Seni Rudat, Kesenian Tradisional Banten yang Berakar dari Tarekat Sanusiah

Banten, sering dijuluki sebagai kota santri, merupakan tempat pesantren terkenal di mana tradisi dan budaya Banten berakar, dengan salah satunya adalah seni Rudat.

oleh Putri Anastasia Bangalino Suryana diperbarui 20 Okt 2023, 17:00 WIB
Tradisi Rudat (Kemdikbud)

Liputan6.com, Serang - Rudat adalah salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren di kawasan Banten. Seni rudat menggabungkan gerakan tubuh, vokal, dan ritme musik terebang. Dalam pertunjukannya, syair-syair lagu yang dinyanyikan berkisar pada puja-puji dan sholawat yang mengagungkan Allah dan Rasulnya. Tujuan utama seni rudat adalah untuk memperkuat iman masyarakat terhadap agama Islam dan kebesaran Allah. Seni rudat menggabungkan unsur-unsur keagamaan, seni tari, dan seni suara.

Secara etimologis, kata "rudat" memiliki beberapa asal usul. Ada yang menghubungkannya dengan kata "raudhah" yang berarti taman bunga. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada taman nabi yang terletak di Masjid Nabawi, Madinah. Beberapa juga mengatakan bahwa "rudat" berasal dari kata "redda" atau "rod-da," yang berarti menangkis serangan lawan. Terakhir, "rudat" juga diartikan sebagai nama alat musik yang digunakan dalam kesenian ini.

Dilansir dari laman Kemendikbudristek, kesenian Rudat telah hadir di Banten sejak masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin dan berkembang di pesantren-pesantren sebagai bentuk hiburan atau pergaulan para santri dalam waktu senggang mereka.

Pertunjukan rudat biasanya melibatkan nyanyian yang memuji kebesaran Allah SWT sambil ditemani gerakan tarian yang dipengaruhi oleh pencak silat. Pada awalnya, seni rudat lebih sering dilakukan oleh laki-laki karena melibatkan alat musik terebang dan nyanyian, namun seiring perkembangan waktu, modifikasi dilakukan dengan menambahkan tarian yang dilakukan oleh perempuan.


Berasal dari Tarekat

Sebagian besar seni tradisional yang muncul di Banten berakar dalam tarekat Islam. Rudat, sebagai contohnya, berasal dari tarekat Sanusiah. Begitu pula dengan seni debus yang berasal dari tarekat Rifaiyah, dan pembacaan dalail dari tarekat Sadiliah. Itulah sebabnya seni rudat pertama kali tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren dan kemudian menyebar ke masyarakat luas.

Perbedaan mencolok antara rudat Banten dengan jenis rudat di tempat lain adalah teknik pukulan yang sangat keras dan penekanan pada alat musik rudat itu sendiri. Di tempat lain, "rudat" cenderung merujuk kepada tarian yang dilakukan, sedangkan di Banten, istilah ini lebih mengacu kepada jenis alat musik yang digunakan dalam pertunjukan rudat. Namun, sebetulnya alat musik rudat terdiri dari beberapa jenis, seperti ketimpring, kencringan, tojo, nganak, gendrung, dan jidor, yang semuanya berbentuk alat musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul.

Gerakan tarian dalam rudat mirip dengan gerakan seni bela diri, seperti silat, meskipun tenaga fisik tidak selalu menjadi fokus utama. Gerakan-gerakan tersebut mencerminkan sikap waspada dan siap siaga, sebagaimana yang umumnya dimiliki oleh prajurit kesultanan Banten pada masa lalu. Adapun rudat yang tidak disertai dengan tarian lebih berfokus pada gerakan kaki yang serempak melangkah ke depan, ke belakang, atau ke samping. Tidak terdapat banyak variasi gerakan dalam jenis rudat ini, karena fokus utamanya adalah irama musik yang dimainkan.

Seni rudat adalah bagian berharga dari warisan budaya Banten yang mencerminkan keindahan dan kekayaan seni tradisional yang menggabungkan agama Islam dengan seni gerak dan musik. Dengan keunikannya yang tak ternilai, rudat tetap menjadi salah satu daya tarik kultural yang memperkaya kekayaan seni di Indonesia, khususnya di wilayah Banten. 

 


Sejarah Rudat Banten

Perkembangan seni rudat di Banten memiliki akar yang dalam dalam sejarah penyebaran agama Islam oleh para Wali Songo, termasuk salah satunya adalah Sunan Gunung Jati, atau yang dikenal sebagai Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat, termasuk Banten, dengan bantuan murid-muridnya.

Pada periode sekitar tahun 1450-1500 Masehi, ketika sebagian besar penduduk di wilayah tersebut masih menganut agama Hindu, Sunan Gunung Jati mengirimkan lima utusan dari Cirebon, yaitu Sacapati, Madapati, Jayapati, Margapati, dan Warga Kusumah. Mereka diberikan petunjuk oleh Sunan Gunung Jati untuk mengembangkan agama Islam di wilayah tersebut, salah satunya melalui pertunjukkan seni yang meniru kesenian di tanah suci Mekkah, seperti Genjring yang terbuat dari potongan-potongan kayu.

Maksud dari seni rudat adalah untuk menghubungkan dimensi batiniah manusia dengan Tuhan, yaitu Allah SWT. Pada awalnya, alat musik terebang yang digunakan hanya satu, namun dengan bantuan murid-murid Sunan Gunung Jati, alat musik tersebut kemudian diperbanyak hingga berjumlah lima, yang merupakan simbol dari rukun Islam.

Selain itu, sebuah kendang besar juga dibuat sebagai pelengkap, karena merasa bahwa dengan lima alat musik tersebut, pertunjukkan masih terasa belum lengkap. Dengan demikian, jumlah nayaga, atau pemain alat musik dalam pertunjukan rudat, menjadi enam orang.

Sejak abad ke-16, seni rudat sudah ada di Banten, mulai dari masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Pertunjukan rudat berkembang di lingkungan pesantren-pesantren sebagai bentuk hiburan atau pergaulan para santri pada waktu senggang mereka. Pertunjukkan rudat ini melibatkan nyanyian yang memuji kebesaran Allah SWT, sambil dilengkapi dengan gerakan tarian yang dipengaruhi oleh pencak silat. Pada awalnya, pertunjukan ini umumnya dilakukan oleh laki-laki, tetapi seiring perkembangan waktu, para perempuan juga mulai terlibat dalam pertunjukan rudat. 


Peraturan Pertunjukan

Saat ini, seni rudat di Banten telah berkembang dan memiliki berbagai peran yang beragam. Selain sebagai wujud seni tradisional, rudat juga berfungsi sebagai hiburan dalam berbagai acara seperti upacara pernikahan, terutama ketika saat menjemput pengantin pria. Selain itu, seni rudat juga dihadirkan pada saat khitanan, saat anak yang akan disunat diarak ke tempat pemandian. Seiring berjalannya waktu, seni rudat telah meluas dan menjadi bagian dari seni hiburan rakyat.

Dalam pertunjukkan rudat, jumlah pemain biasanya berkisar antara 12 hingga 24 orang. Mereka memainkan peran yang beragam, mulai dari penabuh alat musik terebang hingga menjadi penari dan penyanyi.

Alat musik terebang yang digunakan dalam rudat terbuat dari bahan-bahan yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar. Ada beberapa jenis alat musik terebang yang digunakan, seperti ketimpring, yang berbentuk bulat seperti tempayan dan terbuat dari kayu dan kulit kerbau. Ukurannya mencakup muka dengan garis tengah sekitar 36 cm, belakang dengan garis tengah sekitar 26 cm, dan tingginya sekitar 18 cm, dengan ketebalan kayu sekitar 1 cm.

Alat ini juga memiliki kerincingan sebanyak 2 hingga 3 buah dan dimainkan dengan cara dipukul. Selain itu, ada juga tojo, yang juga berbentuk bulat seperti tempayan dan terbuat dari kayu dan kulit kerbau. Ukurannya mencakup muka dengan garis tengah sekitar 37 cm, belakang dengan garis tengah sekitar 26 cm, dan tingginya sekitar 18 cm, dengan ketebalan kayu sekitar 1 cm, dan memiliki kencringan sebanyak 2 hingga 3 buah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya