Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah menyiapkan program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap, atau PLTU batu bara untuk mendukung pengurangan emisi karbon di dalam negeri. Namun, kebijakan itu diminta tidak gegabah dieksekusi lantaran bakal berimbas negatif terhadap ekonomi.
Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar UI, Rinaldy Dalimi, tak memungkiri jika mematikan PLTU berbahan bakar batu bara jadi cara paling efektif untuk mengurangi emisi.
Advertisement
Saat ini, Rinaldy mengatakan, sejumlah negara maju telah berusaha untuk melakukan pensiun dini PLTU batu bara, dan menggantikannya dengan pembangkit listrik energi terbarukan.
"Indonesia tidak harus cepat-cepat mematikan PLTU-nya, karena PLTU batu bara adalah pasokan listrik utama kita. Biarkan PLTU beroperasi sesuai dengan nilai keekonomiannya, karena Indonesia bukan penghasil emisi yang besar. Tidak termasuk 15 negara terbesar penghasil emisi di dunia," ujarnya di Menara Bidakara, Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Dinilai Latah
Menurut dia, jika Indonesia latah cepat-cepat mematikan PLTU dan menggantikannya dengan pembangkit energi terbarukan, maka akan merugikan secara ekonomis.
"Biaya produksi listrik meningkat, juga merugikan secara teknis, karena karakteristik energi terbarukan yang fluktuatif. Sehingga dapat mengganggu ketahanan energi nasional kita," imbuh Rinaldy.
"Apabila Indonesia ikut-ikutan seperti negara maju untuk mematikan PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan, akan mengakibatkan biaya transisi energi akan sangat besar," ungkap dia.
Investasi
Mengacu pada perhitungan PLN, Rinaldy menambahkan, biaya transisi energi dengan memasang teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCUS) di PLTU batu bara butuh ongkos luar biasa besar, mencapai USD 700 miliar.
Untuk mengurangi biaya tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan negative load dari rooftop dan PLTS. Sebagai contoh, ia menyebut jika kebutuhan listrik berkurang 200 MW akibat penggunaan rooftop dan PLTS, maka matikan PLTU 200 MW.
"Jika negative load mencapai 400 MW, matikan PLTU 400 MW, dan seterusnya. Sehingga, biaya yang dikeluarkan untuk transisi energi dengan cara ini akan tidak terlalu besar, karena investasi rooftop dan PLTS akan ditanggung oleh konsumen, bukan oleh pemerintah," tuturnya.
Advertisement
Lepas Ketergantungan Batu Bara, PLN Sulap Sawit Jadi Bahan Bakar PLTU
PT PLN (Persero) terus berupaya meningkatkan bauran energi terbarukan Biomassa dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat. Dengan menjalankan komitmen serap 10,2 juta ton pada 2025.
Direktur Utama PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) Iwan Agung Firstantara mengatakan, pihaknya berkomitmen penuh mendukung rencana pemerintah dalam mencapai target pemanfaatan Co-Firing sebesar 10,2 juta ton pada tahun 2025. Substitusi bahan bakar batu bara ke biomassa ini adalah proyek yang strategis.
”Selain bisa mengurangi ketergantungan atas batu bara yang merupakan energi fosil, langkah ini menjadi salah satu cara untuk menurunkan emisi karbon mencapai NZE 2060. Dengan co-firing biomassa PLN bisa mendapatkan energi bersih dengan biaya minimal,” kata Iwan, Selasa (17/10/2023).
PLN EPI pun telah menggandeng swasta Salah satunya PT Elektrika Konstruksi Nusantara (EKN), dalam pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit menjadi Co-firing Biomassa pada PLTU Bengkayang. Ke dua pihak bersepakat melibatkan masyarakat Sambas secara langsung dalam proses produksi Biomassa tersebut.
Pengolahan Biomassa
Iwan menjelaskan, pengolahan Biomassa ini mampu menyerap 40 tenaga kerja lokal di Sambas Kalimantan Barat. Ia pun optimis, program Co-Firing jenis lain yang digagas akan mampu menyerap tenaga kerja lokal secara masif dan mengurai permasalah sampah yang banyak terjadi di berbagai daerah.
“Ada 40 orang yang terlibat dalam produksi pellet tandan kosong kelapa sawit. Demikian juga dengan biomassa jenis lainnya. Semoga ini jadi awal yang baik karena selama ini mungkin tandan kosong menumpuk di kebun dan sekarang sudah bisa dimanfaatkan,” lanjut Iwan Agung.