Liputan6.com, Jakarta - Komposisi perusahaan yang masuh menerapkan aturan boleh bekerja jarak jauh atau bekerja dari rumah mulai menurun drastis setelah pandemi Covid-19 dinyatakan usai.
Biro Sensus Amerika Serikat menunjukkan kurang dari 26% rumah tangga di Amerika Serikat (AS) yang salah satu anggotanya bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) setidaknya satu hari dalam seminggu. Angka ini turun dari puncaknya sebesar 37% pada awal 2021.
Advertisement
Penurunan bertahap dalam menjalankan kebijakan bekerja jarak jauh mencerminkan dorongan yang terus-menerus bagi perusahaan untuk mengembalikan karyawan ke kantor. Laporan ZipRecruiter menyatakan bahwa 43% perusahaan telah menetapkan aturan yang lebih ketat dalam bekerja secara remote, mulai mewajibkan karyawan kembali ke kantor selama setahun terakhir.
Para pemimpin perusahaan telah memberikan berbagai alasan mengapa mereka tidak menyukai model pekerjaan jarak jauh alias WFH. Beberapa alasannya adalah kolaborasi, bimbingan, dan keterlibatan karyawan akan terganggu tanpa adanya kantor.
Kelemahan terbesar dari kerja jarak jauh yang disebutkan oleh para pemberi kerja adalah betapa sulitnya mengamati dan memantau karyawan. Pernyataan tersebut didapat dari laporan baru ZipRecruiter, yang mensurvei lebih dari 2.000 pemberi kerja di Amerika Serikat pada bulan Juli - Agustus.
Meskipun beberapa bos menyadari bahwa ada kelebihan dari kerja jarak jauh. Selain itu, dilansir dari CNBC Make It, penelitian menunjukkan bahwa karyawan seringkali lebih produktif dan kecil kemungkinannya untuk berhenti ketika karyawan mempunyai fleksibilitas di tempat kerja.
Namun, banyak yang masih ragu untuk menerapkan kerja jarak jauh secara permanen. Khususnya perusahaan besar seperti Goldman Sachs, Zoom, dan Meta yang memberlakukan persyaratan lebih ketat untuk bekerja tatap muka.
“Ini adalah saat yang sangat menantang, bikin frustrasi dan membingungkan bagi para pengusaha ketika hal yang paling mereka andalkan, yaitu mengamati karyawan secara langsung, hilang,” kata Kepala Ekonom ZipRecruiter Julia Pollak dikutip dari CNBC Make It, Minggu (22/10/2023).
Tak bisa Andalkan Perangkat Lunak
Pollak juga menjelaskan, sebelum pandemi, para atasan mengandalkan kunjungan kerja dan pemantauan rekan kerja. Ketika rekan kerja memperhatikan dan mengomentari pekerjaan satu sama lain supaya tetap pada jalannya di kantor, serta tidak ada pengganti yang jelas bagi mereka di lingkungan kerja jarak jauh.
Meskipun adanya pemantauan karyawan melalui software sudah digunakan sejak 2020, perusahaan masih belum menemukan cara mengukur kinerja karyawan yang bekerja jarak jauh secara efektif.
“Sulit untuk mengetahui kualifikasi seperti apa yang dilihat oleh suatu software,” tambah Pollak.
“Banyak pekerjaan seperti riset dan brainstorming dilakukan melalui video call meeting, atau secara offline melalui panggilan telepon, dan (software) tidak mungkin mengukur itu semua.”
Penelitian telah menunjukkan bahwa pengawasan di tempat kerja juga dapat menjadi bumerang karena melemahkan kepercayaan karyawan terhadap manajer. Adanya keinginan karyawan untuk menjadi produktif dapat menyebabkan peningkatan pergantian karyawan.
Advertisement
Solusi
Pollak menawarkan solusi yang lebih baik, yaitu berinvestasi pada manajer menengah sebagai pemimpin yang menghubungkan antara karyawan dan manajemen tingkat atas, untuk mendorong mereka bekerja secara tatap muka dengan bawahan mereka sehingga terciptanya alur kerja dan harapan yang jelas.
“Jika pandemi dan ‘pengunduran diri besar-besaran’ mengajarkan kita sesuatu, maka manajer harus memiliki niat dan terlibat dengan karyawan agar benar-benar efektif,” kata Pollak. “Tantangan dalam pekerjaan jarak jauh tidak akan dapat diselesaikan dalam semalam, tetapi dengan melakukan perubahan tersebut akan menjadi sebuah awal yang baik.”