresia Maria Magdalena Morais diperbarui 22 Okt 2023, 20:00 WIB
Ilustrasi sawah petani/Istimewa.

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim mungkin tampak seperti topik hangat dalam wacana politik dan advokasi modern, namun fenomena ilmiah ini memiliki konsekuensi nyata terhadap produksi dan ketersediaan makanan sehari-hari.

Menurut penelitian dari Johns Hopkins University, kenaikan suhu dan ketidakstabilan cuaca yang semakin meningkat berpotensi mengancam ketersediaan pangan secara global, terutama di daerah-daerah dengan tingkat ketersediaan pangan yang rendah seperti Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan.

Meskipun ilmu pengetahuan telah membuat kemajuan dalam pengembangan tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi kekeringan dan suhu yang ekstrem, ternyata masih ada batasan dalam kemampuan adaptasi bagi spesies-spesies tanaman yang ada di Bumi saat ini.

Banyak di antaranya adalah sumber makanan penting yang mendukung berbagai jenis masakan. Dari kopi hingga padi, pengaruh perubahan iklim telah menyebar ke dalam berbagai aspek rantai makanan global, termasuk di Indonesia.

Studi yang dilakukan PBB menunjukkan bahwa tanpa upaya adaptasi yang kuat, produksi hasil panen bisa menurun hingga 30 persen secara global pada tahun 2050.

Meskipun sebagai individu kita tidak dapat mengatasi pemanasan global sendirian, tetapi terdapat banyak hal yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi sistem pangan saat ini. Hal ini memerlukan kontribusi dari semua pihak, tanpa memandang afiliasi politik, dalam mengubah arah pemanasan global.

Saat ini, beberapa tanaman pangan utama sudah mengalami dampak dari perubahan kondisi atmosfer, baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara beberapa makanan lain, meskipun belum terpengaruh secara signifikan, kini mulai berada dalam ancaman serius.

Berikut ini adalah 13 makanan yang terkena dampak dari perubahan iklim, merangkum dari Tasting Table, Minggu (22/10/2023):


1. Kopi

Ilustrasi Biji Kopi Excelsa (sumber: pixabay)

Menurut laporan dari International Development Bank, para petani kopi sedang menghadapi tantangan besar dalam menghasilkan kopi karena dampak perubahan iklim. Amerika Latin, yang menjadi tempat tinggal bagi setengah dari sepuluh negara terbesar penghasil kopi di dunia, telah menjadi wilayah yang sangat cocok untuk pertumbuhan kopi berkat iklimnya yang memberikan kelembapan dan suhu yang pas.

Namun, diperkirakan bahwa peningkatan suhu akan mengakibatkan berkurangnya area yang cocok untuk menanam kopi sekitar 50 persen pada tahun 2050. Tak hanya itu, peningkatan suhu juga memicu pertumbuhan karat daun kopi, suatu penyakit yang mematikan dan telah menyebar di beberapa wilayah di Guatemala, Honduras, dan Kosta Rika.

Akhir-akhir ini, harga kopi meningkat karena adanya inflasi, dan selama tiga tahun terakhir, harganya telah melonjak hampir 38,8 persen. Tingginya permintaan di Inggris dan Amerika Serikat, serta peningkatan daya beli dan minat terhadap kopi di Asia, telah mengubah dinamika ekonomi di industri kopi.

Di masa depan, kita perlu bersiap untuk menghadapi kemungkinan pasokan kopi yang berkurang di pasaran dan peningkatan harga kopi di kedai kopi dan toko-toko.

2. Wine

 

Ilustrasi wine. (Gambar oleh Photo Mix dari Pixabay)

Perubahan iklim berpotensi memberikan dampak signifikan pada produksi anggur di Eropa, terutama di Spanyol, Prancis, dan Jerman. Industri Champagne terpengaruh secara besar-besaran karena panen harus dilakukan lebih awal akibat perubahan iklim.

Menurut Climate Central, anggur yang ditanam di wilayah ini memiliki toleransi suhu yang sempit, khususnya anggur pinot noir dengan rentang suhu sekitar 3,6 derajat Fahrenheit (-15.8 derajat Celsius).

Konsumen dapat mengamati perubahan dalam jenis anggur yang tersedia di pasaran, serta perbedaan suhu. Semakin umumnya penggunaan campuran anggur bertujuan menciptakan rasa yang serupa dengan varietas tradisional yang mungkin sulit tumbuh di iklim yang semakin panas.

Di Amerika, kebakaran hutan di California telah mengubah kondisi untuk penanaman anggur di wilayah Napa dan Sonoma. Asap dari kebakaran hutan juga dapat mempengaruhi rasa buah anggur yang telah matang, anggur yang terpapar asap kebakaran cenderung memiliki rasa abu yang tidak diinginkan, seperti yang diungkapkan oleh Climate Central.

Secara keseluruhan, suhu rata-rata selama periode pertumbuhan di Amerika telah meningkat sekitar 2,0 derajat Fahrenheit (-16.67 derajat Celsius) sejak tahun 1970. Di California, kenaikan suhu selama musim tanam bahkan lebih mencolok, yakni sekitar 2,9 derajat Fahrenheit (-16.167 derajat Celsius) membuatnya hampir tidak cocok untuk produksi anggur.

Mengingat bahwa anggur California diperkirakan memegang sekitar 12 persen pangsa pasar anggur global, dampak ini memiliki implikasi besar pada industri tersebut.

3. Cokelat

Ilustrasi Bubuk Kakao (pixabay.com)

Cokelat, yang dianggap sebagai kenikmatan oleh banyak orang, mungkin akan mengalami perubahan seiring dengan peningkatan suhu di daerah-daerah penghasil kakao di seluruh dunia.

Tanaman kakao khususnya tumbuh subur di lingkungan hutan hujan yang hangat dan lembap. Sebagian besar persediaan coklat global, yaitu sekitar 70 persen, berasal dari Afrika Barat. Namun, laporan dari International Center for Tropical Agriculture memprediksi penurunan hasil panen hingga tahun 2030 di wilayah ini akibat perubahan iklim.

Perubahan iklim juga berdampak tak langsung pada pertumbuhan tanaman kakao. Suhu yang meningkat dan fluktuasi curah hujan dapat menghambat pertumbuhan vegetasi di sekitar tanaman kakao, menyebabkan tingkat erosi tanah yang lebih tinggi dan kualitas tanah yang menurun.

Meskipun kondisi saat ini di daerah penanaman kakao mungkin berubah, terdapat peluang bagi wilayah baru untuk mengembangkan produksi kakao. Menurut Matador Network, Brasil dan Nigeria memiliki potensi untuk mengambil peran lebih besar dalam pasar kakao.

Dalam 40 tahun mendatang, wilayah-wilayah ideal untuk pertanian kakao mungkin terletak di Brasil Utara dan Guyana, daerah-daerah yang relatif jauh dari khatulistiwa dan belum sepenuhnya mengembangkan infrastruktur kakao secara signifikan.

Cokelat tidak hanya digunakan sebagai bahan makanan, tetapi juga memiliki makna budaya yang dalam di banyak komunitas. Misalnya, kehilangan tradisi seperti chocolate-atole, minuman penting dalam budaya Oaxacan, sulit untuk diukur dampaknya secara langsung tetapi akan terasa dalam aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang melampaui sekadar selera dan kebutuhan fisik.


4. Kerang

Ilustrasi Kerang Credit: pexels.com/Alex

Salah satu bahaya besar bagi kerang adalah peningkatan tingkat keasaman laut, menurut informasi dari Washington State Department of Health. Laut menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubahnya menjadi asam karbonat.

Zat asam ini dapat melarutkan kerang dan kerang lainnya yang terbuat dari kalsium karbonat. Dampak perubahan iklim juga dapat mengakibatkan paparan lebih tinggi terhadap biotoksin laut. Suhu yang lebih hangat dapat memicu pertumbuhan alga, yang kemudian dapat melepaskan zat berbahaya ke makhluk laut seperti kerang.

Penelitian dalam Journal Toxins bahkan menunjukkan beberapa risiko terkait dengan mengonsumsi kerang, termasuk risiko terkena racun kerang paralitik dan keracunan ikan ciguatera.

Walaupun ada pandangan yang berpendapat bahwa moluska memiliki risiko yang signifikan, ada juga pendapat yang mendukung untuk mengonsumsi lebih banyak moluska. Menurut laporan dari BBC, kerang memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan peternakan hewan darat karena mereka tidak memerlukan perawatan khusus atau pakan tambahan.

Selain itu, kerang juga memberikan manfaat untuk infrastruktur fisik terkait iklim. Sebagai contoh, World Harbour Project dari Sydney Institute of Marine Science tengah mencoba membangun dinding penahan dari kerang untuk meningkatkan kejernihan air dan melindungi pantai dari dampak gelombang badai.

5. Jagung

Para petani jagung, saat memanen jagungnya (Liputan6.com / Nefri Inge)

Studi terbaru yang dipublikasikan oleh Verisk, sebuah perusahaan analisis data, menunjukkan bahwa hasil panen jagung di wilayah Jagung AS diperkirakan akan mengalami penurunan sekitar 20 hingga 40 persen dari tingkat pada periode 1991-2000 pada tahun 2046-2055. Sebagai informasi tambahan, tahun 1991 dijadikan sebagai referensi karena dianggap sebagai Norma AS, yaitu rata-rata data iklim selama 30 tahun yang diperoleh dari stasiun cuaca di seluruh negeri.

Studi dari Emory University juga menyimpulkan bahwa produksi jagung di Sabuk Jagung AS, termasuk di negara-negara seperti Illinois dan Iowa, akan menjadi tidak layak pada tahun 2100. Jagung memegang peran penting dalam lanskap pertanian Amerika Serikat, dengan sekitar 92 juta hektar lahan yang ditanami jagung menurut penelitian dari Penn State University.

Berbeda dengan tanaman lainnya, jagung memiliki keterkaitan yang signifikan dengan peternakan karena jagung merupakan sumber pakan untuk hewan-hewan seperti sapi, babi, dan ayam, serta menjadi bahan baku biofuel untuk produksi etanol. Wilayah Jagung AS, menurut Verisk, menyumbang sekitar 90 persen dari produksi biji jagung di negara ini dan hampir 30 persen dari produksi jagung secara global.

Penurunan pasokan jagung akibat perubahan iklim akan mempengaruhi harga biji jagung serta produk-produk yang bergantung padanya, termasuk sirup jagung fruktosa tinggi, dekstrosa, dan berbagai bahan tambahan makanan lainnya.

6. Kentang

Ilustrasi kentang | Polina Tankilevitch dari Pexels

Kentang, umbi sederhana yang familiar dan disukai banyak orang, ternyata juga turut terpengaruh oleh perubahan lingkungan. Meskipun lebih tahan terhadap perubahan iklim dibandingkan dengan tanaman lain seperti jagung, anggur, dan kakao, kentang tetap memiliki keterbatasan.

International Potato Center mencatat bahwa meskipun kentang membutuhkan air lebih sedikit dibandingkan tanaman pangan lainnya, kekurangan air dan seringnya cuaca ekstrem akibat perubahan iklim dapat mempengaruhi infrastruktur irigasi yang mendukung pertumbuhan tanaman kentang. Selain itu, peningkatan suhu juga akan berpengaruh pada pertumbuhan kentang.

Namun, tanaman ini belum sepenuhnya mampu melawan kerusakan akibat hama dan penyakit yang cenderung berkembang subur di lingkungan yang lebih hangat. Risiko-risiko ini belum sepenuhnya terungkap, tetapi diprediksi akan meningkat seiring dengan pemanasan global.

Alberto Salas, seorang peneliti kentang di International Potato Center, mencatat bahwa mengalihkan lahan pertanian sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim, serta memperkenalkan varietas kentang baru yang lebih tahan terhadap penyakit, dapat membantu meningkatkan produksi kentang di seluruh dunia.

Oleh karena itu, meskipun tidak diharapkan kentang akan menghilang dari hidangan kita dalam waktu dekat, ada kemungkinan peningkatan popularitas varietas kentang tradisional dan kultivar hasil persilangan yang lebih tahan terhadap tantangan lingkungan.

7. Hewan Ternak

Peternak memberi makan ayam pedaging broiler di kawasan Cipelang, Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/7). Tingginya harga daging ayam juga dipengaruhi oleh kenaikan harga pakan yang masih import seiring kenaikan dolar terhadap rupiah. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Walaupun berkontribusi sekitar 14,5 persen dari emisi gas rumah kaca di seluruh dunia, jelas bahwa industri peternakan akan mengalami kerugian yang terus menerus akibat pemanasan global.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Open Veterinary Journal menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara diperkirakan akan mengakibatkan tekanan panas dan peningkatan risiko penyakit pada hewan ternak.

Salah satu tekanan terbesar dari perubahan iklim pada industri peternakan adalah ketersediaan air. Menurut Jurnal Climate Risk Management, sekitar 8 persen dari sumber air tawar global digunakan untuk keperluan peternakan.

Pemanasan global dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi air oleh hewan ternak hingga dua hingga tiga kali lipat. Prediksi untuk tahun 2025 menyebutkan bahwa 64 persen populasi global kemungkinan akan mengalami krisis air, yang menimbulkan pertanyaan etika mengenai alokasi air untuk peternakan daripada untuk kebutuhan manusia.

Selain itu, pemanasan global juga berdampak tidak langsung pada sektor peternakan melalui pengaruh pada akses dan kualitas pakan hijauan dan biji-bijian. Penelitian ilmiah dari Climate Risk Management telah mengidentifikasi korelasi antara daya cerna dari jenis pakan tertentu dengan perubahan komposisi nutrisinya.

Dampak potensial dari perubahan pola pakan ini dapat mengakibatkan lebih banyak tanaman dialihkan untuk produksi pakan ternak atau peningkatan lahan yang dikhususkan untuk menanam pakan. Hal ini akan berdampak pada biaya produksi ternak yang kemungkinan akan tercermin dalam harga dan ketersediaan global daging dan unggas.


8. Padi

Ilustrasi - Panen padi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Padi merupakan salah satu tanaman pangan kunci di seluruh dunia, menurut Scientific American, lebih dari setengah populasi dunia bergantung pada biji-bijian ini. Pertanian padi pada dasarnya dilakukan di lahan basah yang dikenal sebagai ladang, sehingga tanaman ini rentan terhadap perubahan lingkungan.

Diperkirakan bahwa peningkatan suhu akan mempercepat penguapan, yang berpotensi mengganggu siklus banjir bagi tanaman padi. Studi tahun 2018 yang diterbitkan dalam Archives of Agronomy and Soil Science menunjukkan bahwa cuaca panas yang semakin ekstrem dapat menyebabkan penurunan hingga 40 persen dalam hasil panen hanya dalam satu abad.

Selain itu, kenaikan suhu juga dapat menyebabkan tekanan pada tanaman dan mengganggu proses penyerbukan. Seperti yang dilaporkan oleh Scientific American, ladang padi di daerah berdataran rendah sangat rentan terhadap risiko air asin yang merembes ke dalam tanaman padi, terutama saat menghadapi badai yang lebih kuat akibat angin muson dan topan yang intens.

Lebih dari sekadar masalah pertanian, Scientific American juga mencatat bahwa karena padi memiliki signifikansi kultural yang mendalam, perubahan iklim mengancam lebih dari sekadar hasil panen.

Banyak negara di Asia yang mengaitkan praktik agrikultural dengan tradisi keagamaan, dan hal ini terancam oleh naiknya permukaan air dan perubahan drastis dalam lingkungan. Hal ini memperingatkan kita bahwa dampak perubahan iklim mencakup lebih dari sekadar isu makanan.

9. Sarden

Ilustrasi ikan sarden tangkapan nelayan. (Sumber Pixabay)

Sarden adalah ikan kecil yang lezat, namun mereka berisiko terpengaruh oleh perubahan suhu dan sirkulasi laut. Menurut National Oceanic and Atmospheric Association, jumlah tangkapan ikan sarden Pasifik diperkirakan akan menurun antara 20 persen hingga 50 persen seiring dengan peningkatan jumlah ikan di Pantai Pasifik Amerika.

Jika proyeksi pemanasan yang paling parah terjadi, maka total tangkapan ikan sarden Pasifik dapat mengalami penurunan hingga 20 persen secara keseluruhan pada tahun 2080. Tidak hanya ketersediaan ikan sarden yang diperkirakan akan berkurang di pasaran, namun rata-rata ukuran ikan sarden juga akan menurun.

Para peneliti dari Ifremer Oceanographic Institute di Perancis telah mempelajari ikan sarden di Mediterania sejak tahun 2008. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ukuran ikan sarden sekarang dua pertiga lebih kecil dari ukuran rata-rata ikan sarden 12 tahun yang lalu.

Fitoplankton, yang memberi nutrisi pada ikan sarden, sulit bertahan dalam sistem peredaran darah laut yang semakin hangat. Lembaga tersebut juga menyatakan bahwa rata-rata usia ikan sarden yang sekarang hampir tiga tahun lebih muda disebabkan oleh kurangnya makanan yang tersedia bagi ikan di Laut Mediterania.

10. Kacang Almond

Ilustrasi Almond Credit: pexels.com/Karolina

Almond tidak pernah dikenal sebagai tanaman yang ramah lingkungan, industri almond merupakan salah satu pengguna air terbesar di antara tanaman pertanian lainnya, terutama di wilayah Amerika Serikat yang sering mengalami kekeringan.

Menurut NPR, California sendiri menghasilkan 80 persen dari pasokan almond global. Namun, panen almond di California mengalami penurunan akibat kekeringan dan cuaca panas yang ekstrem. Diperkirakan antara Mei dan Juli 2020, produksinya turun hampir 400.000 pon (sekitar 181.437 kg).

Seperti tanaman lainnya, diperkirakan produksi almond akan bergeser ke wilayah yang sebelumnya tidak cocok untuk menanam tanaman ini. Boise Public Radio mencatat bahwa lapisan es yang mungkin menghambat pertumbuhan pohon almond di wilayah yang lebih dingin kemungkinan akan mencair akibat suhu yang lebih tinggi.

Para ahli juga mulai mencari cara untuk menghasilkan lebih banyak almond dengan penggunaan air yang lebih efisien di kebun-kebun, termasuk melalui penggantian pohon-pohon tua dengan pohon-pohon almond yang lebih muda dan lebih hemat air.

Jadi, bagaimana hal ini akan mempengaruhi ketersediaan kacang almond di pasaran? Saat ini belum ada kepastian, namun penyesuaian tanaman almond dengan iklim yang lebih dingin dapat berpotensi mengakibatkan ketidakstabilan dan gangguan dalam pasokan di masa mendatang.


11. Sirup Maple

Ilustrasi Sirup Maple Credit: pexels.com/Tina

Menurut US Geological Survey, sirup maple dihasilkan melalui proses pembekuan dan pencairan getah pada pohon. Suhu yang lebih tinggi mengakibatkan musim penyadapan menjadi lebih singkat, menghasilkan produksi sirup maple yang lebih sedikit.

Peningkatan suhu dan perubahan pola cuaca juga dapat menyebabkan kematian pohon, peningkatan risiko penyakit, dan kualitas getah yang kurang baik. Industri maple di wilayah selatan Amerika Serikat dahulu dianggap kurang cocok untuk produksi sirup maple, sehingga industri ini akan segera perlu mencari solusi adaptasi.

Salah satu peluang potensial adalah dengan mempertimbangkan penyadapan pohon lain yang memiliki jangkauan produksi yang lebih luas, seperti pohon birch, berbagai jenis maple, dan kenari. Hal ini akan membawa keberagaman produk yang tersedia dan meningkatkan ketahanan pasar sirup jika terjadi serangan dari hama atau patogen pada pohon maple.

12. Alpukat

Ilustrasi Buah Alpukat Credit: unsplash.com/Kelly

Perubahan iklim akan memiliki dampak besar pada pertanian alpukat. Penelitian dari Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman menunjukkan bahwa wilayah-wilayah di Peru, Indonesia, dan Republik Dominika, yang dahulu merupakan produsen utama alpukat global, akan segera menjadi kurang cocok untuk pertanian alpukat.

Walaupun ini tidak berarti bahwa alpukat akan benar-benar punah pada tahun 2050, namun hal ini menandakan perlunya para ilmuwan dan ahli pertanian bekerja sama untuk menemukan solusi berkelanjutan, seperti menanam alpukat di dataran tinggi dan mengadaptasi varietas tanaman untuk beradaptasi dengan iklim yang tidak bersahabat.

Beberapa koki telah mencoba untuk mengurangi pemakaian alpukat dalam hidangan mereka untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri alpukat. Satu buah alpukat membutuhkan hampir 320 liter air untuk tumbuh.

Hal ini membawa pertimbangan etis tentang daerah di mana alpukat ditanam, mengungkapkan sisi gelap dari popularitas roti panggang alpukat yang sering kali terabaikan. Dua buah alpukat menghasilkan jejak karbon yang setara dengan satu kilogram pisang dan telah menyebabkan kerusakan besar pada ribuan hektar hutan hujan di Amerika Tengah dan Selatan, di mana buah ini biasanya ditanam, menurut laporan dari Associated Press.

13. Madu

Ilustrasi Madu Credit: pexels.com/pixabay

Menurut USDA Agricultural Research Service, populasi lebah madu yang dipelihara mengalami penurunan sekitar 40 persen setiap tahun. Perubahan iklim memiliki kaitan erat dengan kehilangan sarang lebah madu yang dikelola.

Perubahan dalam siklus berbunga tanaman dapat menyebabkan stres nutrisi pada populasi lebah, yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan koloni yang menyebabkan kehancuran serta patogen lain.

Keberadaan populasi lebah madu memiliki dampak yang jauh melampaui produksi madu itu sendiri. Menurut USDA, lebah madu memainkan peran penting dalam penyerbukan 80 persen tanaman berbunga di daratan dan 130 jenis buah dan sayuran yang kita konsumsi sehari-hari.

Nilai ekologis dari menjaga populasi lebah madu tidak dapat diukur, bahkan jika hal ini hanya dilihat dari sudut pandang madu. Meskipun ada opsi seperti gula kelapa dan sirup kurma sebagai pengganti madu untuk mencukupi kebutuhan rasa manis, kita juga harus fokus pada penelitian ilmiah yang mendukung penyerbukan oleh hewan penyerbuk lain selain lebah madu yang dibudidayakan.

Infografis Bahan Pangan Lokal Bernutrisi tapi Jarang Diketahui. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya