Liputan6.com, Jakarta - Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag RI) H. Agus Suryo Suripto mengatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah keluarga yang serius. Salah satunya, masalah perceraian.
“Perceraian di Indonesia itu 24,8 persen, ngeri sekali. Satu dari empat keluarga di Indonesia berakhir di Pengadilan Agama,” ujar Agus dalam temu media di Jakarta Pusat, Jumat, 6 Oktober 2023.
Advertisement
Agus juga menyampaikan bahwa mayoritas penggugat adalah dari pihak perempuan. Dan perempuan yang menggugat perceraian kebanyakan adalah yang mapan secara ekonomi.
“Dan yang lebih miris lagi, 93 persen (gugatan cerai) itu diajukan oleh perempuan. Dari 93 persen perempuan yang mengajukan gugat cerai itu, 73 persen adalah perempuan-perempuan yang mapan secara ekonomi,” jelas Agus.
Penyebab Perceraian
Perceraian terjadi dengan berbagai penyebab. Dan lima penyebab utama dari perceraian adalah:
- Disharmonis.
- Ekonomi.
- Gangguan pihak lain.
- Moral.
- Faktor lain.
Penyebab pertama yakni disharmonis dapat berkaitan dengan keempat penyebab lainnya. Disharmonis merujuk pada pertengkaran dalam rumah tangga.
“Disharmonis itu kalau boleh saya mengatakan, itu sebagai bahasa halus dari pertengkaran rumah tangga.”
Pertengkaran ini dapat terjadi akibat berbagai alasan seperti faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga, masalah moral seperti kebiasaan berjudi atau mabuk-mabukan, dan faktor lainnya.
“Terjadi cekcok sehingga berakhir di Pengadilan Agama,” ucap Agus.
Perkawinan Anak
Selain perceraian, masalah keluarga yang dihadapi Indonesia saat ini adalah perkawinan anak.
“Permasalahan keluarga yang kedua adalah efek dari perceraian, apa itu? Perkawinan anak.”
Agus menjelaskan, Indonesia adalah negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi kedua di Asia Tenggara.
“Dan sependek pengalaman saya pernah menjadi kepala KUA selama 13 tahun, 99 persen (perkawinan anak) terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Advertisement
Perkawinan Anak Tingkatkan Angka Stunting
Perkawinan anak menghasilkan masalah keluarga Indonesia yang ketiga yaitu stunting.
“Masalah keluarga yang ketiga adalah efek dari perkawinan anak. Apa itu? Stunting. Sekarang kita sedang menghadapi masalah serius karena berdasarkan Perpres No. 72 tahun 2021, kita harus berada di 14 persen. Saat ini masih ada di angka 21 persen.”
Stunting adalah kondisi di mana pertumbuhan anak terganggu akibat kekurangan nutrisi dalam jangka waktu yang lama. Bertubuh pendek merupakan salah satu indikasi dari anak dengan kondisi stunting.
Hingga saat ini, balita di Indonesia masih banyak yang mengalami stunting. Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak aspek, mulai dari aspek pendidikan hingga ekonomi. Stunting sangat penting untuk dicegah. Pasalnya, dampak stunting sulit untuk diperbaiki dan dapat merugikan masa depan anak.
Selain ditandai dengan bertubuh pendek atau kerdil, stunting juga ditandai dengan terganggunya perkembangan otak atau kemampuan kognitif anak.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Agus melanjutkan, setelah perceraian, perkawinan anak, dan stunting, masalah keluarga yang keempat yang masih dihadapi Indonesia adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Sehari-hari di media televisi kita selalu dihiasi beberapa masalah yang membuat kita sangat miris. Ada suami bunuh istri, istri bunuh suami, kemarin di Banten ada ibu membunuh dua anaknya karena merasa tidak bisa menjamin masa depannya. Ada pula anak yang membunuh orangtuanya.”
“Semua ini masalah keluarga, apa yang harus kita lakukan? Berupaya meningkatkan kualitas keluarga kita,” ujar Agus.
Terkait hal ini, Kemenag sudah melakukan langkah konkret dengan mengadakan bimbingan untuk calon pengantin (catin). Ini adalah bimbingan yang diberikan kepada calon pengantin yang sudah mendaftar kehendak nikah di KUA.
“Bimbingan ini dilakukan untuk menyiapkan keluarga sakinah dan generasi yang berkualitas,” pungkas Agus.
Advertisement