Liputan6.com, Jakarta Ekonom Bank Permata Josua Pardede tak menduga Bank Indonesia (BI) akan menaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Pasalnya, bank sentral telah menahan suku bunga acuan nya selama 8 bulan beruntun.
Kendati demikian, Josua menilai kenaikan suku bunga acuan BI ini jadi satu keputusan tepat di tengah marakny ketidakpastian global yang terjadi saat ini. Menurut prediksinya, Bank Indonesia baru akan memangkas BI7DRR lagi pada akhir tahun depan.
Advertisement
"Kami masih memperkirakan BI juga akan mengambil kebijakan yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama pada tahun 2024, dan mulai menurunkan suku bunga pada kuartal IV 2024," ujar Josua dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com, Kamis (19/10/2023).
Selain itu, ia menambahkan, putusan mengejutkan BI dalam menaikan suku bunga kebijakannya menjadi 6 persen ini akan turut menstabilkan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.
"Terutama karena kesenjangan suku bunga tetap positif, dengan asumsi suku bunga kebijakan The Fed mencapai puncaknya pada 5,75 persen. Dengan perkiraan kenaikan sebesar 25 bps lagi pada sisa tahun ini," imbuh Josua.
Dinamika Baru
Josua menyebut, ada lima dinamika baru ketidakpastian global yang memicu kekhawatiran bank sentral. Pertama, ekonomi global rentan melemah, dimana selisih pertumbuhan antar negara cenderung melebar, sebelum akhirnya bisa stabil lagi di 2026.
"Kedua, tensi geopolitik di Timur Tengah dan El Nino bakal mendorong harga pangan dan energi, meningkatkan risiko inflasi global," kata Josua.
Alasan Berikutnya
Alasan berikutnya, suku bunga acuan The Fed alias Fed Fund Rate (FFR) punya peluang 40 persen untuk kembali naik pada Desember 2023 mendatang. Kebijakan itu pun diprediksi akan dijaga tinggi hingga pertengahan 2024 nanti.
Selanjutnya, lonjakan imbal hasil obligasi global pun tidak hanya terjadi untuk obligasi jangka pendek, tapi yield obligasi jangka panjang juga semakin meningkat lantaran utang pemerintah di negara-negara maju semakin menguat.
"Kelima, aliran modal ke negara berkembang terhambat dan dana cenderung berpindah ke negara maju, dimana uang tunai adalah rajanya. BI juga menegaskan bahwa meskipun kebijakan moneter masih pro-stabilitas, kebijakan makroprudensial masih cenderung pro-pertumbuhan," tuturnya.
Advertisement
Cerita Bos BI Akhirnya Naikkan Suku Bunga Acuan ke 6%
Bank Indonesia baru saja mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) 18-19 Oktober 2023 dengan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin menjadi 6 persen dari sebelumnya sebesar 5,75 persen.
Sama halnya dengan BI7DRR, suku bunga Deposit Facility juga dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen dari sebelumnya 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75 persen dari sebelumnya 6,50 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, mengungkapkan terdapat lima faktor yang mendorong Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga tersebut.
"Dinamika global sangat cepat dan very unpredictable, pada RDG bulan lalu memang kita sampaikan apa-apa yang kita lihat dengan informasi terbaru pada waktu itu. Tapi dua minggu kemudian terjadi perubahan yang sangat cepat. Ada 5 dinamika," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).
Pertama, perubahan dinamika global yang sangat cepat. Perry menjelaskan, perekonomian global melambat dengan ketidakpastian yang semakin meningkat tinggi.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melemah dan disertai divergensi pertumbuhan antarnegara yang semakin melebar. Pertumbuhan ekonomi pada 2023 diperkirakan sebesar 2,9 persen dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024 dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah.
Disisi lain, ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik, sedangkan Tiongkok melambat dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti.
Kedua, adanya tensi ketegangan geopolitik yang meningkat. Menurutnya, ketegangan geopolitik ini menyebabkan harga minyak melonjak, dan harga pangan tetap tinggi. Kedua hal itu dinilai akan memperlambat penurunan inflasi global.
"Kan tahun lalu inflasi global akan melambat, dengan ketegangan geopolitik ini harga minyak meningkat, harga pangan tinggi dan memperlambat penurunan inflasi global," ujarnya.