Liputan6.com, Aceh - Gambar yang menampilkan seseorang dalam posisi duduk bersimpuh tengah mengampu sebuah timbangan seakan menjadi satu-satunya yang tersisa dari plang tersebut. Rambatan semak belukar telah menutupi hampir seluruh papan nama lembaga bantuan hukum itu tanpa ampun.
Di belakang plang, terdapat struktur bangunan yang terkesan terbengkalai. Bangunan sepanjang 23 meter itu terlihat kontras dengan sebuah gedung silindris raksasa milik pemerintah yang menyembul pongah di tengah permukiman penduduk.
Advertisement
Tiang-tiang beton penyangga berdiri tanpa dinding, ujung rangka besi tajam menajuk ke langit, juga tembok-tembok yang telanjang, tak diberi plesteran semen sama sekali. Hanya steger lapuk yang ditinggalkan di sudut yang mempertegas bahwa pengerjaan bangunan tersebut sudah lama terhenti.
Semua berawal pada November 2021, ketika LBH Banda Aceh menginisiasi sebuah proyek bertema 'tulak bala'. Digelar maraton selama enam belas hari, rupanya kegiatan itu menjadi bagian dari kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) yang dimulai dari tanggal 25 November sampai 10 Desember.
Serambi Makkah sendiri menjadi provinsi dengan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang signifikan. Ekspose dinas terkait menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di provinsi itu terbilang tinggi.
Pada tahun ketika proyek 16HAKtP itu dicetuskan oleh LBH Banda Aceh, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak berada pada angka 924 kasus. Ini mengalami peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu 2020, di mana jumlah kasus saat itu bertengger pada angka 905 kasus.
Jumlah yang muncul pada tahun berikutnya, yakni 2022, secara mengejutkan menanjak hingga 1.029 kasus. Selanjutnya, melewati medio 2023 angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mencapai 575 kasus.
Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut sama sekali tidak merepresentasikan jumlah yang sesungguhnya karena adanya fenomena gunung es. Urgensi inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa LBH Banda Aceh menilai penanganan kasus kekerasan seksual di provinsi tersebut perlu didukung dari banyak segi.
Keinginan untuk mendirikan sebuah rumah singgah Aceh kemudian muncul sebagai wacana untuk mendukung upaya penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di Aceh dengan mendirikan bangunan alternatif yang bisa ditempati oleh korban kapan saja. Keberadaan rumah singgah besutan LBH Banda Aceh niatnya dapat menjadi pelayanan yang bisa diakses tanpa melewati proses birokrasi yang bisa saja berbelit-belit dan ayal.
"Proses penanganan yang harus dijalani kerap mengharuskan korban bolak-balik pergi dan tinggal sementara di Banda Aceh. Ketiadaan tempat tinggal korban selama di Banda Aceh jadi salah satu kendala yang terus dihadapi hingga berujung pada terhambatnya penyelesaian kasus sekaligus bertambahnya beban korban, terutama secara finansial," Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, menjelaskan alasan di balik wacana pembangunan rumah singgah kepada Liputan6.com, Rabu malam (18/10/2023).
Perjalanan Masih Panjang, 17 Persen Kelar
Bangunan yang diperuntukkan sebagai rumah singgah bagi korban kekerasan seksual, itu juga hendak dijadikan sebagai tempat pemberdayaan, pengembangan kapasitas, dan pendidikan hukum kritis. Selain itu, juga bertujuan untuk membuka ruang konsultasi secara gratis berkaitan dengan kasus kekerasan seksual.
Wacana ini akhirnya bergulir menjadi gerakan penggalangan donasi publik. Rumah singgah yang hendak dibangun dirancang dengan perencanaan bentuk berupa bangunan dua lantai berukuran 23x4,5 meter, yang terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang konsultasi, 1 musala, serta aula cum ruang konsolidasi.
"Untuk merancangnya LBH Banda Aceh bekerja sama dengan konsultan perencanaan CV Bina Citra Arsindo," sebut Syahrul.
Adapun total dana yang dibutuhkan untuk pembangunan rumah singgah ini sebanyak Rp 1.136.722.000. Rinciannya berupa pengerjaan persiapan Rp 2.500.000, pengerjaan tanah Rp 8.020.530, pengerjaan fondasi Rp 9.591.594, pengerjaan beton bertulang Rp 430.205.718.
Selanjutnya, pengerjaan dinding dan plesteran Rp 134.922.890, pengerjaan pintu dan jendela Rp 89.340.000, pengerjaan penutup lantai Rp 182.242.971, pengerjaan instalasi listrik Rp 55.609.000, pengecatan Rp 38.650.626, pengerjaan atap dan plafon Rp 146.596.067, dan pengerjaan sanitasi Rp 39.043.232.
Dicetuskan sejak November 2021, total donasi publik yang terkumpul per Desember 2022 mencapai Rp 200.030.488 juta. Angka tersebut terkumpul melalui sejumlah platform penggalangan seperti Kitabisa.com sebanyak Rp 31.030.478, Kolaborasi seniman Prajna Dewantara dengan Butik La Sabelle Rp 35.000.000, donasi perseorangan Rp 13.000.000, donasi YKPI Rp 21.000.000, donasi YLBHI Rp 100.000.000.
Dengan donasi yang telah terkumpul, LBH Banda Aceh memutuskan untuk memulai pengerjaan bangunan rumah singgah sesuai rancangan. Peletakan batu pertama pun digelar pada Desember 2022.
Namun, donasi yang berhasil dikumpulkan masih jauh mendekati target biaya pembangunan yang dibutuhkan. Capaiannya baru 17,6 persen, sementara sisa biaya untuk melanjutkan pembangunan rumah singgah tersebut mencapai 82,4 persen lagi.
"Untuk memenuhi sisa kebutuhan biaya sebesar Rp 936.691.522. Kami memanggil setiap orang, para sahabat dan handai taulan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ini. Baik berupa doa, duit, material bangunan, furnitur, dan doa lagi," ujar Syahrul.
Bagi yang berniat membantu, donasi publik bisa dilakukan melalui dua jalur. Pertama, via situs Kitabisa.com, kedua dikirim ke Bank Syariah Indonesia atas nama akun Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dengan nomor rekening 7111850156.
Advertisement