Liputan6.com, Jakarta Pasar real estat China masih menjadi hambatan dan dikhawatirkan akan memberikan tekanan pada ekonomi global.
Hal itu disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), mengingatkan bahwa perlambatan di sektor properti tidak hanya berdampak pada China, namun juga pertumbuhan global.
Advertisement
"Prospek global menghadapi tekanan dari memburuknya krisis properti di China, sikap kebijakan yang ketat di seluruh dunia, konsekuensi perang Rusia-Ukraina, konflik terbaru, dan meningkatnya fragmentasi geoekonomi," kata Krishna Srinivasan, direktur IMF untuk Asia dan Pasifik dikutip dari CNN Business, Jumat (20/10/2023).
Harga rumah baru di China turun pada bulan September, penurunan bulan ketiga berturut-turut, menurut data yang dirilis pada hari Kamis oleh Biro Statistik Nasional (NBS), meskipun ada upaya Beijing untuk menopang sektor ini.
Pelemahan yang terus-menerus di pasar perumahan menghambat pemulihan ekonomi China.
Namun, Produk domestik bruto China telah meningkat lebih baik dari perkiraan sebesar 4,9 persen pada kuartal ketiga, menurut NBS. Pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan belanja konsumen yang kuat.
Srinivasan mengatakan, China perlu memiliki strategi komprehensif untuk mengatasi masalah real estat, yang mencakup memastikan semua rumah yang dibiayai sebelumnya dibangun.
Di China, sebagian besar rumah baru dijual sebelum dibangun.
"Ada masalah dengan pengembang, yang perlu diselesaikan," katanya.
"Sampai hal itu selesai, hal itu akan memengaruhi kepercayaan diri," jelas Srinivasan.
IMF baru-baru ini menurunkan perkiraan pertumbuhan China menjadi 5 persen untuk sisa tahun 2023 dan 4,2 persen untuk tahun 2024, dengan alasan penurunan properti yang lebih dalam.
Di Pertemuan IMF-World Bank, Indonesia Bahas Strategi Hadapi Tekanan Inflasi
Perekonomian global menunjukkan penguatan, namun pemulihan masih berlangsung lambat dan tidak berimbang. Aktivitas global saat ini masih belum kembali ke level pre-pandemi.
Terdapat pula divergensi pertumbuhan yang semakin meluas di berbagai kawasan serta tantangan yang terus muncul mulai dari konsekuensi jangka panjang dari COVID-19, perang di Ukraina dan meningkatnya fragmentasi geoekonomi, dampak kebijakan moneter ketat dalam rangka mengatasi tekanan inflasi, berkurangnya stimulus fiskal akibat tingkat utang yang sudah tinggi, serta implikasi dari cuaca ekstrem.
Hal ini mengemuka dalam rangkaian Pertemuan Tahunan International Monetary Fund dan World Bank (IMF-World Bank), termasuk di dalamnya pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 (FMCBG) ke empat, diselenggarakan pada tanggal 10-15 Oktober 2023 di Marakesh, Maroko. Pertemuan turut dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati.
Menghadapi kondisi ekonomi yang kompleks, pada rangkaian pertemuan tersebut, Gubernur Perry Warjiyo mendorong penggunaan bauran kebijakan bank sentral yang tidak bertumpu pada satu instrumen kebijakan saja namun mengkombinasikan berbagai kebijakan yaitu kebijakan suku bunga, kebijakan makroprudensial dan kebijakan stabilitas nilai tukar, serta menjelaskan strategi Indonesia dalam menghadapi tekanan inflasi yang berasal dari sisi supply maupun dari sisi demand dengan koordinasi kuat antara otoritas moneter dan fiskal.
Selain itu, Gubernur Perry Warjiyo juga menyoroti pentingnya upaya untuk mengatasi kondisi global yang terfragmentasi dengan berbagai upaya a.l. membuka kesempatan investasi, hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam, dan terus mendorong pengembangan UMKM dengan mengembangkan cross border payment (CBP) untuk meningkatkan keterhubungan UMKM dengan pasar yang lebih luas.
Dalam merespons kondisi global tersebut, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral akan segera menyepakati Global Policy Agenda yang mengangkat tema membangun kesejahteraan dan ketahanan bersama (Building Shared Prosperity And Collective Resilience).
Advertisement
IMF Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China dan Eropa
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook terbarunya memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan zona euro.
Melansir Channel News Asia, Rabu (11/10/2023), IMF memproyeksi pertumbuhan PDB Tiongkok meningkat sebesar 5,0 persen pada tahun 2023 dan 4,2 persen pada tahun 2024.
Angka ini mencerminkan revisi ke bawah masing-masing sebesar 0,2 dan 0,3 poin persentase, terutama karena krisis real estate di negara tersebut dan lemahnya permintaan eksternal.
IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi zona euro menjadi 0,7 persen pada tahun 2023 dan 1,2 persen pada tahun 2024, turun dari perkiraan masing-masing pada bulan Juli sebesar 0,9 persen dan 1,5 persen.
Inggris, yang sama seperti zona euro, sangat terpukul oleh guncangan biaya energi yang tinggi, namun perkiraan pertumbuhannya dinaikkan sebesar 0,1 poin persentase menjadi 0,5 persen pada tahun 2023, kemudian dipangkas lagi 0,4 poin persentase menjadi 0,6 persen untuk tahun 2024.
Sementara itu, IMF mempertahankan perkiraan pertumbuhan Produk Domestik (PDB) riil global di sisa tahun 2023 sebesar 3,0 persen.
Namun IMF memangkas perkiraan pertumbuhan global tahun 2024 sebesar 0,1 poin persentase menjadi 2,9 persen dari perkiraan bulan Juli. Output dunia tumbuh 3,5 persen pada tahun 2022.
Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan bahwa ekonomi global terus pulih dari pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan krisis energi tahun lalu, namun tren pertumbuhan semakin berbeda di seluruh dunia, dan prospek pertumbuhan jangka menengah semakin tidak menentu.
Gourinchas mengungkapkan, perkiraan secara umum menunjukkan soft landing, namun IMF tetap mengkhawatirkan risiko terkait krisis real estat di Tiongkok, harga komoditas yang bergejolak, fragmentasi geopolitik, dan kebangkitan inflasi.
"Perekonomian global menunjukkan ketahanan. Perekonomian global tidak terpuruk akibat guncangan besar yang dialami dalam dua atau tiga tahun terakhir, namun juga tidak terlalu bagus," kata Gourinchas dalam sebuah wawancara.
"Kami melihat perekonomian global sedang tertatih-tatih dan belum berjalan dengan baik," ujarnya.
Dampak Ekonomi Konflik Israel-Hamas Belum Diketahui
Risiko baru yang tak terduga muncul menyusul terjadinya konflik Israel-Hamas.
Menurut Gourinchas, masih terlalu dini untuk menentukan bagaimana eskalasi besar dalam konflik yang telah berlangsung lama ini akan berdampak pada perekonomian global:
"Tergantung bagaimana situasi ini akan terjadi, ada banyak skenario berbeda yang belum kita mulai eksplorasi, jadi kami belum bisa membuat penilaian apa pun pada saat ini," jelasnya.
"Ada ketidakpastian. Ada fragmentasi geoekonomi, pertumbuhan produktivitas yang rendah, dan demografi yang rendah. Jika semua hal ini digabungkan, maka pertumbuhan jangka menengah akan melambat," katanya.
Advertisement